JATENGPOS.CO.ID, – Peserta didik di tingkat Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMP) umumnya tergolong pada usia remaja yang identik dengan krisis pencarian jati diri yang disebut sebagai masa storm and stress atau badai dan tekanan. Pada tahapan ini, ketegangan emosi meningkat sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Kebebasan yang makin luas ini membawa tanggung jawab yang lebih besar. Akibatnya, jika tidak disertai pengawasan yang baik dari orang dewasa maka remaja beresiko terperangkap dalam tindakan kejahatan, baik itu oleh mereka sendiri maupun orang lain.
Contoh penyimpangan yang marak terjadi di lingkungan sekolah adalah potongan rambut, cara berpakaian, dan cara berkomunikasi yang meniru sosok yang diidolakan dan menjadi model pencarian jati diri mereka. Selain itu, kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan atau perhatian seringkali berujung pada tindakan bullying. Jika tidak disikapi dengan tepat, fenomena ini dapat berdampak lebih besar karena penyimpangan ini dapat berkembang menjadi kebiasaan dan karakter buruk di kemudian hari.
Menurut Geoffrey James, kunci keberhasilan seumur hidup, termasuk mengatasi krisis masa remaja, adalah sebuah otot emosional yaitu sense of gratitude atau rasa syukur. Orang yang memandang hidup dengan rasa syukur selalu menyadari bahwa kehidupan adalah hal yang mengagumkan. Rasa syukur atas keberhasilan mereka, membuat mereka makin termotivasi untuk meraih sukses di kemudian hari. Selain itu, mereka juga dapat memandang kegagalan dalam perspektif yang benar.
Maka dari itu, untuk membantu remaja mengatasi masa badai dan tekanan dengan sukses, kita dapat mengasah rasa syukur mereka. Untungnya, sama seperti emosi-emosi lain, rasa syukur tak ubahnya seperti otot. Makin sering digunakan, makin kuat dan tangguh rasa syukur itu. James, lebih lanjut, menyarankan pemrograman ulang otak untuk menumbuhkan rasa syukur lewat sebuah langkah praktis. Menurutnya, rasa syukur dapat dipupuk dengan mendata hal-hal positif yang dialami setiap hari.
Dalam konteks pendidikan, Sense of gratitude atau rasa syukur berpotensi mengubah sikap keras menjadi lembut. Rasa syukur merupakan pengejawantahan sisi spiritual peserta didikmelaluikegiatan ibadah, baik di lingkungan sekolah maupun keluarga. Hasil akhir yang diharapkan adalah pribadi yang pandai bersyukur, berbelas kasih, dan memiliki rasa peduli kepada sesama.
Dalam ranah pedagogik, menumbuhkan sense of gratitude termaktub dalam Kompetensi Inti pertama yaitu menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya. Kompetensi ini menjadi salah satu ruh dalam kurikulum 2013. Menyikapi hal ini, guru sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan berkewajiban untuk menanamkan nilai-nilai spiritual, khususnya sense of gratitude, pada para peserta didik. Jika nilai-nilai luhur tersebut dapat diinternalisasikan dengan baik, niscaya rantai masalah yang muncul pada masa krisis remaja dapat diputus atau diminimalisir.
Guru dapat melakukan beberapa tindakan konkrit untuk menanamkan sense of gratitude dalam konteks belajar mengajar. Salah satu langkah sederhana adalah memulai dan mengakhiri pembelajaran dengan berdoa bersama dengan memberi penekanan bahwa peserta didik selayaknya bersyukur atas kesempatan belajar. Selain itu, penanaman nilai dapat pula diintegrasikan dalam penyampaian materi pengetahuan maupun keterampilan.
Akhir kata, krisis pada masa remaja merupakan sebuah permasalahan yang kompleks dan merupakan tanggung jawab bersama. Maka dari itu, sudah selayaknya penanaman nilai-nilai spiritual, seperti sense of gratitude, tidak hanya berhenti pada lingkup sekolah namun juga pada lingkup keluarga dan masyarakat.
Suryanti, S.Pd.
Guru SMP Negeri 5 Salatiga