JATENGPOS.CO.ID, SRAGEN – Desa Sukorejo, Kecamatan Sambirejo mendapat anugerah tanah yang subur di kaki gunung Lawu. Lantas lokasinya di dataran tinggi menjadi tempat yang sangat potensial untuk bercocok tanam. Ditambah mata air yang masih murni membuat tanah di Sukorejo menghasilkan tanaman yang subur.
Pertanian menjadi potensi yang paling besar di Kawasan Desa Sukorejo. Terlebih mereka sudah mendeklarasikan diri dan komitmen menghasilkan bahan pangan organik. Sehingga produk pertanian mereka terutama beras organik memiliki nilai lebih dibanding beras biasa pada umumnya.
Kepala Desa (Kades) Sukorejo, Sukrisno menyampaikan beras organik sudah dirintis sejak tahun 2000-an hingga saat ini masih eksis. Bahkan beras organik yang dihasilkan di desa Sukorejo sudahb disertifikasi oleh Indonesian Organic Farming Certification (Inoface).
”Di desa kami disiapkan lebih dari 140 hektar lahan untuk pertanian organik dan sebagian besar disiapkan untuk padi organik. Kualitas beras organik sudah tersertifikasi dan tidak diragukan,” ungkap Sukrisno.
Lantas seiring berjalannya waktu, Sukorejo terus melakukan pengembangan inovasi desa. Inovasi ini terintegrasi di setiap program yang dijalankan. Pihaknya menjelaskan program padi organik di Sukorejo lantas terintegrasi dengan sektor pertanian, peternakan, perikanan dan pariwisata.
Sukrisno menjelaskan Konsep besar organik, sehingga masyarakat membuat kandang sapi komunal. Dari kandang itu, kotoran sapi diolah seperti menjadi Biogas. Biogas sebagai sumber daya untuk kebutuhan energi, seperti penerangan, masak maupun tenaga untuk pompa air.
Sedangkan sisa kotoran sapi lainnya bisa menjadi pupuk kandang dan menjadi cairan organik. Sisa dari kandang sapi tersebut digunakan untuk perawatan tanaman padi. Lantas ketika padi panen, sisanya seperti jerami dan katul bekas penggilingan beras dimanfaatkan untuk pakan sapi.
Sedangkan untuk perikanan, dibentuk sistem aquaponik. Kolam ikan yang dibuat kebanyakan diisi untuk budidaya ikan lele. Air yang melimpah dimanfaatkan dengan baik untuk budidaya ikan. Lantas ketika air sudah mulai kotor, dan mengandung kotoran lele, justru baik digunakan untuk pemupukan tanaman. ”Dengan demikian terjadi integrasi, baik dari peternakan maupun perikananan,” terangnya.
Lantas dengan program yang dirintis sejak awal milenium, otomatis Sukorejo menjadi salah satu desa yang dikunjungi untuk studi pertanian. Melihat peluang tersebut pihak desa mulai mencoba mengambil kesempatan sektor wisata.
”Sudah berjalan, kita kenalkan mereka yang ingin refreshing dengan keliling desa di kawasan pertanian dengan menggunakan mobil jeep ,studi banding sekalian wisata, selain dapat ilmu juga naik jeep keliling. Sudah jalan tapi belum masif,” terangnya.
Lantas soal hasil bumi berupa beras banyak dilirik konsumen dari kota-kota besar. Saat ini para penjual masih perorangan. Kedepan melihat potensinya akan di cover oleh Badan Usaha Milik Desa (bumdes). ”Warga yang sudah jadi pedagang kerjasama bumdes,” ujarnya.
Dia menekankan untuk menjaga kualitas, dalam perawatan padi organik sama sekali tidak menggunakan pestisida kimia. Lalu untuk pemupukan, 90 persen menggunakan pupuk kandang.
”Tetap pakai Pupuk pabrikan seperti urea hanya sedikit sekali, hanya saat awal tanam. Bahkan tanah yang bagus tidak perlu pakai sama sekali,” bebernya.
Ditambah air yang masih murni dari dalam gunung lawu menambah kualitas beras. Dia menekankan karena berada di lereng lawu, air untuk pertanian sama sekali tidak terkontaminasi limbah kimia. Baik limbah pabrik maupun rumah tangga.
Meski kualitas tanaman, air dan tanah terus dijaga, produksi beras organik berlangsung sepanjang tahun. Dalam setahun bisa dilakukan panen sampai tiga kali. Lagipula beras yang dijual bisa lebih mahal dari beras biasa.
”Beras kami ”Kondang larange”. Kalau beras biasa per kilo sekitar Rp 9,5 ribu. Sedangkan beras organik jenis IR4 Rp 11-12 ribu, kalau beras mentik Rp 13 ribu. Selisihnya sudah jelas,” guraunya.
Tidak hanya beras organik saja, saat ini Sukorejo tengah melirik jenis tanaman pangan Jagung jali. Untuk 2022 ini disiapkan 1 hektar lahan demplot. Pengolahan dengan sistem organik seperti pada tanaman padi. Bahkan jagung jali ini lebih hemat dalam penggunaan air. Di pasaran, harga olahan jagung jali sekitar Rp 60 ribu per kilogram.
”Pasar kita kerja sama dengan yayasan jagung jali di Semarang.Prospek bagus menurut saya karena mengkonsumsi jali lebih sehat. Tanpa kandungan gula dan kadar serat tinggi. Rasa seperti nasi dan lebih kenyang,” ujarnya.
Namun permasalahan dunia pertanian yakni sampai saat ini masih kurang menyentuh kelompok milenial. Sejauh ini perbandingan petani tua dan muda sangat timpang. Pemuda cenderung tidak mau bertani. Lantaran stigma petani digambarkan pekerjaan kuno, kotor dan lekat dengan kemiskinan.
Padahal saat ini sudah mulai sektor pertanian disentuh teknologi. Sehingga dengan sentuhan teknologi pertanian, perlu ditanamkan bahwa bertani itu menyenangkan dan menguntungkan. (ars)