JATENGPOS.CO.ID, BALIGE -Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) tengah fokus mendorong terwujudnya desa wisata di Danau Toba. Kepala Pusat Perencanaan dan Pengembangan Kepariwisataan ITB, Ina Herlina Koswara menjelaskan, ada 19 potensi desa wisata yang tengah berupaya dikembangkan untuk menjadi daya dukung destinasi wisata super prioritas Toba. Sebagai bentuk keseriusan, Kemenparekraf/Baparekraf menggelar Focus Group Discussion (FGD) di Labersa Toba Hotel and Convention untuk menyusun roadmap desa wisata di Danau Toba.
Sembilan belas desa wisata itu tersebar di enam kabupaten yakni Kabupaten Taput, Kabupaten Humbahas, Kabupaten Samosir, Kabupaten Dairi, Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Toba. Ia menjelaskan ruang lingkup sebuah desa untuk dapat dikategorikan menjadi desa wisata. Di antaranya adanya daya tarik (alam, budaya, buatan), fasilitas pariwisata, fasilitas umum, prasarana umum, aksesibilitas, kelembagaan, Sumber Daya Manusia (SDM) dan pemasaran.
Secara umum keunggulan desa wisata Toba dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok yakni geowisata yang terdiri dari lanskep kaldera Toba, panoramic view dan batuan vulkanik. Sedangkan untuk agrowisata potensi yang dapat dikembangkan adalah kopi, andaliman, mangga udang, bawang merah dan bawang prei. “Untuk budaya potensinya adalah budaya Batak. Hal-hal yang bisa dikembangkan dari wisata budaya adalah sejarah, legenda, mitos, cerita rakyat, situs, tradisi, seni musik, bahasa, tarian, permainan tradisional, kerajinan, bentuk bangunan dan kuliner khas lokal,” kata Ina dalam paparannya, Senin (19/10/2020).
Ia melanjutkan, sebagai langkah awal tahap pengembangan destinasi wisata di Danau Toba, maka ada beberapa aspek yang mesti diperhatikan di antaranya kesiapan SDM atau masyarakat desa dalam mendukung dan mengelola desa wisata. Selain itu juga menurut Ina hal yang mesti diperhatikan adalah perkembangan daya tarik wisata yang ada di desa sasaran pengembangan desa wisata. “Hal ini berkaitan dengan kesiapan sebagai produk wisata yang siap dipasarkan. Tentu juga harus diperhatikan jumlah kunjungan wisatawan, kesiapan lembaga pengelola desa wisata dan kegiatan promosi yang dilakukan,” ujarnya.
Dari hasil identifikasi dan penggalian potensi terhadap sembilan belas pengembangan desa wisata itu, tujuh desa di antaranya dapat dikategorikan sebagai desa wisata rintisan. Sementara sisanya merupakan desa wisata yang telah berkembang. Ketujuh desa wisata rintisan itu yakni Desa Wisata Dolok Martumbur, Desa Wisata Sibandang, Desa Wisata Hariara Pohan, Desa Wisata Sosor Dolok, Desa Wisata Sigapiton, Desa Wisata Pardamean Sibisa dan Desa Wisata Tarabunga.
Menurut Ina, ketujuh desa itu disebut desa wisata rintisan oleh karena masih berupa potensi yang dapat dikembangkan menjadi destinasi. “Lalu juga pengembangan sarana dan prasarana masih terbatas, belum ada atau masih sedikit wisatawan yang berkunjung, kesadaran masyarakat belum tumbuh dan oleh karenanya butuh pendampingan karena sesungguhnya desa tersebut memiliki potensi yang dapat dikembangkan sebagai desa wisata,” papar Ina.
Pada FGD itu juga dibahas permasalahan yang dihadapi dan kebutuhan untuk pengembangan yang berbeda-beda untuk tiap-tiap destinasi wisata. Menurut Ina, pengembangan desa wisata tak hanya sekadar memaksimalkan potensi yang dimilikinya, akan tetapi juga mengangkat harkat, derajat dan martabat masyarakat desa yang dikembangkan menjadi desa wisata. “Desa wisata dibentuk untuk memberdayakan masyarakat agar dapat berperan sebagai pelaku langsung dalam meningkatkan kesiapan dan kepedulian dalam menyikapi potensi dan daya tarik pariwisata di wilayah mereka sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari sisi ekonomi,” papar Ina.
Untuk itu, ia mendorong masyarakat untuk terus meningkatkan kualitas dan kompetensi diri, salah satunya dengan melakukan pengembangan produk pariwisata di desa wisata berupa exploring, packaging dan presentation, sehingga dalam pengembangan desa wisata masyarakat diharapkan memiliki keunikan, ciri khas berbasis kearifan lokal.
Dengan begitu, ia yakin desa wisata akan berdampak signifikan kepada kemajuan dan kemandirian desa yang berkembang. “Pengembangan desa wisata ini dilakukan melalui pendekatan dalam pengembangan pariwisata yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal. Kami berharap desa wisata dapat menjadi penyangga yang dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat,” demikian Ina.
Sub Koordinator Area I A Kemenparekraf/Baparekraf, Andhy Marpaung menambahan, FGD penyusunan roadmap ini merupakan tindak lanjut dari survei lapangan yang dilakukan pada 14-20 September 2020 di 19 desa wisata mulai dari Kabupaten Toba, Mandailing, Simalungun dan yang lainnya. “Sudah kami kelilingi selama seminggu lebih. Setelah kita keliling, banyak temuan dan masukan dari masyarakat berkaitan dengan hal-hal yang ada di desa wisata. Dan hari ini akan dipaparkan hasil rekomendasinya,” jelas Andhy.
Menurutnya, kesempatan ini hendaknya dapat digunakan sebagai ajang koreksi dari kedua belah pihak untuk semakin memaksimalkan rencana pengembangan desa wisata di Danau Toba. “Jadi dalam waktu lima tahun tahap demi tahap untuk dikoreksi, karena itu menjadi acuan Kemenparekraf,” ungkap dia. Ia menekankan sinergitas semua pihak mulai dari kepala desa hingga gubernur agar seiring sejalan merealisasikan desa wisata ini. Menurutnya, sejak dua tahun lalu Kemenparekraf/Baarekraf menginisiasi terbentuknya desa wisata. Bersyukur, beberapa desa wisata yang diinisiasi sudah mulai berkembang. Hanya saja, mereka masih minim publikasi.
“Di daerah lain seperti di Pulau Jawa desa wisata yang sudah terbentuk masif publikasi dan terus kami bina, sehingga menjadi income untuk masyarakat setempat. Kami melihat di kawasan Danau Toba ini banyak kegiatan pelatihan-pelatihan, tapi belum terlihat hasilnya. Jadi harus banyak kita dorong dan 19 desa wisata ini akan kami kawal terus,” tegas Andhy.
Menurut Andhy, ada empat tahapan bagi desa wisata hingga sampai ke level mandiri yakni rintisan, berkembang, maju dan mandiri. Ia menilai masih banyak pekerjaan yang mesti dilakukan di kawasan Danau Toba ini. “Terkait dengan kebutuhan kita pun akan support antara fisik dan non-fisik. Ke depan, desa wisata ini bisa dirasakan oleh masyarakat Indonesia dan mancanegara. Indonesia sudah memiliki 254 desa wisata yang dikawal oleh empat kementerian. Ada 19 desa wisata yang diajukan hingga target tahun 2024,” tuturnya.
Kemenparekraf/Baparekraf, Andhy melanjutkan, sudah menjalin kerja sama dengan Institut Teknologi IT Del Laguboti untuk memfasilitasi pembuatan website desa wisata agar dapat semakin berkembang dan produktif. “Sehingga menjual produk-produknya, dipasarkan melalui website itu. Kemenparekraf juga bekerjasama dengan Politeknik Medan untuk pendampingan-pendampingan di desa wisata Toba ini. Kita berharap Desember saat libur panjang wisatawan sudah dapat merasakan desa wisata yang kita kembangkan di Toba ini,” harap dia.(*)