Puisi Gus Mus Penuh Keindahan dan Kejujuran

Gus Mus saat membacakan puisi-puisinya di panggung sastra pelataran di halaman Kantor Walikota Jalan Pemuda Kota Semarang pada Jumat malam (1/12). FOTO : PRAST WD/JATENGPOS.CO.ID

JATENGPOS.COID, SEMARANG – Puisi bagi Mustofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus merupakan suatu keindahan tak ubahnya karya seni. Membuat puisi itu harus jujur dan tidak dibuat-buat. Selain itu, puisi-puisi Gus Mus tidak ditujukan sebagai alat dakwah tetapi agar dicintai.

“Saya melihat seni sebagai suatu keindahan dan ada hadits yang menyatakan bahwa Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan. Orang berkesenian itu aslinya melihat keindahan. Makanya saya juga suka yang indah biar disukai Tuhan,” kata Gus Mus dalam acara Sastra Pelataran ke-12 di halaman Balaikota Semarang, Jumat (1/12) malam.

Gus Mus juga menceritakan awal mula ia membaca dan menulis puisi. Awal kedekatan Gus Mus dengan puisi dan sastra terjadi pada tahun 1980an. Saat itu ia diminta oleh ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk membacakan puisi berbahasa Arab. Justru sejak saat itu orang-orang mengenal Gus Mus sebagai penyair Arab.

Baca juga:  Sowan Gus Mus, Gus Yasin Banyak Diskusi dan Ger-geran

“Membaca dan menulis puisi itu mulai terpaksa sampai serius. Awalnya tahun 80an ada program menerjemahkan puisi Arab dan dibacakan. Tetapi kurang enak kalau hanya terjemahan saja tanpa ada bahasa aslinya. Lalu saya ditunjuk untuk membacakan versi bahasa aslinya,” tutur pengasuh Pondok Pesantren Roudlotul Tholibin Rembang tersebut.

iklan

Setelah itu Gus Mus kembali diundang untuk membacakan puisi, baik puisi sendiri maupun penyair lain. Puisi pertama yang dibuat Gus Mus adalah puisi “Balsem” yang ditulis dalam perjalanan ke Jakarta. Lalu ada puisi yang juga menjadi judul buku antologi puisi pertamanya, yakni “Nyanyian Kebebasan Atawa Boleh Apa Saja”.

“Puisi itu keindahan, jadi harus jujur dan tidak boleh dibuat-buat. Harus banyak membaca karena dengan itu banyak berjalan. Banyak berjalan berarti banyak melihat dan banyak melihat berarti banyak merasa. Saya membuat puisi dari apa yang saya lihat dan rasakan, memang saya lebih banyak meniru penyair lain yang lebih dulu menulis. Soal indah atau tidak hasilnya, itu biar urusan kritikus,” papar Gus Mus.

Baca juga:  Puncak Perayaan Imlek, Ganjar Pranowo Mendadak Jadi Pemain Barongsai

Sementara itu, sastrawan Jawahir Muhammad menyebut puisi Gus Mus sebenarnya biasa saja. Tidak ada bedanya dengan puisi lain dari penyair-penyair lain. “Kalau tidak karena nama beliau, maka puisi itu sama saja. Seperti puisi-puisi lainnya. Tapi karena yang menulis Gus Mus maka jadi istimewa,” ujarnya.

Hal itu dibenarkan oleh Gus Mus. Menurutnya nama besar seseorang itu penting. Sebab tanpa nama besar, apa pun yang dihasilkan akan dipandang sebelah mata. “Itu yang menguntungkan saya. Memang awalnya nama saya. Semua juga seperti itu. Nama itu penting, maka carilah nama dulu. Setelah itu semuanya mudah,” tutur Gus Mus menanggapi.

“Puisi saya juga tidak untuk dakwah. Puisi saya tulis ada yang sebagai saya, ada yang sebagai Indonesia dan penduduk Indonesia, ada yang sebagai beragama Islam, dan sebagaimana yang sebagai manusia,” tegas Gus Mus.

Baca juga:  Gus Mus Mengenang Agoes Dewa

Adapun dalam acara tersebut, Gus Mus juga membacakan belasan puisi karyanya. Mulai dari puisi-puisi yang dibuat pertama kali, sampai puisi-puisi yang hingga saat ini masih terus menjadi perbincangan dan viral digunakan orang-orang untuk mengekspresikan perasaannya.

Sebelum Gus Mus, acara tersebut juga dibuka oleh musikalisasi puisi dari Swaranabya, pembacaan puisi dari Niken Teater Lingkar dan penyair sekaligus pembaca puisi Fatin Khamama. Sementara moderator diskusi adalah Agus Maladi Irianto yang mengatakan bahwa puisi Gus Mus dapat dimaknai ketika seseorang selesai membacanya secara utuh.

“Puisi Gus Mus itu setelah selesai membaca secara utuh baru dapat diketahui maknanya. Keseluruhan kata itu yang menjadi makna,” ucap mantan dekan FIB Undip itu sebelum menutup acara. (har/mar)

iklan