Jamaah Haji Dilarang Tiga Hal: Jidal, Rafast, dan Fusuq, Apa Itu?

HAJI:Jamaah haji Indonesia tahun 2024.foto:dok/jatengpos

JATENGPOS. CO. ID, SEMARANG – Ada tiga hal yang dilarang bagi orang yang menunaikan ibadah haji. Pertama, dilarang Jidal (berbantah-bantahan), kedua dilarang Rafast (berkata mesum atau berbuat mesum), dan ketiga dilarang Fusuq (mencela atau menzholimi).

Menurut Sekretaris Divisi Kajian Al-Qur’an dan Hadis Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Aly Aulia, bagi yang telah menetapkan niat untuk melaksanakan ibadah haji, yang ditandai dengan memakai pakaian ihram, dijelaskan dalam firman Allah ada tiga larangan. Apabila ketiga larangan ini atau salah satunya dilanggar, maka ibadah hajinya akan rusak bahkan terancam batal.

Pertama, orang yang sedang berhaji dilarang jidal. Aly menyebut jidal ialah berbantahan atau bertengkar yang menimbulkan kemarahan. Mencela seseorang juga termasuk jidal. Mereka yang sedang berhaji dilarang keras untuk menyakiti hati orang lain. Pertengkaran hanya akan merusak persaudaraan dan mengotori hati pelakunya.

Kedua, orang yang sedang melakukan ibadah haji dilarang keras melakukan rafats. Aly menerangkan terdapat dua bentuk rafats, yaitu berhubungan suami istri dan mengucapkan kata-kata rayuan yang diperkirakan akan menimbulkan syahwat. Demikian juga dengan perbuatan yang memancing syahwat seperti berciuman atau yang serupa.

iklan

Ketiga, orang yang sedang haji dilarang melakukan fusuq atau mencela. Demikian halnya dengan segala bentuk kemaksiatan dan kejahatan yang dilakukan waktu melakukan ibadah haji. Menurut Aly, segala bentuk larangan sewaktu ihram seperti mencukur rambut, memotong kuku, menangkap binatang buruan juga termasuk dalam kategori fusuq.

Baca juga:  KPU Salatiga Pilih RSU Muwardi untuk Cek Kesehatan Kandidat

“Untuk menghindarkan diri kita dari rafats, fusuq, dan jidal sebaiknya selama menunaikan haji, selain melaksanakan rangkaian manasik haji hendaknya para jamaah haji mengisi kekosongan waktunya dengan melakukan amal saleh sebanyak mungkin. Ini merupakan kesempatan emas bagi kita,” ucap Aly

Secara eksplisit, Al-Qur’an telah menjelaskan hal-hal yang tidak boleh dilakukan orang yang sedang berhaji dalam tiga hal: yakni rafats, fusuq, dan jidal. Tiga hal ini termaktub dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 197:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

Artinya: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berdebat di dalam masa mengerjakan haji.”

Sayangnya, dalam ayat tersebut tidak dijelaskan secara rinci apa saja perbuatan atau hal yang termasuk dalam kategori rafats, fusuq, maupun jidal.

Untuk itu, para ulama mencoba memasukkan pembahasan kategori rafats, fusuq, dan jidal dalam karya-karya mereka dengan mengutip sabda Rasulullah maupun qaul sahabat.

Abu Ja’far at-Thahawi dalam kitab Syarh Musykilul Atsar menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan rafats adalah berhubungan seks, dan hal ini merusak ibadah haji. Berbeda dari fusuq dan jidal yang tidak sampai merusak ibadah haji.

Baca juga:  PGRI Kota Semarang Berharap Agustin-Iswar Beri Perhatian ke Sekolah Swasta

قَوْلُ اللهِ عز وجل فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ في الْحَجِّ فَجَمَعَ اللَّهُ تَعَالَى هذه الأَشْيَاءَ في آيَةٍ وَاحِدَةٍ وَنَهَى عنها نَهْيًا وَاحِدًا وَكَانَتْ مُخْتَلِفَةً في أَحْكَامِ ما نهى عنها فيه لأَنَّ الرَّفَثَ هو الْجِمَاعُ وهو يُفْسِدُ الْحَجَّ وما سِوَى الرَّفَثِ من الْفُسُوقِ وَالْجِدَالِ لاَ يُفْسِدُ الْحَجَّ

Artinya: “Firman Allah SWT tentang larangan haji (rafats, fusuq dan jidal), Allah mengumpulkan tiga hal tersebut dalam satu ayat dan melaranganya secara bersamaan. Namun, dalam segi hukum, ketiganya berbeda. Karena rafats adalah berhubungan seks dan hal itu merusak ibadah haji. Sedangkan selain rafats, yakni fusuq dan jidal tidak merusak haji.

Syekh Ahmad bin Abu Bakar bin Ismail al-Bushiri dalam karyanya berjudul Ithaf al-Khairah al-Mahrah bi Zawaid al-Masanid al-Asyrah yang merupakan salah satu kitab Zawaid dalam literatur kitab hadits, mengutip pendapat Ibnu Abbas ketika ditanya tentang rafats, fusuq, dan jidal.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ , رَضِيَ الله عَنْهُمَا , قَالَ : {فَلاَ رَفَث} ؟ قَالَ : الرَّفَثُ : الْجِمَاعُ ؟ {وَلا فُسُوقَ} ؟ قال : الْفُسُوقُ : الْمَعَاصِي ، {وَلاَ جدَالَ في الحَجِّ} ؟ قال : الْمِرَاء.

Artinya “Dari Ibnu Abbas Ra. berkata: rafats berarti berhubungan seks, sedangkan fusuq berarti maksiat, dan jidal berarti berbantahan.”

Dalam riwayat al-Hakim juga dijelaskan pendapat Ibnu Abbas sebagai berikut:

Baca juga:  Bu Sumarni Terharu, Rumahnya Dibangun Pemkot Semarang Dan Pramuka

الرَّفَثُ : الْجِمَاعُ , وَالْفُسُوقُ : السِّبَابُ ، وَالْجِدَالُ : أَنْ تُمَارِيَ صَاحِبَك حَتَّى تُغْضِبَهُ.

Artinya: “Rafats adalah bersetubuh atau berhubungan seks, fusuq adalah mencaci, sedangkan jidal adalah mendebat atau berbantahan dengan saudaramu sampai membuatnya marah.”

Dari penjelasan beberapa hadits di atas, maka bisa diperinci bahwa hal-hal yang termasuk kategori rafats adalah mengeluarkan perkataan tidak senonoh yang mengandung unsur kecabulan (porno), senda gurau berlebihan yang menjurus kepada timbulnya nafsu birahi (syahwat), termasuk melakukan hubungan seks (bersetubuh).

Sedangkan hal-hal yang termasuk kategori fusuq, yakni perbuatan maksiat atau mencaci adalah takabbur atau sombong, merugikan dan menyakiti orang lain dengan kata-kata maupun perbuatan, bertindak zalim terhadap orang lain seperti mengambil haknya atau merugikannya, berbuat sesuatu yang dapat menodai akidah dan keimanannya kepada Allah, merusak alam dan makhluk lainnya tanpa ada alasan yang membolehkan, juga termasuk menghasut atau memprovokasi orang lain untuk melakukan maksiat.

Adapun hal-hal yang termasuk dalam kategori jidal yang dalam arti dapat menimbulkan emosi lawan maupun orang itu sendiri adalah seperti berbantah-bantahan hanya untuk memperebutkan kamar, kamar kecil, makanan dan termasuk melakukan demonstrasi terhadap sesuatu hal yang (mungkin) tidak sesuai dengan keinginannya.
Adapun diskusi atau musyawarah tentang masalah agama dan kemaslahatan yang dilakukan dengan cara baik dan santun, maka hal itu diperbolehkan. (jan)

iklan