JATENGPOS.CO.ID, SOLO – Fenomena suhu dingin ekstrem, atau yang dikenal dengan “bediding”, sedang melanda Pulau Jawa dan sekitarnya. Dosen Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Drs. Yuli Priyana, M.Si., menjelaskan bahwa ini adalah siklus tahunan yang lazim terjadi.
“Fenomena bediding yang kita rasakan saat ini biasa terjadi di musim kemarau pada bulan Juli hingga September,” ungkap Yuli, Kamis (24/7/2025).
Senada dengan itu, Prakirawan BMKG Stasiun Klimatologi (Stalkim) Jawa Timur, Linda Firotul, seperti dilansir Antara, mengungkapkan bahwa fenomena bediding ini dipicu oleh Angin Timuran dari Australia.
Yuli Priyana memperjelas bahwa Angin Monsun/Muson tercipta karena musim dingin di Australia. “Angin dingin ini bergerak ke arah Indonesia, terutama di Pulau Jawa bagian selatan, serta wilayah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa, dan Bali,” sambungnya.
Pada periode Juli hingga September, posisi matahari cenderung menyinari bumi bagian utara, menyebabkan wilayah tersebut mengalami musim panas dengan suhu yang lebih tinggi. Sebaliknya, belahan bumi selatan, termasuk Australia, mengalami musim dingin dengan suhu lebih rendah karena kurangnya paparan sinar matahari.
“Australia saat ini sedang mengalami musim dingin. Suhu yang lebih rendah menyebabkan tekanan udara di Australia menjadi tinggi, berbeda dengan wilayah Indonesia yang memiliki suhu tinggi dengan tekanan udaranya lebih rendah,” jelas Yuli.
Ia menerangkan, angin bergerak dari tekanan tinggi menuju tekanan rendah. Akibatnya, udara dingin dari Australia bergerak menuju wilayah dengan tekanan rendah di Indonesia. Inilah alasan mengapa fenomena bediding banyak dirasakan di wilayah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa, dan Bali.
Faktor lain yang menyebabkan suhu dingin di pagi hari adalah minimnya awan saat musim kemarau. Ketika siang hari terik, langit cerah tanpa awan menyebabkan radiasi matahari langsung jatuh ke bumi.
Namun, saat malam hari, karena minimnya awan, panas yang tersimpan di bumi cepat lepas ke atmosfer, mengakibatkan udara malam menjadi lebih dingin, bahkan hingga pagi hari.
Banyak warganet yang mengaitkan fenomena bediding dengan aphelion. Namun, Yuli Priyana menegaskan bahwa kedua fenomena ini tidak berkaitan.
“Fenomena bumi menjauh dari bumi atau yang sering disebut dengan aphelion, tidak memiliki dampak signifikan pada fenomena bediding ini,” ungkapnya.
Perubahan perbedaan suhu di musim kemarau ini tentu membawa dampak bagi kesehatan masyarakat. Udara dingin dapat menyebabkan daya tahan tubuh menurun, sehingga lebih rentan terserang penyakit.
“Manusia memiliki beragam mikroorganisme yang berperan menjaga keseimbangan, namun efektivitasnya tetap bergantung pada daya tahan tubuh. Jika daya tahan tubuh melemah, maka tubuh akan mudah sakit,” tambahnya.
Yuli Priyana menyarankan masyarakat untuk tetap menjaga daya tahan tubuh. “Menghadapi fenomena bediding ini, dianjurkan untuk menggunakan pakaian hangat, menjaga pola makan, dan mengonsumsi minuman yang hangat,” pungkasnya. (dea/rit)