JATENGPOS.CO.ID. TEGAL- Para nelayan di wilayah Kota Tegal kini bersyukur, karena perjuangan agar alat tangkap cantrang diperbolehkan untuk melaut kini terpenuhi. Bagi para nelayan, larangan cantrang yang sempat muncul hingga dikeluarkannya Permen soal pelarangan alat tangkap ikan itu dinilai informasi yang menyesatkan.
”Salah satu contohnya, Kementerian Kelautan sendiri pernah bilang bahwa tali cantrang ini panjangnya sampai 600 km. Sementara fakta di lapangan, kami menggunakan tali cantrang hanya saekitar 600–800 meter saja. Termasuk panjang kanan dan kirinya,” kata Ketua Paguyuban Nelayan Kota Tegal, Susanto Agus Priono SH Kamis (18/1).
Ditemui di Pelabuhan Jongor, Susanto yang merupakan Sekjen Aliansi Nelayan Indonesia (ANI) ini menjelaskan bahwa pengoprasian jaring cantrang itu menghindari karang. Sebab, jika mengenai karang justru nelayan akan rugi. Sebab, alat tersebut benturan. Begitu pula soal hasil tangkapan ikan kecil. Dimana di Indonesia ini, menurut dia ikan sangat beragam.
”Jadi ikan kecil tidak semuanya anak ikan. Sebab, ada ikan jenisnya memang bentuknya kecil. Biar pun usia ikan sudah 10 tahun, tapi bentuk ikannya kecil. Jadi kecil bukan anak ikan. Contohnya ikan abangan, kuniran, dan lainnya,” katanya.
Dia menjelaskan, ikan yang didapat dari alat tangkap cantrang di antaranya kuniran, peh, petek, matagoya, dan kakap. Efek domino, dari tangkapan cantrang juga banyak sekali yang bergantung. Di antaranya, usaha filet yang menghidupkan pekerja sekitar 50-70 orang. ”Usaha ini menggunakan ikan jenis kuniran,” ulasnya.
Selain itu, lanjut dia, ada karyawan pabrik cool storid, ini ikan cumi, dan ikan berkualitas. Kemudian, usaha-usaha tali selambar yang ada di Desa Kubangwungu, Brebes dan peternak itik yang juga bergantung pada cantrang. Kemudian ada pula usaha makanan empek-empek juga dari cantrang. Belum lagi pedagang pasar, bongkar muat, kuli serta karyawan dan tukang parkir serta hingga ABK. Jadi banyak hajat orang banyak di cantrang dan ini yang harus dipikirkan pemerintah jika melarang cantrang.
Terkait dengan pengoperasian di laut, dia menjelaskan bahwa cantrang di Tegal saat berlayar membutuhkan waktu 1-2 bulan, dengan awak kapal 15-25 orang. Di antaranya mulai menebar jaring setelah subuh jam 05.00. Prosesnya hingga pukul 17.00 WIB dalam menangkap ikannya. Kurun waktu ini bisa sampai 10-12 pengoperasiannya. ”Jaring disebar, kemudian tali paying ditarik ke atas bukan diseret seperti trawl. Ya, semacam alat tangkap long line. Dalam proses penarikan jaring, kurang lebih membutuhkan waktu sekitar 1 jam,” jelasnya.
Meski sudah diperbolehkan, kata dia para nelayan masihmenunggu tindak lanjut dari keputusan presiden yang sudah memperbolehkan melaut. Sebab, perizinan cantarng dulu pernah dibatasi sampai akhir Desember 2017. ”Saat ini, nelayan masih menunggu tindak lanjut atas keputusan Presiden yang sudah mengambil alih, baik itu soal izin melaut dan sebagainya,” kata dia yang mengaku jumlah kapal cantrang yang ada di Kota Tegal sekitar 576 kapal.
Di tempat yang sama, salah satu nelayan, Casmadi, mengaku bersyukur saat aksi di Jakarta. Dimana ternyata Presiden Jokowi kembali melegalkan alat tangkap cantrang.
”Alhamdulillah, berarti nelayan kini bisa berbahagia. Sebab, berbagai macam nelayan dan hanya alat cantrang yang selama ini membantu dan mensejahterakan nelayan,” akunya.
Dia mengaku saat melaut, pendapatan dalam waktu dua bulan dengan kapal cantrang bisa mendapatkan uang Rp 5 juta. Itu kalau tangkapan ikan sedikit. Namun, jika tangkapan ikan lebih, per orang nelayan bisa mendapatkan Rp 10 juta, terkadang dapat Rp 15 juta. Namun, pendapatan lebih itu beresiko tinggi. Sebab, hidupnya berada di tengah laut, belum lagi jika angin serta ombak besar.
”Cuman kami harus kerja apalagi, jika tidak bekerja sebagai nelayan cantrang. Keahlian yang lain juga tidak ada. Karena itu, bagaimanapun kami tetap berjuang akan cantrang tetap dilegalkan,” ujarnya. (gus/jpnn/muz)