JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG – Kebijakan pemberdayaan perempuan, telah menjadi perhatian Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Hal itu ditegaskan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat membuka Kongres Perempuan Jawa Tengah di Hotel UTC Semarang, Senin (25/11).
Salah satu hal yang menjadi perhatiannya adalah penyelesaian persoalan diskriminasi terhadap perempuan. Menurutnya, hal itu harus ditempuh dengan langkah yang sesuai dengan perubahan zaman.
“Kita tidak bisa menggunakan cara lama, karena perubahan dunia begitu cepat. Bicara kekerasan atau diskriminasi perempuan, tidak cukup hanya yang begini-begini saja,” kata Ganjar.
Ganjar menilai, Kongres Perempuan memang hal yang penting untuk dilakukan. Selain memecahkan masalah yang sudah terjadi, kongres ini diharapkan dapat memprediksikan persoalan-persoalan perempuan di masa yang akan datang.
Tentang meningkatkan daya saing perempuan, menurutnya, perempuan tidak mungkin berdaya apabila tingkat pendidikannya rendah dan tidak memiliki keterampilan. Maka dalam kongres ini, diharapkan ada rekomendasi-rekomendasi untuk meningkatkan mutu pendidikan dan pelatihan bagi perempuan.
“Kami tunggu rekomendasi-rekomendasi dari kongres ini, agar menjadi pertimbangan dalam penentu kebijakan. Kami juga berharap, dalam kongres ini dirumuskan agar perempuan berdaya secara ekonomi, sosial, politik, kesehatan dan lain sebagainya,” tegas gubernur.
Dikatakan, sudah banyak aksi nyata yang dilakukan Pemprov Jateng terhadap diskriminasi kaum perempuan. Di antaranya kerja sama dengan Polda dan Kejati terkait penanganan kasus KDRT dan membuka shelter-shelter untuk konsultasi.
“Kami juga mendorong berbagai instansi seperti pendidikan, sosial dan juga dinas perempuan untuk keroyokan bersama. Karena soal perempuan tidak bisa hanya diurusi dinas perempuan, semua harus bergerak bersama dan banyak sektor yang harus terlibat,” terang mantan anggota DPR RI ini.
Tak hanya itu, pihaknya juga mendorong perempuan untuk terlibat aktif dalam penentuan kebijakan publik. Di Jateng, setiap Musrenbang, perempuan menjadi yang pertama selain anak dan difabel, untuk menyuarakan pendapatnya.
“Dengan begitu, maka kami berharap kebijakan yang diambil tidak selalu maskulin, tapi berprespektif gender,” pungkasnya. (rit)