Mengembangkan kecakapan matematika mengharuskan siswa menguasai konsep dan keterampilan prosedural yang diperlukan untuk bernalar dan memecahkan masalah secara efektif dalam domain tertentu. Keberhasilan pembelajaran matematika tidak selamanya harus melibatkan banyak metode untuk setiap materi yang diajarkan. Namun, metode alternatif akan sering muncul di ruang kelas, baik karena siswa membawanya dari rumah atau karena siswa berpikir secara berbeda tentang banyak masalah matematika. Di sinilah guru harus memiliki kepekaan bahwa bisa saja cara berfikir matematika siswanya berbeda dengan yang diajarkan sang guru. Guru tidak boleh memaksakan suatu metode namun justru ikut terlibat mempelajari metode yang dirasakan lebih efektif dari siswanya. Para guru juga harus menyadari bahwa seringkali ada metode alternatif yang layak untuk memecahkan masalah. Menjadikannya bahan diskusi guna menemukan kelebihan dan kekurangan masing-masing dapat memfasilitasi fleksibilitas pembelajaran (tidak kaku, tidak monoton) dan menanamkan rasa yang mendalam dari keterlibatan siswa itu sendiri.
Salah satu cara penting dan mendasar untuk mengembangkan kecakapan matematika adalah memunculkan secara aktif pemikiran siswa. Cara ini bisa ditempuh melalui pembicaraan matematika. Sekilas cara ini mungkin biasa saja, tetapi sangat berbeda dari sekadar memberikan uraian materi atau menetapkan bagian tertentu dari LKS untuk dikerjakan. Pada pembicaraan matematika sebagaimana yang penulis praktikan di kelas VI SDN Ketitangkidul-Bojong, siswa dan guru secara aktif mendiskusikan bagaimana mereka melakukan pendekatan berbagai masalah dan mengapa pendekatan itu yang dipilih.
Komunikasi matematis semacam ini terbukti dapat membantu sebagian besar siswa di kelas memahami konsep atau metode tertentu karena cara tersebut menjelaskan pendekatan yang variatif, bahkan kita dapat menemukan kesalahan di dalamnya untuk sesegera mungkin memperbaikinya agar tidak menjadi cara pandang yang kronis. Harus diingat pula bahwa secara konstruktif, anak-anak pada dasarnya telah menggunakan kecakapan matematika sedari awal, sepanjang rutinitas dan kegiatan sehari-hari mereka. Kecakapan matematika bawaan ini memberi anak-anak modal lompatan awal pada pengajaran matematika formal yang dimulai di sekolah.
Proses belajar mengajar untuk pengembangan kecakapan matematika sekali lagi tidak bergantung pada kelengkapan media ajar atau campuran dari beragam metode. Proses ini justru akan berhasil melalui pelibatan serangkaian strategi yang direncanakan oleh guru, sikap belajar siswa, dan pengetahuan mereka sebelumnya (modal awal). Ada satu pemikiran Jerome Bruner (pelopor psikologi kognitif), bahwa metode pengajaran tergantung pada anak (Muhsetyo, 2007: 1.12). Metode untuk mengajar matematika ini harus disesuaikan dengan perkembangan evolusi anak agar dapat memfasilitasi minat dan pemahaman bidang ini. Ini menyiratkan ritme berfikir dari konkret, lambang, hingga abstrak. Kecakapan matematika melalui pemecahan masalah dalam soal cerita memang menghadirkan kesulitan besar bagi siswa. Anak didik kita mungkin piawai secara mekanis memecahkan operasi fundamental matematis, tetapi mereka tidak tahu bagaimana menerapkannya untuk memecahkan masalah. Hal ini terjadi karena mereka dibiasakan atau diajarkan untuk bertindak secara mekanis secara berulang-ulang. Dalam iklim Asesmen Berbasis Komputer seperti sekarang ini, daya cakap siswa kita ditantang untuk memecahkan masalah yang mayoritas pada level C3 bahkan C4. Pada kondisi ini, membangun kecakapan matematika tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Tak lupa pula bahwa bagaimanapun bentuk pembelajarannya, maka mengajar matematika dengan cara yang paling ceria, menghibur, dan menyenangkan, mengundang siswa untuk berpartisipasi dan ingin melanjutkan perolehan pengetahuan juga merupakan satu faktor keberhasilan di dalamnya. Konsep diri yang positif sangat penting untuk menumbuhkan individu yang kreatif. Faktor-faktor efektif dalam mewujudkan keceriaan belajar diantaranya bergantung pada bagaimana cara guru menyajikan materi. Keceriaan ini akan membuat sikap positif di antara siswa dan dapat mengarah pada prestasi akademik yang lebih tinggi dan akhirnya menjadi warga belajar yang lebih aktif. Selain itu, karena kebahagiaan adalah salah satu tujuan permanen manusia dan anak-anak menggantungkannya di sekolah maka para guru juga harus menyadari untuk senantiasa membuat mereka bahagia dalam belajar: merdeka belajar.(*)
Oleh: Sri Astutiningsih, S.Pd.SD
Guru SDN Ketitangkidul Kec. Bojong Kab. Pekalongan