
JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG– Perkara Kepailitan Sritex dengan nilai utang kewajiban Sritex sebagai Debitor sekitar Rp. 12,9 triliun bermula dari putusan “Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang” (PKPU) pada bulan Mei 2021 sebagaimana No. Register 12/Pdt.SusPKPU/PN.Niaga.Smg di Pengadilan Niaga Semarang pada Pengadilan Negeri Semarang (PN Semarang) dan “Perdamaian” berdasarkan “Putusan Homologasi” pada bulan Januari 2022 di PN Semarang.
Namun, dua tahun kemudian, Sritex gagal memenuhi kewajiban yang disepakati dalam Perjanjian Perdamaian. Sehingga, karena Sritex gagal memenuhi Perjanjian Perdamaian, PN Semarang mengabulkan “Permohonan Pembatalan Perdamaian” yang diajukan oleh PT. Indo Bharat Rayon sebagai Kreditor dan Pemohon PKPU (Kreditor) yang memiliki tagihan terhadap Sritex yang diakui sebesar Rp. 127.969.059.783,- kepada PN Semarang dengan No. Register 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN.Niaga.Smg jo 21/Pdt.SusPKPU/2021/PN.Niaga.Smg.
Perkara Kepailitan Sritex ini tak kunjung selesai setelah Presiden Prabowo Subianto menaruh perhatian pada Kepailitan Sritex dengan meminta jajarannya mencarikan solusi agar Sritex tetap bisa beroperasi dan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Yoseph Khricna Wirayudha selaku Advokad, Kurator, Pengurus, Auditor Hukum, Saksi Ahli, dan Pengajar dalam pernyataan tertulis disampaikan kepada Jateng Pos, menyampaikan bahwa sejatinya perkara Kepailitan Sritex murni masalah hukum, bukan masalah politik, ekonomi, sosial, atau lainnya, meskipun terdapat konsekuensi dampak logisnya yang bersifat politis, ekonomis, sosiologis.
Solusi penyelesaian sah terbaik perkara ini demi keadilan dan kepastian hukum secara obyektif, terbuka, adil, sederhana, murah, efisien, efektif, dan akuntabel adalah secara hukum berdasarkan Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang adalah Negara Hukum (Rechtstaat), bukan Negara Kekuasaan (Machstaat) berdasarkan pada Pancasila, UUD 1945, norma, dan seluruh peraturan perundangan yang berlaku sah, efektif, dan mengikat di Indonesia.
Selain itu, NKRI juga menganut Prinsip Hukum Tata Negara berupa “Trias Politica” yang disampaikan oleh Montesqiue sebagai Ahli Hukum Perancis tentang 3 (tiga) penyelenggara dan pemisahan kekuasaan negara, yaitu (i) Eksekutif (Presiden), (ii) Legislatif (DPR), dan (iii) Yudikatif (Pengadilan) yang bersifat independen, mandiri, steril, dan bebas intervensi apapun.
Berdasarkan hal obyektif tersebut di atas, Yoseph menyampaikan catatan mengenai Perkara Kepailitan Sritex ini dari sisi aspek hukum Republik Indonesia yang berlaku sah, efektif, dan mengikat, khususnya yaitu Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang” (UUKPKPU), bukan dari yang lain.
Lanjutnya, sebagaimana diketahui bersama bahwa per saat ini, urutan kejadian Perkara Kepailitan Sritex dan status hukum adalah tetap pailit dengan segala konsekuensi hukumnya. Berikut ini kronologi proses perkara hukum Sritex berdasarkan catatan Yoseph.
– Pada bulan Mei 2021, Sritex dinyatakan PKPU dengan nilai tagihan kurang lebih sebesar Rp. 12,9 Trilyun.
– Pada bulan Januari 2022, Sritex dan para kreditor menyepakati rencana perdamaian.
– Pada bulan Agustus 2024, salah satu kreditor (PT Indo Bharat Rayon) mengajukan Pembatalan Perdamaian kepada PN Semarang.
– Pada bulan Oktober 2024, Sritex mengajukan Kasasi atas Putusan Pailit Sritex kepada Mahkamah Agung.
– Pada bulan Desember 2024, Mahkamah Agung menolak Kasasi Sritex dan menyatakan Sritex tetap Pailit.
Berdasarkan pada fakta obyektif tersebut di atas, menurut Yoseph, setidaknya terdapat beberapa hal yang dapat dicermati dan disimpulkan, sebagai berikut:
1. Tindakan hukum yang dilakukan oleh Kreditor dan Pemohon PKPU telah benar berdasarkan ketentuan Pasal 222 jis Pasal 230, Pasal 170 (1), dan Pasal 171 UUKPKPU.
2. Putusan PN Semarang berupa Pembatalan Perjanjian telah benar dan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde atau permanent legal binding) berdasarkan ketentuan Pasal 235 (1) jis Pasal 255 (1) dan Pasal 291 UUKPKPU.
3. Tindakan hukum yang dilakukan oleh Sritex berupa mengajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung adalah tidak memiliki dasar hukum dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 235 jis Pasal 290 dan Pasal 293 (1) UUKPKPU.
4. Putusan Mahkamah Agung yang menolak Kasasi yang diajukan oleh Sritex kepada Mahkamah Agung telah benar karena Putusan Pailit Sritex telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde atau permanent legal binding) dan Kasasi tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 295 UUKPKPU, yaitu pada intinya berisi upaya hukum terhadap putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap adalah Peninjauan Kembali, bukan Kasasi.
5. Sementara itu, perhatian Presiden Prabowo Subianto terhadap Perkara Kepailitan Sritex ini sepanjang dalam konteks dan dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi nasional, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan mencegah efek domino negatif adalah sangat bagus dan dapat diterima.
Namun demikian, sangat diharapkan Presiden Prabowo Subianto tetap selalu menghormati dan menghargai independensi lembaga yudikatif pengadilan, dan tidak melakukan tindakan atau ucapan apapun yang dapat diduga bertendensi intervensi apapun.
Berdasarkan catatan singkat di atas, Yoseph berharap agar seluruh pihak sebagai pemangku kepentingan (stakeholders) termasuk namun tidak terbatas pada regulator, kreditor, debitor, dan lembaga penunjang berkenan untuk proaktif dan antisipatif mengambil hikmah positif dari Perkara Kepailitan Sritex ini sebagai “guru dan pelajaran” agar ke depan, hal buruk seperti ini tidak terjadi lagi.
Bahwa, penyediaan pinjaman selalu konsisten, konsekuen, dan professional menerapkan Manajemen Risiko berupa (i) Prinsip TARIF (Transparent, Accountable, Responsible, Independent, dan Fairness) serta (ii) Prinsip 5 C (Character, Capital, Condition, Capacity, dan Collateral). (ril/muz)