JAKARTA. JATENGPOS.CO.ID- Majelis Kehormatan DPP Partai Gerindra menjatuhkan sanksi pemberhentian sebagai Ketua DPC Gerindra Kota Semarang bagi Joko Santoso. Penindakan diberlakukan buntut pelanggaran etik yang diduga dilakukan Joko.
Sidang dipimpin Ketua Majelis Kehormatan Gerindra Habiburokhman di kantor DPP Partai Gerindra, Jakarta Selatan. Agenda sidang yakni pemeriksaan Joko Santoso dan meminta keterangan saksi-saksi pada Minggu (10/9/2023).
Setelah persidangan, Habiburokhman menyampaikan majelis kehormatan memutuskan memberhentikan Joko Santoso dari jabatan Ketua DPC Gerindra Semarang.
Joko Santoso dinyatakan terbuki melakukan pelanggaran kode etik berdasarkan Pasal 68 AD/RT Partai Gerindra tentang jati diri kader Gerindra yang harus berperilaku sopan, rendah hati, dan disipilin.
“Dinyatakan bersalah dan diberikan sanksi cukup berat diberhentikan sebagai ketua DPC Gerindra Kota Semarang,” ucap Habiburokhman.
Lantas bagaimana hak Joko Santoso sebagai anggota DPRD Kota Semarang dari Fraksi Gerindra? Habiburokhman menyampaikan, Joko tetap sebagai kader Partai Gerindra dan tetap menjadi anggota Fraksi Gerindra. Hanya saja ke depan akan dilakukan pengangkatan Ketua DPC Semarang yang baru.
Habiburokhman mengungkapkan Joko Santoso mengakui mendatangi rumah Suparjiyanto dan membentak-bentak korban. Pengakuan tersebut sudah cukup bagi majelis kehormatan partai untuk memberhentikan Joko Santoso dari posisi Ketua DPC Gerindra Kota Semarang.
“Jadi beliau (Joko Santoso) tadi dalam pengakuannya mendatangi rumah kader PDIP, masuk kemudian juga membentak-bentak diakui sendiri. Itu sudah cukup bagi kami untuk menjatuhkan putusan,” tutur Habiburokhman.
Habiburokhman mengaku tidak mengetahui persis alasan Joko Santoso membentak Suparjiyanto. Akan tetapi, apapun alasannya tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan.
Lebih lanjut Habiburokhman menuturkan Gerindra menyerahkan ke kepolisian untuk mengusut kasus dugaan penganiayaan yang dilakukan Joko Santoso. Sebab, pihaknya tidak berwenang untuk menangani tindakan yang masuk kategori pidana.
“Terkait persoalan tuduhan penganiayaan, sampai sejauh ini kami belum mendapatkan keterangan saksi tersebut dan itu diluar kewenangan kami karena itu ranah pidana,” tutur Habiburokhman.
“Jadi, ada dua versi kalau kami baca di media, ada yang mengatakan terjadi penganiayaan, sementara ada versi lain, banyak beberapa saksi lain tidak terjadi kontak fisik. Kami tidak punya kewenangan untuk menilai keduanya. Kami serahkan supaya agar aparat penegak hukum bisa bekerja secara profesional,” katanya menambahkan, seperti dilansir dari pikiranrakyat.
Habiburokhman mengharapkan kepolisian bisa bekerja secara profesional untuk menyelidiki kasus dugaan penganiayaan tersebut. Menurutnya, penetapan tersangka harus berdasarkan kecukupan alat bukti. (pr/muz)