JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG – Pemerintah menargetkan program BBM satu harga dapat diterapkan di 150 titik di daerah terluar, terdepan dan terpencil (3T) dalam kurun waktu 2017-2019. Pada 2017, Pertamina menargetkan 54 titik dan pada 2018, targetnya adalah 50 titik dan 46 titik pada 2019.
External Communication Manager PT Pertamina, Arya Dwi Paramita mengatakan, saat ini harga BBM di daerah 3T masih lebih mahal, karena belum ada penyalur resmi. Adapun kebutuhan BBM nya juga masih kecil, sehingga belum layak secara keekonomian.
“Program satu Harga dijalankan untuk dapat menyediakan BBM di wilayah 3T dengan harga sesuai ketentuan Pemerintah dalam rangka pemerataan dan asas keadilan,” katanya, disela Media Gathering Pertamina MOR 4 Jateng-DIY, di Pulau Bali, Jumat (10/11).
Menurutnya, kendala mewujudkan BBM satu harga di 3T adalah pada infrastruktur dan jarak. Sedangkan untuk perizinan, Arya mengaku tidak masalah. “Untuk bisa mewujudkan tersalurkannya BBM di wilayah 3T, dibutuhkan beberapa hal mendasar yakni kebijakan pemerintah sebagai dasar hukum,” ungkapnya.
Selain itu, lanjutnya, dibutuhkan juga beberapa infrastruktur penunjang. Pertama, lembaga penyalur di daerah yang belum tersedia segera dibangun. Kedua, kapasitas penampungan lembaga penyalur di daerah terpencil diperbesar. Ketiga, pembangunan infrastruktur darat dan laut/dermaga dipercepat.
“Sampai dengan awal November 2017 telah dioperasikan 27 titik lembaga penyalur di daerah 3T, sedangkan 27 titik sisanya akan diselesaikan pada 2017 ini,” terangnya.
Dijelaskan, kondisi saat ini terdapat 6 lembaga penyalur yang sudah selesai pembangunan fisiknya, 11 lembaga penyalur yang sudah hampir selesai proses pembangunan fisiknya, dan 10 sisanya yang sudah mengurus perizinan dan segera dibangun. “Peresmian 27 lembaga penyalur tersebut akan dilakukan pada periode November dan Desember 2017,” jelasnya.
Arya menambahkan, dibutuhkan dukungan peran pemerintah daerah termasuk BPH Migas untuk mengawasi penerapan satu harga agar bisa terlaksana dengan baik. Dalam hal ini, Pertamina hanya bisa mengawasi penerapan di lembaga penyalur.
“Di luar lembaga penyalur itu menjadi ranahnya pemerintah daerah dan BPH Migas yang lebih punya kuasa dan kewenangan,” imbuhnya.
Arya menegaskan, Pertamina sebagai perseroan melaksanakan tugasnya berdasarkan peraturan dan perundangan yang berlaku, terkait kebijakan BBM satu harga. Salah satu dasar hukum yang dijadikan acuan adalah PP 31 tahun 2003 tentang Pengalihan Bentuk Pertamina menjadi Persero.
Dalam PP 31 dinyatakan bahwa Pertamina bertugas untuk menjalankan peran sebagai perusahaan yang mengusahakan keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan secara efektif dan efisien dan berkontribusi untuk meningkatkan kegiatan ekonomi untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Yang terkait dengan pendistribusian BBM 1 harga, lanjut dia, merupakan peran Pertamina dalam melaksanakan penugasan pemerintah dalam penyediaan BBM. “Jelas ini (penugasan BBM 1 harga) tidak dipandang dari sisi untung dan rugi,” tegasnya.
Pelaksanaan tugas BBM satu Harga diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No. 36 tahun 2016 tentang Percepatan BBM satu Harga lebih dipandang dari perspektif penugasan dan kebangsaan. Pertamina sebagai National Energy Company yang menjalankan tugas untuk mengamankan ketersediaan energi untuk masyarakat Indonesia.
“Di sinilah peran Pertamina menyatukan NKRI dengan memastikan ketersediaan pasokan energi untuk masyarakat hingga ke pelosok Indonesia,” pungkasnya. (aln/mar/mg8)