29 C
Semarang
Senin, 20 Oktober 2025

Etika dan Literasi Digital Harus Jadi Benteng di Era AI dan Hoaks

JATENGPOS.CO.ID,  TEMANGGUNG — Di era digital dan perkembangan teknologi informasi yang makin berkembang cepat, diperlukan pentingnya etika dan tanggung jawab akademik dalam pemanfaatan kecerdasan artifisial (AI) untuk penulisan karya ilmiah di tengah maraknya hoaks dan disinformasi digital.

Demikian dikatakan Anggota DPR RI Komisi VIII Fraksi PDI Perjuangan, Wibowo Prasetyo, saat menjadi pembicara dalam Pelatihan Penulisan Karya Tulis Ilmiah Berbantuan Kecerdasan Artifisial, Yang digelar Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Kementerian Agama dan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Walisongo, di Temanggung, Sabtu (11/10/2025).

Menurut Wibowo, kehadiran AI telah mengubah cara menulis dan berpikir di dunia akademik. AI kini bisa mencari ide, meringkas literatur, hingga merapikan bahasa tulisan dengan cepat.

Namun ia menegaskan bahwa AI hanyalah alat bantu, bukan pengganti nalar manusia. “AI bisa menulis dengan cepat, tapi tidak bisa menulis dengan nurani. Etika akademik adalah kompas yang menjaga agar teknologi tidak menghilangkan makna keilmuan,” ujar politisi PDI Perjuangan dari Dapil VI Jawa Tengah itu.

Dikatakan, tanggung jawab ilmiah tetap berada di tangan manusia, bukan di mesin. AI seharusnya digunakan untuk memperkuat kemampuan berpikir kritis dan efisiensi kerja akademik, bukan untuk mengambil jalan pintas.

“Gunakan AI untuk memperdalam proses berpikir, bukan untuk berhenti berpikir,” tegasnya.

Perkuat Literasi Digital Masyarakat

Lebih jauh, Wibowo menyoroti pentingnya kontribusi dunia akademik dalam meningkatkan literasi digital masyarakat. Menurutnya, karya ilmiah yang ditulis dengan jujur dan berbasis data dapat menjadi penyeimbang arus hoaks dan disinformasi yang semakin marak di media sosial.

Baca juga:  Black Campaign? Polisi Periksa Kades Asinan Jelang Pilkada, Tim Hukum Perkasa Melawan

“Karya ilmiah yang etis adalah benteng akal sehat publik. Di tengah banjir hoaks digital, dosen dan peneliti adalah penjaga kebenaran,” katanya.

Ia menekankan, literasi digital masyarakat harus naik kelas bukan sekadar bisa memakai teknologi, tapi juga mampu menilai, membedakan, dan memverifikasi informasi.

“Banyak orang membaca, tapi belum tentu paham apa yang dibacanya. Di situlah literasi digital bekerja dalam membantu masyarakat berpikir kritis,” ujarnya.

Disinformasi Otomatis dan Bahaya “Hoaks Digital”

Dalam seminar yang diadakan dalam masa reses DPR RI tersebut Wibowo juga menyinggung fenomena disinformasi otomatis yang muncul akibat perkembangan teknologi AI generatif seperti ChatGPT, Gemini, dan lainnya. AI kini mampu menciptakan teks, gambar, bahkan video palsu yang sangat meyakinkan atau sering disebut deepfake.

“Kita bukan lagi menghadapi hoaks manual yang diketik manusia, tapi hoaks otomatis hasil algoritma. Ini jauh lebih berbahaya karena sulit dibedakan dengan kebenaran,” jelasnya.

Dijelaskan, hanya dengan penguatan etika akademik dan literasi digital masyarakat bisa terlindungi dari jebakan informasi palsu yang tampak ilmiah namun menyesatkan.

Wibowo mendorong kampus-kampus agar mulai mengajarkan etika penggunaan AI dalam kurikulum metodologi penelitian dan penulisan ilmiah. Langkah ini penting agar dosen dan mahasiswa memahami cara memanfaatkan teknologi secara produktif sekaligus bertanggung jawab.

Baca juga:  Zainudin Resmi Dilantik, Pimpinan DPRD Kabupaten Semarang Akhirnya Komplit

“AI literacy perlu menjadi bagian dari budaya akademik. Dosen dan mahasiswa harus paham batas antara bantuan teknologi dan pelanggaran etika,” tandasnya.

Ia menegaskan bahwa AI bisa mempercepat proses akademik, tapi etika yang akan menentukan arah dan martabat ilmu pengetahuan.

Ilmu untuk Mencerahkan Publik

Wibowo menutup paparannya dengan menekankan bahwa karya ilmiah bukan hanya urusan akademik, melainkan juga tanggung jawab sosial untuk mencerdaskan masyarakat.

Menurut dia, pengetahuan yang etis dan berbasis riset dapat menjadi rujukan bagi publik untuk membedakan fakta dari opini dan kebenaran dari sensasi.

“Kalau media sosial menciptakan kecepatan, maka dunia akademik harus menjaga kedalaman,” ucapnya. “Kita butuh lebih banyak penulis yang beretika, bukan hanya yang viral,” ujar Wibowo.

Kegiatan pelatihan ini diikuti dosen, peneliti, dan pendidik dari berbagai perguruan tinggi Islam di Jawa Tengah. Dekan FITK UIN Walisongo Prof Fatah Syukur menjelaskan, kegiatan tersebut bertujuan membekali dosen agar mampu menulis karya ilmiah dengan memanfaatkan teknologi AI secara bijak dan beretika.

Dia berharap pelatihan ini menjadi wadah kolaborasi antara kampus, pemerintah, dan dunia digital untuk membangun ekosistem keilmuan yang cerdas sekaligus berintegritas.

“AI bisa menulis teks, tapi manusia yang memberi makna. Etika adalah kompas dalam badai informasi, dan literasi digital adalah cahaya yang menjaga arah bangsa,” katanya.(BIZ/RIF)


TERKINI


Rekomendasi

...