Isu pemborosan pangan (food loss dan food waste) menjadi tantangan penting dalam upaya ketahanan pangan dan pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan. Di Indonesia menurut Badan Pangan Nasional (Bapanas), secara nasional food loss & waste atau susut dan sisa pangan (SSP) mencapai kisaran 23-48 juta ton per tahun.
Contohnya di provinsi Jawa Tengah, di Kota Pekalongan diketahui bahwa sekitar 60% dari total sampah berasal dari sisa makanan rumah tangga—karena pembelian bahan pangan berlebihan dan penyimpanan yang kurang tepat.
Kampanye “Gerakan Stop Boros Pangan” aktif digalakkan sebagai bagian dari upaya perubahan perilaku mengonsumsi dan mengelola pangan secara efisien.
Masalah pemborosan pangan bukan hanya soal etika konsumsi : ia berkaitan dengan pengeluaran ekonomi, kerusakan lingkungan (misalnya emisi gas rumah kaca dari makanan yang terbuang), dan potensi jatuhnya ketahanan pangan apabila sumber daya tidak dikelola dengan baik.
Tim Penggerak PKK Jawa Tengah menempatkan isu ketahanan pangan dan pengelolaan pangan rumah tangga sebagai salah satu fokus penting – termasuk melalui program pemanfaatan lahan pekarangan, diversifikasi pangan, dan gerakan rumah tangga sadar pangan.
Dalam seminar atau forum yang membahas ketahanan pangan dan pemborosan pangan, yang beberapa waktu ada menyampaikan beberapa hal penting sebagai berikut :
Kesadaran dan Perubahan Perilaku Rumah Tangga
Rumah tangga sebagai unit terkecil dalam rantai konsumsi pangan memiliki peran penting: mulai dari perencanaan belanja bahan pangan, penyimpanan, pengolahan, hingga pemanfaatan sisa makanan.
Pembelian berlebihan (“belanja banyak karena promo”, “stok banyak di rumah”) dan kurangnya pengolahan atau pemanfaatan sisa adalah dua penyebab besar pemborosan pangan di tingkat rumah tangga.
Di Jateng, upaya edukasi lebih lanjut diperlukan agar ibu-rumah tangga/pengelola rumah tangga bisa lebih bijak dalam “belanja sesuai kebutuhan”, “menyimpan dengan baik”, dan “mengolah sisa” (misalnya menjadi bahan olahan atau kompos).
Program Pekarangan dan Diversifikasi Pangan
TP PKK Jateng mendorong program seperti “satu rumah satu pohon” atau pemanfaatan lahan pekarangan untuk tanaman bermanfaat, sebagai bagian dari ketahanan pangan keluarga.
Dengan memproduksi sebagian bahan pangan sendiri di pekarangan (sayur, buah, ikan kecil, ayam petelur), maka ketergantungan pada pasokan eksternal bisa dikurangi, dan sekaligus mengurangi pemborosan dari rantai panjang distribusi.
Diversifikasi pangan (tidak hanya bergantung pada satu jenis karbohidrat saja) juga penting untuk gizi dan pengurangan risiko pemborosan karena “terlalu banyak bahan yang tidak habis”.
Kolaborasi Multi-Stakeholder dan Konsep “Ketahanan Pangan” yang Lebih Luas
Gouw Ivan Siswanto menekankan pentingnya sinkronisasi program antara TP PKK, pemerintah daerah, dinas terkait (ketahanan pangan), swasta (misalnya CSR) dan masyarakat.
Pemborosan pangan harus dilihat tidak hanya dari sisi konsumsi akhir, tapi juga di sisi produksi, distribusi, penyimpanan, dan pengelolaan sampah/limbah pangan.
Melalui gerakan “Stop Boros Pangan”, program-program seperti bank pangan, kampanye penyuluhan, dan pengurangan sisa di katering/rumah tangga turut disiapkan.
Tantangan dan Hambatan Pelaksanaan
Perubahan perilaku bukan hal yang cepat: masih banyak kebiasaan “stok banyak”, “tidak menyelesaikan makanan di piring”, atau “sisa yang akhirnya dibuang” di rumah tangga.
Koordinasi lintas sektoral (pertanian, lingkungan, rumah tangga, pendidikan) masih perlu diperkuat agar program-program bisa berjalan berkesinambungan di tingkat desa/kelurahan.
Data terkait susut dan sisa pangan di tingkat lokal masih terbatas; pemetaan dan monitoring perlu diperbaiki agar intervensi bisa tepat sasaran.
Berikut adalah beberapa strategi yang dapat diambil, baik oleh rumah tangga, TP PKK, maupun pemangku kebijakan :
Rumah tangga / individu
Buat rencana menu mingguan sehingga bahan pangan dibeli sesuai kebutuhan dan terhindar pembelian impulsif atau stok berlebih.
Gunakan teknik “first in, first out”: bahan pangan yang dibeli terlebih dahulu dikonsumsi terlebih dahulu. Pastikan penyimpanan yang tepat agar tidak cepat rusak.
Manfaatkan sisa makanan: misalnya jika sayur/sisa nasi ada, bisa diolah menjadi menu berbeda, atau bahan untuk kompos (khusus bagian yang tak bisa dikonsumsi).
Tingkatkan kesadaran gizi dan keberagaman pangan: memilih pangan lokal, memanfaatkan hasil pekarangan, agar tidak bergantung hanya pada satu jenis pangan dan mengurangi risiko pemborosan.
TP PKK dan komunitas lokal
Tingkatkan pendidikan kader PKK tentang pengelolaan pangan rumah tangga, bahayanya pemborosan, serta teknik pemanfaatan pekarangan dan sisa pangan.
Jalankan gerakan “satu rumah satu pekarangan” dan “diversifikasi pangan” secara massif di kampung/desa, agar budaya ketahanan pangan dan efisiensi pangan tumbuh.
Fasilitasi pembentukan bank pangan lokal atau kerja sama dengan lembaga penyelamatan pangan untuk menampung pangan berlebih atau layak konsumsi yang terbuang, kemudian disalurkan ke yang membutuhkan.
Lakukan kampanye yang kreatif di tingkat masyarakat: misalnya lomba “olahan kreatif dari sisa makanan”, demo “belanja hemat dan minim sisa”, dan sosialisasi di sekolah tentang etika pangan.
Pemerintah daerah / pemangku kebijakan
Sediakan data dan pemetaan terkait susut dan sisa pangan di wilayah (kabupaten/kota) agar intervensi bisa spesifik dan terukur.
Buat regulasi atau kebijakan insentif yang mendukung: misalnya insentif untuk usaha katering/restoran yang mengelola sisa makanannya, atau dukungan untuk bank pangan dan pemanfaatan limbah organik menjadi kompos atau pakan ternak.
Sinergikan lintas sektor (pertanian, lingkungan, pendidikan, sosial) agar program ketahanan pangan dan pemborosan pangan tidak berjalan sendiri-sendiri tetapi saling mendukung.
Publikasikan kampanye publik yang terus-menerus untuk mengubah persepsi bahwa “pangan yang terbuang” adalah kehilangan sumber daya penting dan bukan hanya sisa yang bisa diabaikan.
Isu pemborosan pangan memang kompleks karena menyentuh aspek produksi, distribusi, konsumsi hingga limbah. Namun, seperti yang disampaikan oleh Staff Ahli Tim Penggerak PKK Jawa Tengah, kuncinya adalah perubahan perilaku di rumah tangga dan kolaborasi multipihak yang berkelanjutan.
Dengan memulai dari hal-hal sederhana seperti belanja sesuai kebutuhan, mengolah sisa makanan, memanfaatkan pekarangan, hingga kampanye dan edukasi di tingkat masyarakat, maka pemborosan pangan dapat dikurangi sehingga sumber daya pangan kita bisa lebih optimal, lingkungan lebih terjaga, dan ketahanan pangan keluarga maupun daerah bisa diperkuat. (*)
Oleh:
Gouw Ivan Siswanto, S.H., M.Th.
(Staf Ahli Tim Penggerak PKK Jawa Tengah)











