JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG– Ratusan buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Jawa Tengah menggelar aksi demo depan kantor Gubernur Jawa Tengah (Jateng) menolak program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), Kamis (6/6/2024).
Kebijakan Tapera dipandang para buruh memberatkan, karena upah buruh di Jateng masih rendah.
Ketua FSPMI Jateng Aulia Hakim mengatakan program Tapera yang digulirkan melalui PP Nomor 21 Tahun 2024, menjadi bukti bahwa pemerintah melepas tanggung jawab dalam menyediakan hunian terjangkau bagi masyarakat dengan justru membebankan 2,5 persen bagi buruh dan 0,5 persen bagi pengusaha untuk bisa mendapatkan rumah sendiri tanpa bantuan iuran dari pemerintah.
Aulia menjelaskan, program Tapera sejatinya malah membuat buruh tidak pasti akan mendapatkan rumah dari iuran yang dipotong lewat gaji bulanan. Sebab, sampai puluhan tahun kepesertaan di Tapera itu belum cukup untuk membeli rumah.
“Kebijakan ini justru membebani biaya hidup buruh, di tengah daya beli buruh yang turun 30 persen dan upah minimun sangat rendah akibat UU Cipta Kerja. Dari program Tapera ini akan semakin memukul daya beli buruh,” kata Aulia.
Oleh karena itu, FSPMI Jateng menyerukan agar program Tapera dicabut dan tidak dilaksanakan. Karena, program yang dirancang untuk kesejahteraan rakyat malah menjadi beban baru bagi buruh.
“Kami menyerukan tolak Tapera, karena jadi beban baru bagi buruh,” tegasnya.
Suasana yang sama juga terjadi di Jakarta. Ribuan massa buruh menggelar demo di area Patung Kuda, Jakarta Pusat, Kamis (6/6/2024), dengan agenda tuntutan sama. Sejumlah mobil komando tampak telah terparkir di kawasan Patung Kuda.
Selain menolak Tapera, para elemen buruh tersebut juga menyuarakan penolakan terhadap Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja hingga Hapus Outsourcing Tolak Upah Murah (HOSTUM).
Orator yang berbicara di atas mobil komando mengatakan Tapera sangat rawan dikorupsi. “Kita juga kuat bahwasanya jika Tapera tetap diberlakukan, potongan iuran dipaksakan, maka bisa jadi hal itu akan rawan korupsi,” kata seorang orator, sebagaimana dipantau dari Breaking News Kompas TV.
“Tidak sebanding dengan keadaan kita hari ini, kado-kado terpahit terus diberikan kepada kita sebagai kaum yang lemah, kaum yang kecil.”
Orator tersebut kemudian menyinggung kebijakan pemerintah yang dinilai memberatkan rakyat seperti alih daya atau outsourcing, UU Ciptaker, dan kenaikan harga bahan pokok.
“Kalau kita bicara tentang rasa keadilan, di mana adilnya rakyat terus diinjak-injak, terus diperas keringatnya!” teriak orator tersebut.
Massa buruh sempat terlihat menyalakan flare warna-warni sambil bergerak mengikuti irama lagu yang diputar.
Presiden Partai Buruh sekaligus KSPI, Said Iqbal, dalam keterangannya kepada wartawan mengatakan, selain menolak Tapera, juga menolak uang kuliah tunggal (UKT) yang mahal, KRIS BPJS Kesehatan, Omnibus Law UU Cipta Kerja, dan menuntut penghapusan outsourcing/tolak upah murah (HOSTUM).
“Ribuan buruh yang melakukan aksi berasal dari Jabodetabek dan berbagai organisasi serikat pekerja seperti KSPI, KSPSI, KPBI, dan juga Serikat Petani Indonesia (SPI) serta organisasi perempuan PERCAYA,” ujar Iqbal.
Sementara itu, Tapera tidak hanya dinilai memberatkan pekerja swasta dan pekerja mandiri, karena mereka harus membayar iuran Tapera sebesar 3 persen yang dipotong dari gaji. Namun, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) justru mencengangkan.
Pada Tahun 2021 terdapat sejumlah permasalahan di BP Tapera, salah satunya mengenai pengembalian dana Tapera. Hal itu dilaporkan dalam dokumen yang berjudul Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan Atas Pengelolaan Dana Tapera dan Biaya Operasional tahun 2020 dan 2021 pada BP Tapera dan instansi terkait lainnya di DKI Jakarta, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali.
Pemeriksaan bertujuan untuk menilai Dana Tapera dan biaya operasional tahun 2020 dan 2021 pada BP Tapera telah dikelola secara optimal sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam laporan tersebut, BPK mencatat terdapat sebanyak 124.960 peserta Tapera yang belum menerima pengembalian sebesarRp567,45 miliar dan peserta pensiun ganda sebanyak 40.266 orang sebesar Rp130,25 miliar.
Hal tersebut mengakibatkan pensiunan PNS/ahli warisnya tidak dapat memanfaatkan pengembalian tabungan yang menjadi haknya sebesar Rp567,45 miliar dan terdapat potensi pengembalian lebih dari satu kali kepada 40.266 orang sebesar Rp130,25 miliar.
Permasalahan lainnya, yakni BPK menilai BP Tapera belum beroperasi secara penuh, yaitu pada kegiatan pengerahan (pendaftaran dan pengumpulan dana), kegiatan pemupukan (kontrak investasi kolektiff), dan kegiatan pemanfaatan dengan prinsipsyariah.
Hal tersebut mengakibatkan BP Tapera berpotensi tidak dapat mencapai target dan tujuan strategisnya, belum dapat melakukan pemungutan simpanan dan menambah peserta baru, serta peserta belum dapatmemanfaatkan fasilitas pembiayaan perumahan secara optimal.
Kemudian, BPK menemukan bahwa data peserta aktif BP Tapera sebanyak 247.246 orang belum mutakhir, yaitu kategori data dengan riwayat kepangkatan anomali sebanyak 176.743 orang dan ketidaklengkapan data Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebanyak 70.513 orang. (prast/lip6/dbs/muz)