Guru Perlu Tanamkan Strategi Tangkal Hoax

Tukijo, S.Pd, Guru SMP 17 Semarang.

JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG – Pengguna aktif jejaring sosial kebanyakan anak usia produktif, yaitu pelajar. Banyaknya pelajar yang mengakses informasi melalui jejaring media online, membuktikan bahwa pelajar dinamis. Dalam sekejap berita-berita hilir mudik menyambangi akun jejaring sosial kita. Jika tidak selektif, maka bisa menjebak pelajar dalam kondisi yang tidak menentu. Lalu bagaimana seharusnya stretegi untuk mencegah berita hoax?

Salah satu contoh berita yang sering mendarat di jejaring sosial tentang daftar nama merk minuman sehingga dapat menyebabkan pengerasan otak (kanker otak), diabetes dan pengerasan sumsum tulang belakang (mematikan sumsum tulang belakang). Sering juga kita mendapat broadcast foto tentang jalan atau yang jembatan yang putus.

Sejalan dengan itu berita tentang foto ban yang robek parah dipertegas dengan tulisan “hati-hati kalau liat di jalan ada botol plastik, jangan digilas. Di dalamnya isi air keras. Ditabrak botolnya pecah tersiram ban mobil. Seperti ini bannya robek. Ini kejadian di pintu keluar tol Puri Kembangan masih ada 3 orang yang kena. Jangan lindas botol di jalan karena diisi air keras atau paku. Awas jebakan.”

Berita-berita yang beredar tersebut belum tentu kebenarannya, atau istilahnya disebut berita hoax. Apa itu hoax? Jika mengacu pada hoax berarti itu bukan berita yang memenuhi kaidah jurnalistik. Beberapa sajian tulisan berita umunya terdiri atas spot news, feature, dan reportase. Spot news merupakan berita jurnalistik yang langsung mengungkapkan inti permasalahan atau peristiwa seperti apa adanya. Spot news biasanya menggunakan unsur 5 W + 1 H. Prinsip inilah yang harus kita pahami (Nursisto, 1999: 29).

Sejalan dengan hal tersebut muncul istilah jurnalistik yang oleh A.W Wijaya disebutkan sebagai kegiatan komunikasi yang dilakukan dengan cara menyiarkan tulisan ataupun alasannya mengenai berbagai peristiwa atau kejadian sehari-hari yang aktual dan faktual dalam waktu secepat-cepatnya.

Dengan demikian, berita yang sebenarnya sajian tulisan yang mengandung usur faktual, aktual, up to date, bersumber dari peristiwa langsung. Jika sajian tulisan atau tulisan yang disertai foto hasil rekayasa maka dapat dikatakan berita itu hoax. Hoax diyakini sebagai sajian tulisan yang tidak pantas disebut berita, atau bisa dikatakan sampah.

Berita yang disertai foto peristiwa pendukung untuk menguatkan nilai berita dituntut hadir mengisi ruang publik. Berita menjadi asupan informasi masyarakat yang masih diyakini kebenarannya. Maka, jika berita tersebut tidak benar, bisa berdampak terhadap kondisi citizen.

Lalu seberapa pentingkah foto dalam kegiatan jurnalistik? Foto jurnalistik adalah komunikasi melalui foto (communication photography). Di dalamya dikedepankan nilai berita dan momentumnya. Tetapi dalam perkembangannya unsur keindahan sebuah foto jurnalistik menjadi nilai tambah. Hanya saja karena teknik tertentu, bisa juga foto direkayasa sehingga kadang justru mengubah nilai berita.

Dengan demikian, berita bisa dikatakan hoax apabila tidak memenuhi unsur 5W+1 H, tidak aktual, tidak faktual, cenderung diulang-ulang, serta foto jurnalistiknya direkayasa untuk mengubah kadar berita. Ada pula unsur-unsur provokasi terhadap user, serta kadar orisinilitas beritanya sangat rendah. Ciri lainnya umumnya pembuat berita tersebut bersifat anonim (tanpa nama).

Berita hoax sangat berbahaya bagi masyarakat awam. Apalagi masyarakat sumbu pendek, yang mudah terbakar emosinya. Pada masyarakat sumbu pendek, hoax hadir untuk menyulut emosi, bukan menyajikan berita yang mencerdaskan. Sehingga bisa menimbulkan suasana caos, permasalahan sosial, dan bahkan desintegrasi bangsa.

Efek maraknya berita hoax melalui jejaring sosial ini di antaranya munculnya cyberbullying, kekerasaan dalam era digital, permasalahan sosial dan fitnah. Efek hoax ini seperti membidik kaum muda karena seperti yang dilansir di web kominfo.go.id pengguna internet aktif adalah 62 perseb tergolong dalam kaum muda. Kaum muda terutama pelajar sering dihadapkan pada tantangan untuk melawan penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian. Kaum muda juga dihadapkan dengan godaan penggunaan jalan pintas untuk mendapatkan apa yang diinginkan baik materi maupun hal-hal yang menjadi kebutuhan mereka dan ketidakpedulian terhadap kondisi bangsa. Mereka akan menjadi penerus bangsa yang digerakkan oleh kebencian, mudah terprovokasi dan yang paling dikhawatirkan generasi ini dapat membawa kemunduran.

Rutinitas penggunaan jejaring sosial dapat dimanfaatkan pihak tertentu untuk mengambil keuntungan dengan menyebar hoax. Bagi pihak penyebar hoax barangkali tidak berpikir bijak menyikapi dampak hoax. Mereka sekadar memikirkan keuntungan secara materi belaka. Jika hoax dibiarkan, pasti akan meruntuhkan sendi kehidupan dan kemapanan sosial. Apalagi jika berita hoax tersebut disertai dengan foto- foto atau gambar yang semakin memperkuat isi berita tersebut.

Menurut saya, menangkal hoax ini tidak hanya dari hilir juga dari hulunya. Siswa ditanamkan pendidikan karakter untuk memanfaatkan perangkat lunak desain grafis untuk melatih kreativitas dan inovasi. Jadi pencegahan pembuatan berita hoax dapat dimulai sejak dini, penanaman karakter jujur, dan konsekuensi logis.

Masyarakat menjadi pilar yang utama untuk mencegah hoax. Misalnya, dengan sering bertemu melalui kelompok-kelompok organisasi kemasyarakatan, mereka bisa saling akses informasi secara langsung, bisa pula melalui grup medsos untuk saling terbuka tentang informasi.

Dalam ranah keluarga, tindakan preventif perlu dilakuka agar terhindar dari hoax.

Misalnya jika ada kabar hoax tentang anaknya yang diculik melalui media sosial, orangtua tidak usah panik. Tenangkan pikirannya, lalu cari kebenaran kabar tersebut ke kepolisian, sekolah, atau sumber lainnya. Ajarkan pula ke anak untuk tidak mudah percaya kepada berita yang belum jelas sumbernya. Yang tidak kalah penting di keluarga adalah penanaman karakter jujur. Dengan jujur maka anak tidak mudah merekayasa informasi apapun.

Di ranah sekolah perlu juga diciptakan kondisi anti-hoax. Sekolah perlu memanfaatkan sarana berbasis teknologi untuk memfilter berita hoax. Melalui sistem informasi terpadu, dan tim siber sekolah, maka virus hoax bisa dicegah. Didukung pula sistem aturan sekolah yang selektif dalam menerima informasi, serta pendidikan karakter jujur yang kuat.

Sejalan dengan hal tersebut, maka dalam ranah pendidikan yang penulis alami diperlukan langkah strategis. Pelajar lebih selektif dalam memahami suatu berita yang diterima melaui jejaring sosial mereka. Sudah sepatutnya, penulis sebagai guru ikut mengambil peran dengan berperan mengedukasi siswa untuk lebih efektif dalam menerima informasi maupun berita di jejaring sosial. Apakah benar berita itu fakta atau hoax (tidak jelas sumber maupun kebenarannya).

Misalnya, jika menerima berita hoax atau tidak, kita perlu mencari alamat URL atau link berita tersebut. Setelah kita tahu linknya, maka kita bisa mempelajari kontennya. Termasuk apakah media online tersebut resmi atau hoax. Bahkan tidak hanya melalui alamat URL, kita juga bisa melihat melalui foto yang digunakan.

Berita hoax, terutama yang memuat foto-foto biasanya menggunakan perangkat lunak pengolah grafis seperti Photoshop untuk membuat foto tersebut seperti nyata. Keterampilan menggunakan photoshop itulah sering disalahgunakan untuk membuat foto-foto manipulasi sehingga semakin mempertajam berita-berita hoax.

Untuk itu, guru harus mampu membimbing siswa untuk kritis terhadap konten foto. Apalagi saat ini marak editing foto dengan software tertentu. Keterampilan editing foto diperlukan dalam dunia pendidikan. Hanya saja, ketika ada oknum yang menafaatkan

sepihak, bisa memunculkan propaganda. Guru hadir, dan siswa berkiat untuk melawan hoax. Sehingga, ke depan, berita hoax bisa ditangkal. Bahkan masyarakat bisa nyaman karena mudah, dan murah mengakses informasi tanpa batas, dan tanpa sekat. (*)