Salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan pembelajaran adalah metode yang digunakan para guru dalam proses belajar mengajar. Ketepatan dalam menggunakan metode pembelajaran yang dilakukan oleh guru tidak hanya membangkitkan motivasi, minat dan prestasi belajar siswa tetapi juga bisa meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang diberikan guru.
Untuk mencapai interaksi belajar-mengajar perlu memadukan dua kegiatan, yakni kegiatan mengajar dengan kegiatan belajar yang berdaya guna dalam mencapai tujuan pengajaran (Nana Sudjana,2009 : 31). Dalam mengajarkan suatu pokok bahasan tertentu harus dipilih metode pembelajaran yang paling sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Oleh karena itu, dalam memilih suatu metode pembelajaran harus memiliki pertimbangan-pertimbangan. Misalnya, materi pelajaran, tingkat perkembangan kognitif siswa, dan sarana atau fasilitas yang tersedia,sehingga tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat tercapai.
Kenyataan yang dihadapi bahwa hasil belajar siswa yang berupa hasil ulangan harian materi luas bangun ruang sisi lengkung dan hasil belajar materi sebelumnya, sangat rendah dan hasil ulangan (kuantitatif) siswa masih dibawah KKM, dengan rata-rata kelas 45,54 atau hanya 23% siswa yang tuntas.
Untuk meningkatkan hasil belajar matematika, peneliti mencoba menggunakan metode Jigsaw. Metode ini dikembangkan oleh Elliot Aronson dan kawan-Â kawannya dari Universitas Texas dan kemudian di adaptasi oleh Slavin dan kawan-kawannya. Pengertian jigsaw learning adalah sebuah teknik yang dipakai matematika secara luas yang memiliki kesamaan dengan teknis “pertukaran dari kelompok ke kolompok lain.” (group to group exchange) dengan suatu perbedaan penting: setiap peserta didik mengajarkan sesuatu.
Sedangkan menurut Arends (1997) model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif, dengan siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang secara heterogen dan bekerjasama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada kelompok yang lain.
Penelitian dilakukan berdasarkan pra siklus dan siklus. Dalam pelaksanaan pra siklus, peneliti menggali informasi pembelajaran Matematika khususnya pada materi luas bangun ruang sisi lengkung pada tahun-tahun sebelumnya. Pembelajaran yang dilakukan oleh guru pada pelaksanaan pra siklus masih menggunakan metode ceramah dan belum menerapkan metode Jigsaw. Hal ini dilakukan sebagai dasar untuk membandingkan keberhasilan pembelajaran Matematika dengan menggunakan metode Jigsaw pada siklus I dan siklus II.
Pada kondisi awal sebelum diterapkan pembelajaran dengan menggunakan metode Jigsaw rata-rata hasil belajar peserta didik yaitu 46,5 dengan ketuntasan belajar 16,67%. Setelah diterapkan pembelajaran dengan menggunakan metode Jigsaw hasil belajar peserta didik meningkat. Pada siklus I, rata-rata hasil belajar peserta didik 53,75 dan prosentase ketuntasan belajar 37,5%. Pada siklus II, rata-rata hasil belajar peserta didik meningkat menjadi 69,7 dengan prosentase ketuntasan belajar 75%. Dari data tersebut, jelas bahwa ada peningkatan hasil belajar peserta didik. Selain itu Keaktifan siswa juga meningkat dari pra siklus, siklus I dan siklus II.
Implikasi dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut pertama dengan model pembelajaran yang berpusat pada siswa, seperti metode Jigsaw akan dapat meningkatkan keaktifan belajar siswa seperti (1) aktif bertanya, (2) eksplorasi materi ajar, (3) aktif mengerjakan tugas, (4) kerjasama dengan teman, dan (5) memecahkan masalah. Guru yang kreatif dalam pembelajaran akan dapat menggugah, memotivasi belajar siswa, dan pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar dan prestasi siswa.
Suwarno, S.Pd.
Guru SMP Negeri 1 Trangkil Kab. Pati
