JATENGPOS.CO.ID. SEMARANG- Komisi IX DPR RI terus memperjuangkan penambahan anggaran untuk alokasi pelayanan kesehatan masyarakat. Pengelolaan pelayanan kesehatan masyarakat yang digerakkan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) tahun ini Komisi IX menambah anggaran menjadi sebesar Rp 27 triliun dari tahun lalu sebesar Rp 19 triliun.
Diharapkan penambahan anggaran tersebut BPJS turut meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Terutama penanganan terhadap penderita penyakit kronis harus ditangani hingga tuntas. Ia mengingatkan agar tidak membedakan pasien yang menggunakan BPJS dan JKN dengan pasien umum yang membayar langsung.
Pernyataan demikian disampaikan anggota Komisi IX DPR RI asal Pati H Imam Suroso, SH, S.Sos, MM di sela-sela mengikuti Seminar Kesehatan “Penguatan JKN” yang diadakan Komisi IX DPR dan Kementerian Kesehatan di Jakarta, Senin (5/2) kemarin.
“Kita sudah perjuangkan anggaran BPJS naik menjadi Rp 27 triliun (tahun lalu Rp 19 triliun, red). Dari defisit yang dialami BPJS tahun kemarin sekitar Rp 9,5 triliun. Adanya sokongan anggaran lebih besar kita berharap dapat mendorong BPJS memberi pelayanan terbaik buat masyarakat baik dalam hal perawatan maupun pengobatan,” ujarnya saat dihubungi Jateng Pos dari Semarang, kemarin.
Legislator Fraksi PDIP ini mengingatkan Kemenkes agar memperketat pengawasan kinerja BPJS hingga sampai tingkat pelosok desa dan pedalaman. Kasus gizi buruk dialami warga di Kabupaten Asmat, Papua menjadi catatan kinerja Kemenkes yang kurang merespon pelayanan kesehatan masyarakat di pedalaman.
“Kemenkes harus segera bertindak cepat menyelesaikan kasus gizi buruk di Asmat. Sekaligus menjadi warning bagi Kemenkes untuk memberi perhatian khususnya di daerah-daerah terpencil. Kita tidak ingin kasus ini terulang, kita tidak ingin masih ada rakyat Indonesia yang kekurangan gizi,” tegas anggota legislatif dari Daerah Pemilihan (Dapil) III Jawa Tengah yang meliputi; Pati, Rembang, Grobogan dan Blora ini.
Menurutnya, pemerintah sudah memberikan bantuan kesehatan untuk masyarakat seluruh Indonesia melalui BPJS. Ini menjadi kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan setiap saat baik di rumah sakit maupun puskesmas terdekat.
“Saya juga prihatin melihat masyarakat pemegang BPJS tidak menggunakan fasilitas layanan kesehatan secara maksimal. Kebanyakan datang berobat ketika sudah sakit parah. Tidak ada upaya pencegahan preventif untuk mendapat perawatan ketika baru gejala sakit. Jika sudah parah sakitnya biaya pengobatan semakin mahal, dan pemerintah yang menanggungnya,” ungkapnya.
Disebutkan, penyakit parah yang selama ini ditangani BPJS adalah penyakit katastropik, diantaranya sakit jantung, ginjal, kanker, stroke, thalasemia, leukimia, sirosis hepatitis, dan hemofilia.
“BPJS Kesehatan menghabiskan hampir 20 persen dari total anggaran yang ada untuk mengobati penyakit katastropik. Untuk itu kami mengimbau kepada masyarakat lebih baik melakukan tindakan preventif. Jangan menunggu sampai sakitnya parah. Hal ini juga ikut membantu meringankan beban pemerintah,” tandasnya.
Diketahui, jumlah kepesertaan BPJS tercatat 185 juta jiwa diantaranya Penerimaan Biaya Iuran (PBI) dari pemerintah sebesar 40% dan sisanya 60% dari masyarakat dengan target akhir tahun 2017 senilai Rp 70 triliun. Dari 22 juta penderita, berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2016 menyebut katastropik menyedot anggaran sebesar Rp 1,69 triliun atau 29,67%. (muz/biz)