Sebuah batu berbentuk gentong atau genuk berukuran cukup besar ada di pinggir sungai jalan menuju Dukuh Watu Genuk, Desa Kragilan, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali. Gentong batu itu oleh warga juga biasa disebut Watu Genuk. Untuk apa Watu Genuk itu ?
Cukup mudah untuk menemukan Watu Genuk tersebut. Pasalnya posisinya berada di pinggir jalan. Watu Genuk itu juga sudah dipagari menggunakan tembok. Di dekatnya terlihat bekas pembakaran dupa.
Watu Genuk itu berbahan Baku dari batu andesit. Memiliki sabuk dengan ukiran di bagian tengah kulit luarnya. Separuh badan kebawah tertanam ke tanah. Sehingga, hanya kelihatan bagian separuh ke atas saja.
Berbentuk oval seperti gentong. Lebar lubang bagian atas diameter sekitar 60 cm. Kemudian diameter bagian tengah kulit luas sekitar 80 cm dengan kedalaman sekitar 86 cm.
Gentong tersebut diperkirakan terkait dengan situs Candi Watu Genuk yang berada sekitar 500 meter disebelah utaranya. Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah, melakukan pengalian penelitian di situs yang berada di wilayah Desa Kragilan, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali.
“Dari cerita mulut ke mulut (cerita tutur) Candi Watu Genuk ini ada kaitannya dengan Kerajaan Salembi atau Slembi di Desa Tambak, Kecamatan Mojosongo (Boyolali). Candi Watu Genuk ini sebagai tempat pemujaan atau sanggar pamujan,” kata Sriyono, warga Dukuh Pisah, Desa Kragilan, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali.
Di sebelah selatan Candi Watu Genuk, jelas Sriyono, berjarak sekitar satu kilometer, terdapat sepasang batu di kanan kiri jalan. Dimungkinkan sebagai gapura.
“Orang menyebut watu anten (batu nganten/temanten). Kemudian ke utara lagi ada watu genuk (Batu berbentuk gentong tempat air). Maksudnya, mungkin jaman dahulu sudah tersusun rapi. Maksudnya orang yang mau ke sanggar pamujan, disitu (watu genuk) sesuci dulu. Mungkin seperti itu, versi saya,” kata Sriyono.
Lebih lanjut Sriyono, mengatakan Candi Watu Genuk, ada kaitannya dengan Keraton Salembi hanya merupakan cerita dari kakek-nenek zama dahulu atau cerita tutur.
“Dibuktikan secara otentik, saya ya kurang tahu. Ceritanya, Keraton Slembi, kemudian Candi Watu Genuk ini, baru kemudian (Kerajaan) Pengging (Banyudono, Boyolali). Kemudian baru Prambanan. Urut-urutannya seperti itu,” cerita Sriyono.
Sebagai penganut Hindu, Sriyono mengaku sering melakukan sembahyang di Candi Watu Genuk. Sejak situs itu ditemukan.
Watu Genuk di pinggir sungai itu pun hingga saat ini sering digunakan untuk tirakatan warga. Di dekatnya terdapat bekas pembakaran dupa dan kemenyan. (aji)