JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG – Hukum kerap kali dianggap sebagai sesuatu yang kaku, hanya berlaku di ruang sidang, dan tidak menyentuh kehidupan sehari-hari masyarakat. Pandangan ini keliru. Justru dalam kehidupan sosial yang paling sederhana sekalipun, hukum hadir dan bekerja secara diam-diam—terutama dalam bentuk perjanjian.
Sayangnya, kesadaran masyarakat akan hal ini masih rendah. Banyak orang yang mengikat janji atau membuat kesepakatan tanpa memahami bahwa mereka sedang memasuki suatu hubungan hukum yang memiliki akibat hukum. Akibatnya, ketika muncul perselisihan, mereka bingung dan tidak memiliki dasar hukum yang jelas untuk menyelesaikannya.
Dalam dunia hukum perdata, perjanjian adalah salah satu bentuk paling dasar dari hubungan hukum antar individu. Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Artinya, ketika dua orang sepakat untuk melakukan sesuatu—baik secara tertulis maupun lisan—mereka sebenarnya sudah terikat dalam suatu perjanjian yang sah, selama memenuhi empat syarat utama: adanya kesepakatan, kecakapan, objek tertentu, dan sebab yang halal.
Yang sering terabaikan adalah bahwa perjanjian itu bukan hanya soal kontrak jual beli tanah, sewa rumah, atau kerja sama usaha skala besar. Ketika seseorang meminjamkan uang kepada temannya, memesan makanan secara daring, bahkan menitip motor kepada tukang parkir—semua itu sejatinya adalah bentuk perjanjian yang memiliki akibat hukum.
Banyak persoalan hukum di masyarakat berawal dari ketidaktahuan terhadap dasar hukum perjanjian. Misalnya, pinjam-meminjam uang tanpa bukti tertulis. Ketika terjadi wanprestasi (ingkar janji), pihak yang dirugikan tidak memiliki bukti yang cukup untuk menuntut secara hukum.
Kasus lain yang sering muncul adalah transaksi online. Konsumen sering tidak membaca syarat dan ketentuan dalam aplikasi atau platform. Saat terjadi kesalahan pengiriman atau barang rusak, konsumen tidak tahu ke mana harus menuntut haknya, karena sejak awal tidak memahami bahwa telah terjadi hubungan hukum melalui kesepakatan digital.
Inilah mengapa pendidikan hukum sejak dini—terutama dalam aspek hukum perdata—menjadi penting. Mahasiswa hukum, termasuk saya sendiri yang masih duduk di semester dua, punya tanggung jawab untuk menumbuhkan kesadaran bahwa hukum bukan sekadar teori di bangku kuliah. Ia harus menjadi lensa dalam memandang relasi sosial di dunia nyata.
Di era digital, bentuk perjanjian semakin beragam. Tidak lagi selalu berbentuk kertas bermeterai, kini cukup dengan mengklik “Saya setuju”, seseorang sudah mengikatkan dirinya secara hukum. Hal ini memperkuat urgensi untuk meningkatkan literasi hukum di kalangan masyarakat, agar tidak menjadi korban kesepakatan sepihak dari perusahaan teknologi besar atau pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab.
Penting pula bagi negara, melalui lembaga pendidikan dan media, untuk aktif mendorong pemahaman hukum praktis seperti ini. Jangan biarkan masyarakat hanya mengenal hukum ketika berhadapan dengan pengadilan. Justru, hukum seharusnya menjadi alat preventif yang melindungi hak sejak awal, bukan sekadar penyelesaian konflik di akhir.
Sebagai mahasiswa hukum semester dua, saya percaya bahwa perubahan bisa dimulai dari kampus. Kami bukan hanya belajar pasal demi pasal, tetapi juga memahami bagaimana pasal itu bekerja dalam kehidupan nyata. Kami dituntut untuk tidak hanya menjadi sarjana hukum di atas kertas, tapi juga menjadi agen kesadaran hukum di tengah masyarakat.
Kesadaran hukum bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba. Ia tumbuh dari pengalaman, pendidikan, dan pembiasaan. Dan kesadaran akan pentingnya perjanjian dalam kehidupan sehari-hari adalah fondasi awal bagi terciptanya masyarakat yang lebih tertib, adil, dan sejahtera secara hukum.
Jangan tunggu sampai sengketa terjadi. Mulailah dari memahami bahwa setiap janji memiliki konsekuensi hukum. Karena dalam dunia hukum perdata, janji bukan sekadar ucapan—tetapi kewajiban yang bisa dimintakan pertanggungjawaban.
Oleh: Lutfian Ahmad Syahputra
Mahasiswa Hukum Semester 2
Fakultas Fisipol
Universitas Tidar