JATENGPOS.CO.ID-Era AI (Artificial intelligence) memaksa kita merevolusi pendidikan dari model “mengajar” menjadi “membangun penjelajah belajar”. Kisah guru yang terkesan dengan esai siswa namun gagal mendiskusikan isinya menggambarkan krisis pembelajaran di mana alat AI seperti ChatGPT, Gemini AI, Deepseek dan lainya dapat menghasilkan karya tanpa pemahaman mendalam. Tantangannya terletak pada membimbing siswa tidak hanya untuk menghasilkan hasil yang sempurna, tetapi untuk benar-benar memahami dan terlibat secara kritis dengan pengetahuan yang mereka ciptakan.
Disrupsi AI terhadap Evolusi Teori Belajar
Pembelajaran manusia berevolusi dari pedagogi (guru sebagai sumber pengetahuan), ke andragogi (guru sebagai fasilitator untuk orang dewasa), hingga heutagogi (pembelajaran mandiri). Namun, AI mengganggu setiap tahap ini. Pada tingkat dasar, AI menyaingi guru sebagai sumber informasi utama. Di pembelajaran dewasa, simulasi AI bisa menggantikan pengalaman otentik yang kaya nuansa emosional. Bahkan di antara pembelajar mandiri, daya tarik respons instan yang dihasilkan AI secara tidak sengaja dapat menekan rasa ingin tahu dan menghambat eksplorasi yang mendalam dan berkelanjutan, mengancam untuk merusak esensi pembelajaran otonom itu sendiri.
Transformasi Peran Guru dan Kurikulum di Era AI
Solusi yang dibutuhkan bukanlah menolak kehadiran AI, melainkan memanfaatkan momentum disrupsinya untuk melakukan lompatan paradigma menuju heutagogi, di mana pembelajaran sepenuhnya dipimpin dan diinisiasi oleh peserta didik sendiri. Dalam lanskap baru ini, peran guru/pendidik harus diubah secara fundamental: dari seorang penyampai/transfer ilmu menjadi seorang arsitek ekosistem belajar. Tugas utama mereka adalah merancang lingkungan pembelajaran yang dinamis, sebuah “taman bermain intelektual” yang aman namun menantang, yang memicu eksplorasi mandiri, kolaborasi bermakna, dan pertanyaan-pertanyaan mendalam yang memacu pemikiran.
Selaras dengan perubahan peran tersebut, kurikulum juga membutuhkan transformasi mendasar dengan berpusat pada pengembangan keterampilan unik manusia yang tidak dapat direplikasi oleh mesin. Fokusnya bergeser dari penguasaan konten menuju penanaman kompetensi seperti: pemikiran kritis yang otentik dan reflektif, kreativitas inventif dalam mensintesis ide-ide yang tampaknya tak terkait, kecerdasan emosional dan empati, kemampuan kolaborasi dalam kerja tim, serta kebijaksanaan dalam mengambil keputusan bernuansa.
Untuk mendukung paradigma ini, sistem evaluasi pun harus berevolusi. Metode penilaian perlu melampaui pengukuran hafalan menuju asesmen autentik yang menangkap proses dan kedalaman pemahaman. Ini dapat diwujudkan melalui portofolio yang mendokumentasikan perkembangan belajar, proyek kolaboratif yang mensimulasikan penyelesaian masalah kompleks, serta presentasi atau demonstrasi yang mengungkap jalur penalaran dan kemampuan meta-kognitif siswa. Dengan demikian, penilaian berubah fungsi dari sekadar pengukuran akhir menjadi bagian integral dari proses pembelajaran itu sendiri yang mendorong pertumbuhan holistik.
Integrasi AI dalam Pembelajaran yang Humanis
Contohnya, dalam kelas studi sosial, guru sebagai arsitek bisa menantang siswa menggunakan AI untuk mengidentifikasi masalah sosial di masyarakat, lalu merancang kampanye penanganannya. Di sini, AI menjadi alat riset awal, sementara analisis konteks lokal, empati, desain kreatif, dan kerja tim tetap menjadi ranah manusiawi.
Singkatnya, revolusi AI menghadirkan peluang emas untuk membentuk kembali lanskap pendidikan. Tujuannya adalah untuk membina peserta didik yang tangguh, mandiri, dan sangat ingin tahu serta siap untuk mengeksplorasi dan berinovasi. Para pendidik perlu berkembang menjadi perancang kreatif, menciptakan pengalaman belajar yang menarik dan bermakna. Kurikulum harus diresapi dengan nilai-nilai humanistik, menekankan empati, berpikir kritis, dan pemahaman moral. Sementara itu, AI harus berfungsi sebagai panduan yang lebih baik, bertindak sebagai navigator yang berpengetahuan luas yang mendukung dan meningkatkan petualangan belajar manusia, alih-alih mendikte atau mendominasinya.
Oleh Bambang Abdul Syukur, M.Pd.
Mahasiswa Program Studi S3 Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Indonesia








