BLITAR. JATENGPOS.CO.ID- Kabar duka datang dari Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU). Rais Syuriyah PBNU KH Azizi Hasbullah wafat setelah 15 hari dirawat akibat kecelakaan di tol Cipali.
KH Azizi Hasbullah sempat dirawat secara intensif di RS Hasan Sadikin Bandung sejak Sabtu, 6 Mei 2023. Almarhum mengalami kecelakaan tunggal di Tol Cipali KM 42 bersama Wakil Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Trenggalek KH Zahro Wardi.
Saat itu, keduanya hendak menghadiri Halaqah Fiqih Peradaban dan Bahtsul Masail di Pondok Pesantren Al-Muhajirin 2 Purwakarta, Jawa Barat. Keduanya sempat dibawa ke RS Cideres Majalengka, Jawa Barat, sebelum kemudian KH Zahro diperbolehkan pulang, sedang Kiai Azizi harus dirujuk ke RS Hasan Sadikin untuk perawatan yang lebih baik karena cedera cukup serius yang dialaminya.
Mobil yang mereka tumpangi banting setir ke kiri dan terperosok masuk ke dalam parit. Akibat kecelakaan itu, Kiai Azizi mengalami cidera patah tulang iga dan kaki kanan.
Posisi Kiai Azizi saat kecelakaan terjadi duduk di tengah bagian kiri. Sementara Kiai Zahro mengalami gangguan pernafasan akibat kecelakaan tersebut.
Satu korban lagi yang meninggal di lokasi kejadian adalah sopir pengganti yang berada di kursi depan kiri. Sedangkan sopir utama selamat meski sempat mengalami gangguan pernafasan.
Ketua PCNU Kabupaten Blitar KH Arif Fuadi mengatakan KH Azizi wafat pada Minggu (21/5/2023) sekitar pukul 09.30 WIB.
“Beliau wafat setelah sekitar 15 hari dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Wafat sekitar pukul 09.30 WIB jenazah sudah dimakamkan Blitar,” ujarnya.
Kiai Arif menambahkan awalnya jenazah akan diterbangkan dari Bandung ke Surabaya. Tapi waktu tempuh Surabaya-Blitar lewat jalur udara butuh waktu sekitar 4 jam. Sehingga keluarga memutuskan dibawa lewat jalur darat saja.
Almarhum dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di Pondok Pesantren Baran, Selopuro, Blitar, Jawa Timur atas permintaan keluarga.
Mukti Ali Qusyairi, alumni Pesantren Lirboyo Kediri dan Ketua LBM PWNU DKI Jakarta, membuat tulisan memoriam di OnlineNu kesaksian kemahiran KH Azizi sebagai ahli fiqih yang sholi. Berikut ini tulisannya:
Sejak semula saya nyantri di Lirboyo, nama Romo KH Azizi Hasbullah–selanjutnya disebut Kiai Azizi–sudah menjadi buah bibir dan tema tersendiri dalam obrolan-obrolan warung kopi para santri. Pasalnya, di dalam diri Kiai Azizi ada anomali atau ketidaknormalan yang mengejutkan bagi publik santri.
“Syahdan, Kiai Azizi dari keluarga yang kurang berada, sehingga agar bisa nyantri di Lirboyo dengan memilih menjadi ndalem kiai pengasuh Pesantren Lirboyo. Lantaran dengan memilih menjadi ndalem, ia bisa gratis sekolah dan mesantren serta mendapatkan kebutuhan makan-minum serta kebutuhan sehari-hari.
Ndalem merupakan tradisi pesantren. Yaitu kerja-kerja khidmah, pengabdian, dan membantu berbagai hal yang dibutuhkan sang kiai. Misalkan menjaga toko kitab, warung/kantin, memasak, mengurus sawah, atau mengurus binatang ternak, dan lain-lain.
Akan tetapi kerja-kerja itu dilakukan di luar jam wajib sekolah dan ngaji wajib. Kiai Azizi konon mendapatkan pengabdian di bidang mengurus sapi-sapi milik keluarga almaghfurlah Romo KH Ahmad Idris Marzuqi, pengasuh Pesantren Lirboyo generasi ketiga.
Semasa menjadi santri, Kiai Azizi sibuk mencari rumput, memberi makan-minum, dan membersihkan kandang sapi serta memandikan sapi-sapi. Kadang-kandang sapi berada di samping pesantren. Kiai Azizi pun semasa menjadi santri sampai menjadi guru kami, kiai kami, hidup dan mukim di sebuah gubuk terbuat dari bambu dan jerami yang berada tidak jauh dari kandang sapi.
Meski sibuk ndalem mengurus sapi-sapi yang cukup menyita waktu dan menguras tenaga, tetapi Kiyai Azizi menjadi siswa yang paling menonjol kemampuan hafalan, pemahaman, mental, dan artikulasinya. Beliau selalu menjadi rais ‘aam, ketua musyawarah kitab, dan aktivis serta santri bahtsul masail pilih tanding.
Itulah yang dikagumi oleh publik santri. Sembari bertanya-tanya, mana mungkin dalam waktu bersamaan sibuk luar biasa ndalem ngurus sapi dan menjadi siswa yang paling menonjol? Ada yang bergumam, “ini anomali, gak normal!” Ada yang bilang, “jenius!” Ada yang bilang dengan bahasa agak intelek, “out of the box!” Semua mengagumi.
Di Lirboyo, Kiai Azizi menjadi tokoh fenomenal sejak menjadi santri hingga detik ini. Banyak yang menjuluki “Macan Lirboyo!” Saya pun mengaguminya. Fans berat. Meski selain beliau, ada tokoh-tokoh di dalam Lirboyo yang saya kagumi seperti di antaranya yaitu Gus KH Ishomuddin Adziq, Pak Kiai Rosichun Zaka, Pak Kiai Ali Musthofa, Pak KH Saiful Islam.
Ketika saya masih ibtidaiyah, suka menonton dan mendengarkan Kiai Azizi sedang menjelaskan rumusan dalam perhelatan bahtsul masail yang di adakan di Serambi Masjid. Ketika tsanawiyah baru bisa ikut belajar bahtsul masail dan musyawarah kitab Fathul Qarib lintas kelas tsanawiyah dan aliyah.
Dewan perumusnya di antaranya Kiai Azizi, Pak KH Ali Musthofa, dan lain-lain. Ketika beliau menjelaskan, saya pasang kuping dengan lebar. Rasanya senang sekali bisa dibimbing sang maestro bahtsul masail.
Semula saya terkaget-kaget, kok bisa Kiai Azizi dalam merumuskan jawaban persoalan dengan memasukkan pada bab kitab fiqih yang sepertinya kurang nyambung tapi memang itu jawabannya.
Pelan-pelan saya amati, dan setelah kelas tiga tsanawiyah dan sudah lumayan banyak baca kitab-kitab kuning seperti Bujayrami ‘ala al-Khathim Syarah Iqna, di sekolah juga belajar Fathul Mu’in dengan Syarah I’anat al-Thalibib dan Tarsyikhul Mustafidin, Hasyiyah Syarwani Sayah Tuhfatul Muhtaj pemberian kakak saya Qurratul ‘Ain beli ketika haji, dan lain-lain. Serta rajin mencatat ‘ibarat-‘ibarat/penjelasan kitab yang penting.
Saya baru memahami, ya memang ada banyak persoalan yang di bahas di bab kitab fikih yang terlihat tidak nyambuh tetapi sebetulnya terkait. Karena kitab fiqih dalam pengebaban sudah baku. Itu-itu saja babnya. Misalkan ubudiyah, munakahat, mu’amalat, dan jinayat.
Bagi yang biasa membaca buku modern pasti akan bingung mencari jawaban dari kitab kuning. Sebab buku modern ditulis secara spesifik dan tematik serta kasuistik/masalah per masalah. Sedangkan kitab kuning tidak ditulis secara tematik dan spesifik. Kita tidak akan menemukan tema tahlilan atau sedekah yang pahalanya untuk mayat, tapi kita akan menemukannya di bab janazah, dan lain-lain.
Akan tetapi terkadang ketika tidak ditemukan jawaban secara literalis dalam kitab kuning, Kiai Azizi memberi rumusan dengan teori ilhaq, menganalogikan persoalan kontemporer kepada persoalan yang ada dalam narasi kitab kuning yang berbeda tapi mengandung titik persamaan yang dapat menyatukan dan mengerucut pada hukum yang sama.
Kursus Ketika tiba saatnya di sekolah MHM (Madrasah Hidayatul Mubtadiin) Lirboyo saya mendapati materi kitab ushul fikih Waraqat, disusul Tashil al-Thuruqat, dan Lubbul Ushul. Kakak kelasku, Kang H Said Salim–yang saat ini menjadi kakak ipar–menitipkan saya ke Kiai Azizi untuk ikut kursus kitab ushul fiqih.
Karena Kang H Said saat itu mau boyong tamatan. Kami sowan dengan membawa gula batu dan teh upet khas Cirebon. Sejak saat itu saya aktif kursus ushul fiqih kitab Lubul Ushul bersama Kiai Azizi di biliknya yang terbuat dari bambu dan jerami itu. Biasa kita menyebutnya “gedeg”.
Saya masih terngiang cara beliau menjelaskan. Menjelaskan pengertian dari kata per kata yang ada di dalam kitab. Sejujurnya saya baru bisa memahami ushul fiqih berkat kursus dengan Kiai Azizi. Sehingga ketika beranjak naik kelas Aliyah menjumpai kitab Jam’u al-Jawami 2 jilid, saya merasa agak ringan karena ada modal kurus kitab Lubul Ushul bersama Kiai Azizi”. (dbs/nu/muz)