spot_img
27.4 C
Semarang
Sabtu, 28 Juni 2025
spot_img

Kolom Begog: Zaman Keraguan

Oleh: Bagog D. Winarso
(Wartawan Senior Pengamat Sosial Politik dan Seni Budaya Tinggal di Solo)

PREDIKAT “juru pangkas” semakin kokoh disandang majelis hakim tingkat banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Kali ini, mereka memangkas hukuman Joko Soegiarto Tjandra (Joko Tjandra) dari 4 tahun 6 bulan penjara menjadi 3 tahun 6 bulan penjara terkait kasus suap terhadap bekas jaksa Pinangki Sirna Malasari. Ini artinya, hukuman Joko Tjandra diperingan sebanyak satu tahun.

Majelis hakim yang beranggotakan Haryono, Singgih Budi Prakoso, Rusydi, dan Reny Halida Ilham Malik dalam putusannya yang dibacakan Rabu (21/7) memberikan potongan hukuman dengan pertimbangan (hal yang meringankan). Yakni, antara lain disebutkan Joko Tjandra telah menjalani pidana penjara berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) dalam kasus korupsi hak tagih piutang Bank Bali. Selain itu, ia telah menyerahkan dana dalam Escrow Account atas nama rekening Bank Bali qq PT Era Giat Prima (milik Joko Tjandra) senilai Rp 546,47 miliar kepada negara.

Unsur yang memberatkan antara lain adalah Joko Tjandra telah dinyatakan bersalah pada kasus pengalihan hak tagih utang Bank Bali berdasarkan putusan MA Nomor 100 Tahun 2009. Ia juga dinyatakan terbukti menghindari hukuman pada perkara hak tagih piutang Bank Bali.

Rupanya majelis hakim kurang jeli. Kita mencatat, pada tahun 2009 Joko Tjandra dijatuhi hukuman dua tahun penjara dalam kasus korupsi Bank Bali, tapi ia melarikan diri (ke luar negeri) dan menjadi buron (DPO) selama 11 tahun. Agar tidak dieksekusi, lewat Pinangki mengurus fatwa bebas atas dirinya ke MA. Permufakatan jahat dengan menyuap Pinangki sebesar 500.000 dollar AS ini berhasil diendus oleh KPK – yang akhirnya melahirkan kasus suap yang melibatkan keduanya (Pinangki dan Joko Tjandra).

Oleh karena itu, peneliti Pusat Antikorupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, menanggapi minir. Ia menyatakan hal yang dinilai meringankan oleh majelis hakim adalah tidak tepat. Justru hal itu yang memberatkan. “Karena dia (Joko Tjandra) sudah dijatuhi pidana, meski belum dijalani karena melarikan diri, tetapi melakukan tindak pidana lagi. Dulu korupsi (hak tagih utang Bank Bali), sekarang suap dan pemufakatan jahat,” katanya.

Baca juga:  Dua Kelompok Beladiri Bentrok di Sragen, Dua Orang Babak Belur 

Kita mencatat pula, sebelum memangkas hukuman Joko Tjandra, majelis hakim banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang diketuai Muhamad Yusuf memangkas vonis Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara. Kini giliran Joko Tjandra yang mendapat keringanan hukuman dari majelis hakim banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Dengan demikian, tak salah jika publik memberikan julukan “juru pangkas” kepada majelis hakim banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Menurut Zaenur, dampak perbuatan Joko Tjandra telah mengakibatkan sistem penegakan hukum menjadi rusak. Demikian pula dengan wibawa aparat penegak hukum dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum menjadi rusak.

Tudingan itu menyesakkan dada dan sah-sah saja jika publik curiga ada udang di balik batu atas “diskon” hukuman kepada Pinangki dan Joko Tjandra tersebut. Pertanyaannya, adakah praktek mafia peradilan di balik putusan pemangkasan hukuman Pinangki dan Joko Tjandra? Jika hal itu yang terjadi berarti ada praktek jual beli hukum dalam kasus suap yang dilakukan Pinangki dan Joko Tjandra. Publik pantas menduga siapa yang bayar, dia-lah sebagai pemenangnya atau setidaknya hukumannya diringankan.

Sementara itu dalam keterangannya kepada media, Kamis (29/7), Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jateng, Hibnu Nugroho, menyatakan, majelis hakim di tingkat banding perlu dikoreksi. Seharusnya majelis hakim bersikap progresif dalam menangani kasus tindak pidana korupsi, bukan malah tersandera oleh tuntutan jaksa yang rendah.

“Di sini kita mempertanyakan spirit para penegak hukum dalam pemberantasan korupsi. Hakim mempunyai kebebasan memutus melebihi tuntutan. Hal itu boleh dan bagus,” tandas dia.

Dalam persidangan terpisah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, keduanya masing-masing dituntut 4 tahun 6 bulan penjara oleh jaksa penunut umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Oleh majelis hakim, hukuman keduanya diperberat. Pinangki diganjar 10 tahun 6 bulan penjara dan Joko Tjandra dihukum 4 tahun 6 bulan penjara.

Apa tanggapan KY (Komisi Yudisial) terkait pemangkasan hukuman terhadap Pinangki dan Joko Tjandra? Juru bicara KY Miko Ginting menyatakan, pihaknya berencana menelusuri semua aspek putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Menurutnya, penelusuran akan dilakukan atas dasar inisiatif sendiri. Alasannya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah dua kali meringankan hukuman koruptor.

Baca juga:  PKS-Golkar Gelar Silaturahmi, Bangun Kesepahaman Wujudkan Kota Semarang Lebih Baik

“Jika ada bukti mengarah pada dugaan pelanggaran perilaku, hakim bersangkutan akan diperiksa dan dimintai keterangan,” tutur Miko.

Mafia peradilan merupakan tindak pidana korupsi yang melibatkan pelaksana sistem peradilan pidana (penegak hukum), mulai dari oknum polisi, jaksa, advokat, panitera, hakim hingga petugas LP (lembaga pemasyarakatan). Aktor lainnya adalah pencari keadilan. Aspek moral dari penegak hukum sangat berpengaruh terhadap terjadinya mafia peradilan.

Seorang advokat, relasi saya, membenarkan adanya praktek mafia peradilan. “Modusnya, menjangkau di setiap tingkat proses hukum. Mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan,” katanya.

Hukum dijadikan komoditas. Ada pembeli dan penjualnya. Wani piro, berani membeli berapa rupiah/dollar AS?.

Penegak hukum yang melakukan praktek mafia peradilan boleh dibilang integritasnya keropos. Hanya untuk abang-abang lambe alias pemanis bibir saja. Atau serigala berbulu domba: orang yang berpura-pura baik untuk menutupi maksud jahatnya.

Betul kata banyak orang bahwa sekarang ini kita berada di zaman edan. Zaman yang menggambarkan situasi sosial masyarakat yang dirasakan oleh kebanyakan orang sebagai situasi yang tidak menentu. Penuh ketidakpastian dan diliputi kecemasan. Di zaman edan, orang pandai (berilmu) dan jujur belum tentu sukses, bahkan dianggap musuh atau dimusuhi dengan berbagai cara. Kebanyakan mereka yang sukses adalah orang-orang yang licik dan bertabiat suka ngapusi, berbohong, untuk mencapai tujuannya.

Di zaman edan, orang kaya semakin kaya, sementara yang miskin semakin sulit untuk memperoleh kehidupan. Hidupnya sehari-hari susah dan terengah-engah mencari sesuap nasi.

Banyak yang menyatakan, zaman edan telah digambarkan dan diramalkan oleh Prabu Jayabaya (abad 12) dan Rangga Warsita (abad 19). Prabu Jayabaya menyebutnya, zaman itu sebagai ‘kalabendu’, zaman kekacauan. Sedangkan Rangga Warsita yang dikenal sebagai pujangga Kerajaan Kasunanan Surakarta – yang hidup tahun 1860-an – menyebutnya sebagai ‘kalatidha’ atau zaman keraguan.

Tanda-tanda zaman edan antara lain ‘wong jujur ajur, wong ala mulya’. Orang jujur nasibnya malah hancur karena sengaja ditindas dan dibungkam oleh orang-orang yang buruk moralnya. Sebaliknya orang tak berintegritas malah mendapat kedudukan istimewa karena ia berani menghalalkan segala cara, misalnya, menyuap dan sebangsanya. (*)

spot_img

TERKINI