JATENGPOS.CO.ID. SEMARANG– Indera yang penting dalam seni adalah mata atau penglihatan. Hubungan antara pemerhati dan seniman pada dasarnya dikonstruksi melalui mata. Objek-objek yang dilihat diterjemahkan dari realitasnya oleh seniman dan menjadi metafora visual. Metafora visual inilah yang kemudian digunakan oleh para seniman selama berabad-abad untuk berkomunikasi tanpa kata-kata.
Komunikasi tanpa kata-kata tersebut juga dapat ditemukan dalam pameran bersama bertajuk “The Primacy of Seeing”. Pameran tersebut digelar di Semarang Gallery, Jalan Taman Srigunting, nomor 5-6, Kotalama, Semarang, selama satu bulan, mulai 13 April 2018 sampai 13 Mei 2018. Belasan lukisan yang dipamerkan merupakan pertemuan “mata” empat seniman asal Yogyakarta sebagai bentuk metafora visual hasil penglihatan realitas. Empat seniman yang terlibat dalam pameran “The Primacy of Seeing” tersebut di antaranya Ayu Arista Murti, Gilang Fradika, S Dwi Stya (Acong), dan Wedhar Riyadi.
“Semua karya ini memiliki konsep berbeda tetapi dari perbedaan tersebut benang merahnya dapat dilihat. Masing-masing lukisan mewakili perspektif dari masing-masing seniman yang berbeda tentang perbuatan melihat dan dilihat atau diawasi,” kata Anton Larenz selaku kurator pameran bersama “The Primacy of Seeing” saat ditemui dalam pembukaan pameran pada Jumat (13/4) malam.
Anton mengungkapkan dalam karya-karya ini terdapat diskusi tentang media dan penerjemahan apa yang dilihat. Seperti diketahui saat ini “mata” berada di mana-mana dan tidak dapat dihindari lagi. Terlebih adanya teknologi informasi yang saat ini membuka akses ke mana pun dan untuk semuanya.
“Melihat dan dilihat sudah tidak dapat dihindari lagi karena sudah transparan dan tidak bisa ditutupi lagi. Terutama dengan adanya teknologi informasi yang memiliki sisi positif dan negatif di mana keterlihatan total dan pemakai teknologi ditelusuri dengan akibat pengawasan dan kontrol total,” ujarnya.
“Seni visual berupa lukisan dari empat seniman ini merupakan media atau alat untuk menerjemahkan apa yang dilihat dan diawasi secara berbeda,” sambung Anton.
Menurut Ayu, satu dari empat seniman yang terlibat dalam pameran, keberadaan pameran “The Primacy of Seeing” ini merupakan salah satu langkah baginya untuk memberikan arti bagi banyak orang. Karya-karya yang dipamerkan diharapkan dapat menginspirasi dan memberikan warna bagi Kota Semarang. Di mana perbedaan yang ada dari masing-masing seniman bukanlah kendala.
“Perbedaan yang ada pada kami berempat tidak menjadi sebuah kendala untuk mengapresiasi. Kami berharap lebih banyak sudut pandang untuk membagikan memori dan kenangan, serta membangkitkan imajinasi seseorang untuk lebih kreatif dan lebih membawa kebaikan pada kita semua,” ungkapnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Wedhar Riyadi yang mengaku senang dapat terlibat dalam pameran. Baginya pameran tersebut merupakan bentuk kebahagiaan bagi seorang pelukis. Di mana ia sebagai seniman dapat bertemu langsung dengan penikmat seni. (har/muz)