JATENGPOS.CO.ID, KENDAL– Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kendal menggelar Publik Hearing terhadap tiga Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Prakarsa DPRD Kendal, di Ruang Paripurna, Senin (4/12).Pada kegiatan tersebut, DPRD Kabupaten Kendal menggandeng akademisi Unversitas Sebelas Maret (UNS) Solo untuk melakukan kajian akademik pembahasan tiga Raperda tersebut.Tiga Raperda yang dibahas, yakni Raperda tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Penyakit, Raperda tentang Perubahan atas Perda Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan di Kabupaten Kendal dan Raperda tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.Kajian akademik oleh perguruan tinggi merupakan salah satu tahapan yang harus dilakukan dalam setiap pembentukan Perda.
Adapun Tiga raperda tersebut merupakan bidang tugas Komisi B dan Komisi D DPRD Kabupaten Kendal.
Anggota DPRD Kendal, Annurochim yang memimpinan rapat mengatakan, publik hearing ini diadakan untuk menerima masukan dan tanggapan terhadap Raperda yang akan dibahas. Tujuannya agar menghasilkan Perda yang sesuai dengan harapan masyarakat.
Dirinya menegaskan, jangan sampai masyarakat menilai bahwa anggota dewan tidak bekerja, karena pada tahun sebelumnya dewan sudah mengusulkan sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan para guru Madin dan TPQ melalu Perda Madin, namun tidak mendapat nomor register dari Gubernur Jateng, sehingga Perda Madin tidak bisa dilaksanakan.
Jika pada tahun 2017 ada Perpres Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pendidikan Karakter, yang di dalamnya menyebutkan, bahwa penguatan pendidikan karakter boleh dibiayai oleh daerah. Menurutnya, madin merupakan salah satu pendidikan informal yang mengajarkan pendidikan karakter, sehingga Pemkab boleh memberikan anggaran untuk kegiatan madin.
“Kami harap banyak masukan dari kegiatan ini, supaya Perda yang dihasilkan nanti sesuai harapan masyarakat. Karena waktunya terbatas, maka masukan saran dan pendapat bisa disampaikan secara tertulis,” kata dia.
Sementara itu, Akademisi UNS Solo Djatmiko membenarkan apa yang telah disampaikan oleh pimpinan publik hearing, bahwa dalam pembahasan draf ini banyak pendapat, input dan diskusi yang akhirnya memunculkan beberapa poin yang nantinya akan sangat potensial menimbulkan kegelisahan.
Ada lima kewenangan yang memang tidak diserahkan atau tidak didesentralisasikan kepada daerah, salah satunya dibidang urusan agama. “Di dalam urusan agama ini, kewenangan ini di dalamnya ada pendidikan dan terkait dengan bidang agama. Ini saya kira barangkali yang akan muncul banyak persoalan tersendiri,” kata dia.
Djatmiko mengungkapkan, dasar pemikiran dalam peraturan daerah ini adalah draf UU No 23 tahun 2014. Jadi kewenangan ini yang tidak didesentralisasikan kepada pemerintah daerah akan tetapi kewenangan ini merupakan kewenangan pemerintah pusat.
“Terkait agama dan pendidikan keagamaan itu urusanya atau kewenangan kemenag atau pemerintah pusat. Ini penyelenggaraan yang berbasis agama, sehingga bukan jadi kewenangan kabupaten/kota, melainkan merupakan kewenangan Kementerian Agama (Kemenag). Pasal 26 dan 28, jadi kewenangan provinsi, sehingga angka 29 dihapus, dan lainnya,” ungkapnya. (via/adv/muz)