JATENGPOS.CO.ID, SOLO – Universitas Slamet Riyadi (UNISRI) Solo mengukuhkan Prof. Dr. H. Bambang Ali Kusumo, SH, M.Hum sebagai Guru Besar di bidang Ilmu Hukum Pidana, Sabtu, (26/07/2025). Pengukuhan ini menjadikannya Guru Besar kedelapan di UNISRI dan yang pertama di Fakultas Hukum.
Rektor UNISRI, Prof. Dr. Drs. Sutoyo, M.Pd, dalam pidato sambutannya menyampaikan selamat dan apresiasinya. “Kami meyakini pengukuhan guru besar ini akan menjadi motivasi dan inspirasi bagi seluruh dosen di UNISRI untuk meraih jabatan tertinggi,” ujarnya.
Rektor Sutoyo berharap, Prof. Bambang dapat terus berkontribusi positif melalui pemikiran-pemikiran kritisnya terhadap persoalan hukum yang muncul di masyarakat.
“Peran para ahli hukum dan guru besar di bidang hukum sangat dibutuhkan untuk memberikan solusi terbaik demi mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera,” tambahnya.
Proses untuk mencapai jabatan Guru Besar tidaklah mudah, membutuhkan semangat juang dan kegigihan luar biasa. Rektor Sutoyo menyebutkan, tantangan setelah menjadi guru besar pun semakin berat, terutama dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Dosen yang menyandang gelar Guru Besar profesional diharapkan memiliki kompetensi yang terus meningkat, menguasai ilmu di bidangnya, produktif dalam penelitian dan publikasi karya ilmiah, serta memiliki sikap dan perilaku yang dapat menjadi teladan. Rektor UNISRI yakin Prof. Bambang dan para guru besar lainnya dapat menjalankan peran tersebut dengan baik.
Prof. Dr. H. Bambang Ali Kusumo, SH, M.Hum menyampaikan pidato pengukuhannya yang berjudul “Tanggung Jawab Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.” Topik ini sejalan dengan keahliannya di bidang Hukum Pidana.
Bambang menyimpulkan Dalam Undang-Undang TIPIKOR yakni Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur sistem pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana korupsi, oleh sebab itu tidak ada alasan untuk tidak bisa menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi.
“Mengingat hal tersebut, maka penegak hukum tidak boleh diskriminatif dalam menjerat pelaku tindak pidana korupsi. Korporasi harus dibina untuk kepentingan negara, jangan negara dikendalikan korporasi,” kata Prof Bambang.
Jadi, secara yuridis penjeratan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan korporasi dalam tindak pidana korupsi tidak terjadi perbedaan di antara penegak hukum, yang menjadi masalah adalah keberanian dari penegak hukum yang tidak tegas baik dari penuntut umum maupun hakim sebagai pemeriksa kasus dan pemutus perkara. Bila berani dan tegas maka kerugian negara akan bisa diminimalkan. (dea/rit)