Memutus Mata Rantai Senioritas Di Sekolah

Dyah Wariyanti Guru BK SMA N 1 Semarang
Dyah Wariyanti Guru BK SMA N 1 Semarang

JATENGPOS.CO.ID, – Senioritas, satu kata yang seolah keramat, rawan dan sering berkembang di sekolah.Tidak jarang menjadi jurang antar jenjang adik dan kakak kelas.  Senioritas serasa menjadi budaya konvensional yang terstruktur, agresif dan bergerak rapi.Seiring irama perkembangan jiwa yang cenderung bergejolak di kalangan para siswa remaja. Perilaku merasa “paling” dibanding mereka yang dianggap masih pemula dalam banyak hal. Paling duluan keberadaannya, paling tinggi jenjang kelasnya, paling tua dalam hal usia, menyandang jabatan atau status sosial tertentu serta merasa lebih banyak pengalamannya. Keberterimaan sebagai sebuah budaya yang ingin dihargai oleh bawahan atau yunior di sebuah lingkungan sosial. Terlebih lingkungan sekolah.

Predikat atas sebuah ukuran kepopuleran atau kesan tertentu untuk mendapat pengakuan lebih dari pihak lain yang cenderung awam. Subyektifitas yang akhirnya berkembang dan berdampak menjadi sebuah penyimpangan perilaku sosial kelompok.

Hampir di setiap sekolah berpotensi atas munculnya perilaku senioritas. Entah dari mana awalnya mereka menggeliat. Pelaku senioritas merasa bagaikan kaum elit yang bias terselubung namun berkibar di atas angin. Keberagaman peluang, kesempatan serta adanya ruang gerak menjadikan budaya ini terwariskan antar lintas generasi.

Sekolah sebagai lahan empuk perilaku senioritas. Sebagai contohperilaku kekerasan dan bullying yang dilakukan oleh kalangan senior siswa. Seperti adanya prasyarat diterimanya yunior pada suatu tim kelompok tertentu. Keterikatan yunior pada sejumlah tugas yang berakibat munculnya tindakan negatif seperti punishment(hukuman). Sebagai akibat dari adanya kekeliruan atau kealpaantugas oleh yunior.Berkembang menjadi sebuah perpeloncoan.Baik yang dilakukan secara iseng sampai berdampak serius bahkan cenderung menjadi sebuah perilaku kekerasan atau bullying yang berlebihan.

Guru menjadi satu-satunya aparat pemutus mata rantai senioritas di sekolah. Sebuah kondisi umum apabila tidak segera membongkar dan memutus mata rantai tersebut maka akan  menjadikan masalah sebagai sebuah bom waktu. Keberanian dalam mengerahkan segenap energi merupakan sebuah upaya penyelamatan generasi masa depan. Guru harus mampu memutus dan menghentikan adanya korban bullying dan kekerasan yang lebih luas.Bahkan sampai perilaku yang lebih fatal.

Menjadi sebuah pembelajaran yang sangat berharga bagi semua pihak. Sekolah, guru, orang tua, siswa serta jajaran terkait lainnya dalam memutus mata rantai ini. Mematahkan mata rantai senioritas memerlukan kerja  keras dan energi yang sangat ekstra. Sebuah gebrakan keberanian untuk bertindak. Langkah yang memerlukan  strategi jitu dan terstruktur dalam me “missinglink” kan (memutus) mata rantai tersebut.

Bagaimana dengan pelaksanaan tata tertib di sekolah? Nampaknya setiap sekolah perlu melakukan evaluasi.Peninjauanperlu dilakukan sebagai implementasi pelaksanaan tata tertib yang selama ini sudah berjalan. Bisa jadi tata tertib yang ada hanya menjadi semacam pelengkap ketersediaan alat dalam sebuah sistem saja. Karena itu perlu penyegaran, penataan ulang, revisi dan tindak lanjut sejalan fenomena yang ada di sekolah. Hal ini mutlak dilakukan.Dalam rangka melakukan upaya penataan kondusifitas sekolah yang lebih baik. Pembaruan dan perbaikan tatanan kesiswaan yang kian mantab akan membuahkan langkah yang lebih strategis.

Sekolah perlu sistem manajemen yang tepat dan tegas.Sedemikian rupa akan berpijak dan melangkah dengan segala pertimbangan yang matang. Pelibatan unsur pendukung lain sangat memberi peran dinamis. Seperti merangkul ikatan alumni serta pihak komite. Sehingga setiap langkah berupa keputusan atau kebijakan yang ditetapkan oleh sekolah tetap bertumpu pada asas dan peran lingkungan. Melakukan konferensi kasus pada setiap temuan kasus di lapangan. Jangan lupa untuk selalu siap dengan sejumlah data yang valid dan akurat. Termasuk membuat hasil evaluasi dan pelaporan kasus pada tiap kegiatan terkait.

Guru bukanlah petugas keamanan yang selalu siap di sekolah sepanjang waktu. Namun sejumlah aktivitas, pengajaran serta pembimbingan tak luput dari peran serta kontrol seorang guru yang bernaluri pendidik. Maka tak heran setiap tindakan guru seperti memberantas perilaku senioritas, kekerasan dan bullying di sekolah tetap mengacu pada peran yang mengedukasi bagi seluruh warga siswanya. Hal ini sangat memberi nuansa norma, kode etik serta nilai.Nilai yang bisa dijadikan acuan dan pembelajaran berharga bagi segenap siswa lainnya.

Terhadap siswa bermasalah sekolah bisa menindaklanjuti dengan layanan terprogram. Peran Bimbingan dan Konseling sangat membantu berbagai pengkondisian para pelaku ataupun korban kekerasan dan bullying pada khususnya. Termasuk me referal kan kasus apabila di luar kewenangan peran BK dan sekolah pada umumnya. Kepada pihak terkait seperti kepolisian, psikiater atau lembaga hukum yang lebih memberi andil penyelesaian masalah di sekolah.

Mari kita bergerak berani dan tegas.Mematahkanmata rantai perilaku senioritas, kekerasan dan bullying di sekolah. Kepercayaan dari masyarakat akan mengembalikan animo yang terbaik. Agar citra sekolah sehat dan labelisasi sebagai sekolah berkarakter kembali selaras dengan tujuan pendidikan nasional.***

Dyah Wariyanti
Guru BK SMA N 1 Semarang