JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG – Guna menekan aksi kebut-kebutan (balap liar) dan pelanggaran lalu lintas yang dilakukan pengendara dan banyak melibatkan anak di bawah umur. Polda Jateng menggalakkan kegiatan sosialisasi dan edukasi di lingkungan sekolah.
Kegiatan yang dikemas dalam program Police Goes To School ini menjadi salah satu andalan Polda Jateng untuk mengedukasi kalangan remaja dan anak-anak di tingkat SD hingga SMA.
“Pelajar atau kalangan di bawah umur diberi edukasi agar mereka paham tentang keselamatan berlalu lintas,” kata Kabidhumas Polda Jateng, Kombes Pol Satake Bayu Setianto, di Kantornya Mapolda Jateng, Jumat (8/3).
Dijelaskan, para pengendara yang kerap terjaring melakukan pelanggaran lalulintas ternyata banyak dari usia dibawah umur. Sebagai contoh, berboncengan tiga, menggunakan ranmor yang tidak sesuai spesifikasi hingga aksi kebut-kebutan atau balap liar.
“Para remaja tersebut, perlu diberikan pemahaman tentang aspek keselamatan berlalulintas. Bila melakukan aksi kebut-kebutan dapat membahayakan diri dan orang lain,” terangnya.
Ditegaskan Kabidhumas, berkendara dijalan itu perlu etika. Ada sanksi hukum buat mereka yang melanggar, apalagi kalau sampai terlibat kecelakaan sehingga merugikan orang lain.
Di sisi lain, pakar psikologi Universitas Diponegoro, Dr. Hastaning Sakti, M.Kes, mendukung upaya Polri dalam memberikan pemahaman tentang keselamatan berlalu lintas pada remaja termasuk anak-anak di bawah umur.
“Anak-anak perlu paham tentang tanggung jawab sosial dan konsekwensinya bila melakukan pelanggaran lalu lintas. Saya merasa prihatin terhadap anak-anak yang melakukan aksi kebut-kebutan di jalan raya,” kata Hastaning.
Menurutnya, anak – anak tersebut, awalnya mereka diberi kelonggaran oleh orang tua. Tapi ujung-ujungnya malah ngebut di jalan.
“Dilihat dari sisi psikologis, anak-anak dibawah umur cenderung merasa dirinya adalah “raja” dan bisa melakukan banyak hal. Kalangan ini cenderung berpikiran pendek dan emosi yang kurang matang,” ujarnya.
Hal ini dipengaruhi oleh amigdala yang mereka miliki. Amigdala merupakan bagian dalam anatomi otak yang berhubungan dengan proses emosi, perilaku, dan memori.
“Bila mendengar suara motor yang kencang di belakang mereka. Maka mereka akan memacu kendaraan (supaya tidak tersusul),” jelas pakar psikoneuroimunologi dan psikologi transpersonal ini.
Kalangan ini, cenderung belum merasa nyaman saat beradu pandang dengan orang lain. Sapaan dari orang lain yang melintas naik motor, bagi mereka dapat dianggap sebagai sebuah tantangan.
Untuk itu, ia mendukung upaya-upaya Polri untuk memberikan pemahaman pada remaja dan anak di bawah umur tentang lalu lintas.
“Perlu sesekali ada upaya untuk efek jera. Perlu warning (peringatan). Orang tua juga harus ikut memberikan pemahaman bahwa mengendarai kendaraan di jalan raya itu butuh tanggung jawab dan ada konsekuensinya,” tutup Hastaning. (ucl/rit)