Terik sinar matahari, suatu hal yang didengar saja pasti membuat kita ingin menghindarinya. Setiap hari kita pasti menemui hal ini, terutama karena kita hidup di Indonesia yang merupakan negara tropis. Terik yang dihasilkan oleh pancaran sinar matahari memang tidaklah nyaman bagi tubuh manusia.
Oleh sebab itu, kita selalu melakukan berbagai macam cara untuk menghindari panas tersebut, seperti menggunakan pelindung tubuh (jaket atau kaos lengan panjang), ngiyup di bawah bangunan atau pohon, atau berpergian dengan kendaraan tertutup. Tanpa disadari, hal-hal di atas telah menjadi kebiasaan yang lumrah terjadi, terutama pada masyarakat di perkotaan.
Kebiasaan-kebiasaan tersebut untuk sebagian masyarakat dilakukan dengan alasan kesehatan, seperti menghindari kanker kulit dan kulit gosong. Namun, ternyata jika secara intensif hal tersebut terus dilakukan, malahan akan timbul suatu masalah kesehatan lain, yaitu kekurangan vitamin D.
Sebelum masuk ke masalah, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu vitamin D dan apa kegunaannya. Vitamin D, adalah suatu zat sekosteroid yang pada tubuh memiliki banyak peran baik sebagai hormon maupun vitamin.
Dikutip dari sebuah artikel dan jurnal pada laman MedScape dan Pharmacy Times, vitamin D berperan dalam menjaga kadar kalsium dan fosfor pada darah dan memicu sel imun pada tubuh untuk memproduksi antibodi. Peran dari vitamin D ini membuatnya dapat menjaga kesehatan tulang, otot, dan saraf neuromuscular, serta dapat mencegah penyakit kardiovaskular, hipertensi, kanker usus, dan penyakit-penyakit autoimun.
Perannya dalam menjaga kadar kalsium membuat vitamin D dapat mencegah penyakit-penyakit pada tulang seperti osteoforosis, osteomalasia, dan risketsia.
Lalu, apa hubungan antara menghindari terik matahari dengan kekurangan vitamin D?
Jika kita ingat-ingat sedikit pelajaran IPA saat SD, sering kita dengar mengenai sumber dari vitamin D yang adalah sinar matahari pagi. Ya, pengetahuan umum ini benar walaupun tidak 100%. Dalam sebuah jurnal ilmiah dengan judul “Sunlight and Vitamin D”, yang diterbitkan oleh National Center for Biotechnology Information, dapat kita ketahui penjelasan secara ilmiah tentang hubungan kedua hal tersebut.
Secara singkat, pada kulit manusia terdapat zat 7-dehydrocholesterol yang dapat menyerap radiasi UV B yang dihasilkan oleh matahari. Zat tersebut oleh karena UV-B kemudian diubah menjadi previtamin D3 dan selanjutnya berubah (terisomerisasi) menjadi vitamin D3. Nah, vitamin D3 inilah yang berperan dalam menjaga metabolisme dari kalsium dan fosfat di tubuh.
Setelah mengetahui penjelasan di atas, sekarang kita bisa mulai mengupas masalah kekurangan vitamin D, terutama di perkotaan. Kebiasaan masyarakat di perkotaan yang mayoritas bekerja di dalam ruangan dan menggunakan pakaian tertutup berpengaruh pada kadar vitamin D dalam tubuhnya.
Dalam jurnal penelitian dari Departemen Ilmu Gizi Universitas Diponegoro, terdapat data perbandingan kekurangan vitamin pada orang yang bekerja di dalam ruangan dan di luar ruangan di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Berdasarkan penelitian tersebut disimpulkan bahwa orang yang bekerja di dalam ruangan memiliki frekuensi paparan sinar matahari yang lebih banyak.
Selain itu, kebiasaan memakai pelindung tubuh topi, payung, atau sunblock membuat frekuensi paparan sinar matahari pada tubuh menjadi lebih sedikit. Pemilihan bahan pakaian juga memengaruhi tingkat frekuensi paparan sinar matahari.
Tingkat frekuensi paparan tersebut lebih rendah pada orang yang menggunakan bahan pakaian yang sulit menyerap sinar matahari seperti katun atau kapas daripada mereka yang menggunakan bahan yang lebih mudah menyerap matahari seperti polyester. Kebiasaan-kebiasaan di atas berujung pada tingkat defisiensi vitamin D yang dialami masyarakatnya.
Pada jurnal tersebut juga dipaparkan data-data defisiensi atau kekurangan vitamin D di Indonesia. Pertama, prevalensi kekurangan vitamin D pada wanita berusia 45-55 tahun di Indonesia adalah sebesar 50% (Conference Vitamin D and Health Jakarta, 2011). Lalu, 35,1% dari 74 wanita berusia 60-75 tahun di Jakarta dan Bekasi mengalami defisiensi (Clinical Endicronology, 2007).
Selain itu juga ada sebuah penelitian yang menyatakan bahwa tingkat defisiensi vitamin D di Indonesia sebesar 63% (Population, 2008).
Ternyata pancaran sinar matahari yang terus menerus sepanjang tahun di Indonesia tidak menjamin kecukupan vitamin D pada masyarakatnya. Terdapat faktor-faktor seperti kebiasaan berpakaian serta tingkat asupan vitamin D dari makanan yang memengaruhi tingkat defisiensi ini.
Lalu, apa yang dapat kita lakukan untuk mencegah defisiensi vitamin D?
Ada banyak hal yang dapat kita lakukan sebenarnya. Yang paling sederhana dan sangat mudah untuk dilakukan adalah beraktivitas di luar ruangan saat siang hari. Jam terbaik untuk mendapatkan UV-B yang optimal justru adalah pada pukul 11.00-14.00 dan bukan saat pagi hari seperti yang sering diajarkan.
Hal tersebut merujuk pada penelitian dari Departemen Fisika, PSG Institute of Technology India. Pada penelitian tersebut didapatkan data tingkat UV-B tertinggi yang terjadi pada pukul 12.00-13.00, yaitu sekitar 19,5-40,2 microw / cm2. Reaksi pembentukan vitamin D pada tubuh terjadi paling optimal pada jam-jam tersebut.
Dengan durasi 20-30 menit saja dan paparan sinar matahari terkena pada bagian wajah, tangan atau kaki pada jam optimal tadi, kebutuhan vitamin D sudah dapat tercukupi. Hal sederhana lain yang dapat dilakukan adalah mengurangi penggunaan pakaian yang dapat menghalangi UV-B.
Asupan nutrisi dari makanan sebenarnya juga dapat menjaga kadar vitamin D. Makanan-makanan yang memiliki kadar vitamin D cukup tinggi adalah ikan-ikan laut, minyak ikan, jamur, dan telur. Pada beberapa susu, susu kedelai, atau sereal biasanya juga ditambahan vitamin D. Mengkonsumsi suplemen vitamin D juga dapat disarankan.
Pada akhirnya, kita tidak perlu selalu mengeluh terhadap terik matahari yang setiap harinya kita temui. Karena ternyata dibalik siksaan panas tersebut, terdapat manfaat besar jika kita mau untuk mencicipinya sebentar saja dalam sehari. Perhatikan kebiasaan-kebiasaan berpakaian, asupan nutrisi, serta frekuensi paparan diri kita terhadap sinar matahari agar kadar vitamin D dalam tubuh kita terjaga.
Semoga ke depannya, tingkat defisiensi vitamin D dapat berkurang. Semoga juga masyarakat dapat menyadari pentingnya permasalahan ini dan dapat mencegahnya dengan melakukan hal-hal sederhana seperti yang tertulis di atas.
Ditulis oleh: Eduardus Ariasena, Mahasiswa Teknik Biomedis – STEI – Institut Teknologi Bandung (Peserta Kelas 01 Biokimia KI-2162)