30 C
Semarang
Jumat, 28 November 2025

Penghayat Kepercayaan tak Punya Nabi-Kitab, MUI Tegaskan Bukan Agama Tolak Pencatuman di Kolom KTP



JATENGPOS.CO.ID, UNGARAN- Belakangan ini marak permohonan ubah kolom agama Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi penganut ‘Penghayat Kepercayaan’. Kasus ini marak terjadi di beberapa daerah, diantaranya di wilayah Jawa Timur terjadi di Kabupaten Magetan, dan Ponorogo.

Penghayat Kepercayaan sendiri sejak dulu menjadi kontroversi di tengah perikehidupan masyarakat beragama.  Majelis Ulama Indonesia (MUI) kembali menyatakan bahwa Penghayat Kepercayaan tidak bisa dikategorikan sebagai agama.

MUI menjelaskan suatu kepercayaan bisa dikategorikan sebagai agama jika memiliki sekurang-kurangnya tiga syarat. Ketua MUI Bidang Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Prof Utang Ranuwijaya menjelaskan.

“Tiga syarat itu adalah ada nabinya, ada kitab sucinya, dan ada ritual berikut tempat ibadahnya. Ketiga persyaratan ini tidak ada dalam penghayat kepercayaan. Jadi jelas, penghayat kepercayaan agama bukanlah agama,” tegas Ketua MUI Bidang Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Prof Utang Ranuwijaya dilansir dari website resmi MUI, kemarin.

Apalagi, lanjutnya, penghayat kepercayaan tidak masuk ke dalam agama di Indonesia yang secara resmi diakui. Sebab, agama di Indonesia yang diakui secara resmi hanya Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.

Baca juga:  Kekayaan tak Wajar Rafael Terus Diusut

Prof Utang mengatakan persoalan lainnya yang bisa timbul dari fenomena ini jika penghayat kepercayaan itu ada pada suatu agama tertentu, misalnya pada masyarakat Islam, kemudiaan mereka melakukan ritual yang menyalahi akidah Islam karena bercampur dengan ajaran penghayat kepercayaan.

Prof Utang menegaskan bahwa ritual penghayat kepercayaaan tidak dibenarkan dalam akidah Islam karena bisa menyesatkan umat.

“Ini artinya jelas menyalahi syariat Islam. Sikap MUI jelas tidak setuju dengan munculnya fenomena ini. Pemerintah diharapkan konsisten menetapkan agar kolom agama diisi dengan agama resmi yang diakui dan dianut oleh masyarakat,” tegasnya.

Prof Utang meminta agar pemerintah tidak memberi peluang kepada masyarakat untuk mengosongkan kolom agama, karena bisa dimaknai bahwa negara membolehkan penduduknya tidak beragama. Sebab, hal ini bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar RI.

“Fenomena ini cukup memprihatinkan. Ini fenomena baru yang dulunya tidak pernah ada. Lagi pula, meskipun beberapa tahun ke belakang muncul fenomena ini di beberapa tempat, tapi faktanya fluktuatif dan hanya puluhan atau bahkan belasan orang pemohon,” ujarnya.

Prof Utang mengingatkan mengisi kolom agama di KTP dengan penghayat kepercayaan, akan berakibat kerancuan masyarakat dalam memahami agama, karena penghayat kepercayaan bukanlah agama.

Baca juga:  Cerita Tim Relawan Pemakaman Covid: Dijawil Pocong hingga Tertimpa Peti

Sementara berdasarkan data dihimpun, fenomena meningkatnya permohonan perubahan isi kolom agama di KTP menjadi “Penghayat Kepercayaan” pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 97/PUU-XIV/2016, terjadi di beberapa daerah.

Di Jawa Timur, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) mencatat ada 62 pemohon di Kabupaten Ponorogo, dan di Magetan ada 17 pemohon di sepanjang semester pertama 2025.

Sementara, di Jawa Tengah, jumlah warga yang mengubah keterangan kolom agama pada KTP menjadi penghayat atau penganut kepercayaan selama tiga tahun terakhir mencapai 6.395 orang, paling banyak di Kabupaten Cilacap yang mencapai 1.000 orang lebih.

Di Jawa Barat, provinsi yang terkenal islamis, juga mencatatkan pertumbuhan jumlah “penghayat kepercayaan”. Dari total 3.275 orang pada 2023, jumlahnya meningkat menjadi 3.279 orang pada 2024, atau naik sekitar 0,12%.

Total ada 187 kelompok penghayat kepercayaan di Indonesia yang terdata pemerintah. Terbanyak, kelompok penghayat kepercayaan berada di Jawa Tengah dengan 53 kelompok. Penghayat Kepercayaan bukan agama? (dbs/muz)



TERKINI


Rekomendasi

...