Penataan Parkir Masjid Agung Tegal Semrawut Disorot Dewan

Kondisi area parkir di sepanjang jalan menuju Masjid Agung Kota Tegal terlihat krodit usai jamaah Salat Jum'at. FOTO: SYAMSUL FALAK/JPNN

JATENGPOS.CO.ID. TEGAL- Banyaknya persoalan terkait penataan parkir kembali menjadi sorotan Komisi I DPRD yang mempertanyakan semrawutnya area parkir di lingkungan Masjid Agung Kota Tegal.

Hal itu, dipicu seringnya pemandangan krodit sepeda motor dan mobil yang terparkir di sepanjang jalan saat jelang Salat Jum’at.

Ketua Komisi I DPRD Hery Budiman menyampaikan, pihaknya menyayangkan belum adanya ketegasan Pemkot Tegal terkait persoalan parkir yang hingga kini masih menjadi masalah dan belum ada solusinya secara baik. Diantaranya, pemberlakuan tarif parkir yang tidak sama dan tidak sesuai Perda, penataan yang tidak teratur serta masih adanya sejumlah titik parkir yang belum terdata.

“Hampir sebagian besar jamaah, mengeluhkan semrawutnya parkir saat Salat Jum’at. Padahal, sudah bayar lebih dari tarif normal,” jelasnya.

Menyikapi permasalahan tersebut, kata Herbud, idealnya Pemkot Tegal melalui dinas terkait bisa langsung mengambil tindakan tegas. Sebab, berdasarkan hasil evaluasi beberapa tahun terakhir Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bersumber dari sektor parkir belum maksimal.

Sehingga, sebagai antisipasi kebocoran PAD dari retribusi parkir bisa segera tertangani dengan baik sekaligus mewujudkan ketertiban arus lalu lintas di sekitarnya.

Wakil Ketua Komisi I Enny Yuningsih menambahkan, Pemkot juga perlu melakukan pengecekan dan pendataan ulang kantong parkir untuk menghindari terjadinya kesemrawutan.

Bahkan, pembinaan terhadap semua juru parkir yang bertugas di wilayah Kota Tegal juga harus dilakukan agar lebih tertib dalam mengelola kantong parkir. Sebab, tak jarang masyarakat mengeluh akibat tarif parkir yang diberlakukan juru parkir tidak sesuai atau melebihi ketentuan Perda.

“Persoalan lain, yakni pemanfaatan trotoar yang tidak sesuai fungsinya. Sebab, beberapa titik trotoar tidak bisa dimanfaatkan pejalan kaki karena dipakai untuk menggelar barang dagangan. Itu melanggar Perda No 3 tahun 1998,” tandasnya. (syf/ela/jpnn/muz)