JATENGPOS.CO.ID,JAKARTA – Aneka infrastruktur air yang dibangun Kementerian Pertanian (Kementan) di berbagai daerah kini sudah dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat tani. Dengan meningkatnya irigasi tersier, embung, dam parit, dan long storage, memotivasi petani untuk terus memproduksi pangan.
Selama empat tahun terakhir (2015-2018), Kementan sudah merehabilitasi Jaringan Irigasi Tersier (JIT) seluas 3,12 juta hektare (ha) dan telah meningkatkan indeks pertanaman (IP). Realiasi terbesar terjadi tahun 2015, yang mencapai 2,45 juta ha.
“Kegiatan ini mampu meningkatkan indeks pertanaman (IP) hingga 0,5 dari kondisi awal,” ungkap Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP), Sarwo Edhy, Jumat (15/3).
Menurut Sarwo Edhy kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi seluas 3,12 juta ha itu mampu mempertahankan produksi padi sebanyak 16,36 juta ton. Dengan peningkatan IP 0,5 telah terjadi peningkatan produksi sebesar 8,18 juta ton, sehingga total produksi padi selama empat tahun pada lahan rehabilitasi jaringan mencapai 24,37 juta ton gabah kering panen (GKP).
Selain merehabilitasi irigasi tersier, Ditjan PSP juga melaksanakan program pengembangan bangunan konservasi air, yakni embung, dam parit, dan long storagesejumlah 2.785 unit.
“Kita harapkan JIT yang sudah diperbaiki dan pembangunan embung tersebut dirawat petani secara swadaya agar infrastruktur perairan itu tetap berfungsi dengan baik,” ujar Sarwo Edhy
Salah satu contoh yang menikmati manfaat infrastruktur air adalah Petani Desa Cangkring, Kecamatan Prajekan, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Mereka begitu senang saat menceritakan manfaat dua embung yang di desanya. Mengingat, setahun lamanya mereka kesulitan air untuk bertanam.
“Dulu, selama 1 tahun (2017) petani tidak bisa bertanam karena memang tidak ada airnya, karena DAM Plucong jebol,” kata Mantri Tani Kecamatan Prajekan, Bagus.
Padahal, selama ini DAM Pluncong diandalkan untuk mengairi Desa Cangkring seluas 200 hektar (ha) dan Desa Walidono seluas 200 ha. Karena itu, dengan adanya embung di Desa Cangkring, ungkap Bagus, sangat berguna untuk memfasilitasi pengairan yang sempat terputus karena DAM Pluncong jebol.
Untuk membangun embung, petani yang tergabung dalam kelompok tani atau Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA) mendapat bantuan swakelola dana sebesar Rp 120 juta/unit.
Lebih lanjut Bagus menuturkan, embung pertama di Desa Cangkring memiliki solar cell dan sistem pompa untuk pengisian air embung dengan kapasitas tampung 500 meter kubik.
“Memang sebelumnya sudah ada (solar cell), untuk memompa air bersih. Tapi sayang sekali sering terbuang dan hanya bisa mengalir kalau siang hari,” katanya.
Embung yang dikelola HIPPA Unggul ini memberikan dampak pada pertanaman menjadi lebih luas. Jika sebelumnya hanya 25 ha, tapi kini menjadi 45 hektar. Pertambahan luas tanam itu, karena lahan yang semula suboptimal (terbengkalai) dengan adanya air dari embung bisa ditanami jagung. Bahkan bisa panen dua kali setahun.
Sementara itu, Kelompok Tani Cangkring Jaya 5 yang berada di lintasan sungai juga merasakan dampak yang sama. Bahkan bisa memanfaatkan lahannya untuk tanam hingga tiga kali dalam setahun, padi-padi-jagung atau padi-padi-padi.
“Pokoknya petani semakin antusias dengan adanya embung ini. Karena dulu hanya 15 ha lahan yang tertanami. Namun kini sudah 35 ha yang tertanam dan terlayani aliran air,” tutur Bagus.
Desa lainnya di Kecamatan Prajekan pun merasakan hal yang sama. Dengan adanya embung pertanian di daerahnya. Seperti Desa Sempol yang berada di kaki gunung. Selama ini desa tersebut hanya mengandalkan tadah hujan untuk bertanam, tapi kini sudah menghijau dengan hamparan padi sawah.
“Luasannya sudah 200 ha sawah yang terairi embung dengan kapasitas 500 meter kubik. Sekarang sudah ditanami padi yang sekarang usianya 45 HST. Perkiraan produktivitas sekitar 6-7 ton/ha,” katanya.
Untuk di dataran rendah, Desa Sempol mendapatkan bantuan rehabilitasi jaringan irigasi tersier yang dikelola oleh HIPPA Sido Mulyo dengan panjang saluran 130 meter. Pergiliran air yang masuk ke jaringan irigasi tersier dilakukan dengan aturan 8 hari mengalir, 2 hari mati.
“Alhamdulillah dengan bantuan pompa, meskipun air mati, petani masih bisa memasukkan air ke irigasi dan bisa mengairi sawah dengan luasan 90-105 ha. Daerah Irigasi (DI) yang mengalir kesini adalah DI Sampean Baru,” tuturnya.
Manfaat embung juga ternyata dirasakan langsung petani di lahan rawa. Selain diperlukan untuk pengairan di musim paceklik air, juga diperlukan untuk mencuci asam lahan rawa.
Seperti yang diungkapkan Ketua Kelompok Tani Berkat Sepakat, di Desa Sei Asem, Kecamatan Kapuas Hilir, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah, Asnul. Dirinya mengatakan embung yang berada di persawahannya dapat meningkatkan indeks pertanaman darisatu kali menjadi dua kali tanam dalam setahun.
Embung seperti ini sangat berguna bagi daerah rawa lebak. Sebab selama ini genangan dan kekeringan belum dapat diprediksi dengan tepat. Padahal budidaya padi memerlukan air yang cukup, yaitu mulai dari tanam hinggamasa pengisian.
Kendala dalam budidaya padi di lahan rawa adalah genangan air di lahan rawa tidak akan bertahan lama yang kemudian disusul kekeringan.Parahnya lagi apabila selama tanam padi tidak terjadi hujan berakibat pada masa pengisian polong dapat tergganggu, sehingga produktivitas tidak akan mencapai optimum.
Biasanya petani rawa (lebak) hanya bisa bertanam satu kali saja setahun dan melakukan pembibitan tanaman padi lebih awal, saat air masih menggenangi lahan. Kemudian dilakukan di perairan yang airnya mengalir dengan teknik mengapung (floating), ketika air mencapai ± 20 cm bibit padi siap untuk ditanam.
Embung diperlukan untuk pengairan sawah padi lahan rawa pada musim kemarau. Setidaknya ada 40 ha sawah yang sebagian lahan ditanami varietas lokal Siam Unus Lantik dan sebagian ditanami dengan varietas IPB 7R yang menggunakan air dari embung.(rif)