spot_img
28.5 C
Semarang
Jumat, 27 Juni 2025
spot_img

Konsil Kedokteran: Lembaga Negara yang Dikerdilkan 

Oleh:

Zainal Muttaqin

(Pengampu Sekolah Spesialis, Guru Besar FK Universitas Diponegoro)

JATENGPOS. CO. ID, SEMARANG- Melengkapi pembahasan kita tentang Kolegium Kedokteran Spesialis, ada satu lembaga lain yaitu Konsil Kedokteran, yang perannya tidak bisa dipisahkan dari Kolegium.

Selanjutnya kita akan telaah peran dan kedudukan Konsil ini berdasarkan peraturan yang melandasinya, serta upaya Menkes mengacak-acak, menkerdilkan, menguasai, dan mengubah Lembaga Negara ini jadi Lembaga Pesuruh Menkes.

Konsil Kedokteran (menurut UU 29/2004): Kontrol Negara atas Kebebasan Akademik dan Integritas Profesi dalam Kolegium Kedokteran

Dalam Bahasa awam, Konsil adalah lembaga yang mengesahkan semua standar-standar yang dibuat oleh Kolegium, dan sekaligus mengawasi praktek profesi para dokter.

Sebelum ada UU 17/2023, Konsil Kedokteran Indonesia (Konsil) dibentuk sebagai amanat UU 29/ 2004 tentang Praktek Kedokteran, dalam rangka melindungi masyarakat dalam pelayanan praktek kedokteran dan menjaga mutu pelayanan kedokteran (dalam Bab III, ada 22 Pasal terkait Konsil).

Sebagai sebuah Lembaga Negara, Konsil ini bertanggung jawab kepada Presiden selaku Kepala Negara, dan tentu saja tidak boleh tunduk kepada perorangan, siapapun, termasuk menkes.

Pada Pasal 14 tentang keanggotaan, disebutkan bahwa keanggotaan Konsil ditetapkan oleh Presiden, diusulkan oleh menkes berdasarkan usulan seluruh stakeholder (ada 17 pihak), yaitu organisasi profesi dokter dan dokter gigi, asosiasi institusi pendidikan dokter dan dokter gigi, asosiasi rumah sakit Pendidikan, Kemenkes, Kemendikti-Saintek, dan Lembaga Konsumen.

Terlihat di sini, selain wakil dari negara (kemenkes dan kemendikti-saintek), sisanya merupakan representasi dari Civil Society di bidang kedokteran, Pendidikan dokter, dan layanan kesehatan.

Bahkan untuk mengawasi dan menindak lanjuti laporan dari masyarakat terkait praktek profesi dokter dan dokter spesialis (atau Drg dan Drg Spesialis), Konsil dibantu oleh sebuah Lembaga Peradilan Profesi yaitu Majlis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).

Dari pasal 14 UU 29/2004 ini terlihat jelas sebuah mekanisme Kontrol dan Pengawasan oleh negara (Check and Balance) atas kebebasan akademik dan integritas profesi yang dimiliki oleh lembaga Kolegium. Ujud dari kontrol dan pengawasan oleh negara ini bukanlah dalam bentuk belenggu kekuasaan yang arogan, yang mengancam, atau bahkan membungkam. Melainkan melalui peran dari Civil Society (keterwakilan rakyat banyak) dalam keanggotaan Konsil.

Keterwakilan rakyat/ Civil Society ini penting untuk memastikan terakomodasinya kepentingan masyarakat luas sebagai stakeholder utama dan subjek dari semua program layanan kesehatan.

Negara kita adalah sebuah negara demokrasi, dan kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Makna filosofisnya, Konsil Kedokteran bisa diposisikan sebagai sebuah Lembaga Negara karena di dalamnya ada keterwakilan dari ‘Civil Society’ seperti dijelaskan pada pasal 14 UU 29/2004.

Artinya, tanpa keterwakilan ‘Civil Cociety’ ini, Konsil Kedokteran adalah sebuah pepesan kosong. Sebuah lembaga tanpa makna yang bisa dijadikan alat kekuasaan dari siapapun yang berada di balik jubah seorang menteri kesehatan.

Lalu bagaimana dengan Konsil Kesehatan bentukan menkes saat ini? Dalam PMK 12/2024, Bab II, Pasal 5-14 terkait seleksi calon anggota dan pimpinan Konsil, setiap orang atau siapapun bisa mencalonkan diri dan mengikuti seleksi sebagai anggota (dengan mengatas namakan kelompok nakes atau named tertentu). Tanpa harus benar-benar (de-jure dan de-facto) mewakili/ menjadi representasi kelompok nakes-named tersebut.

Selanjutnya lewat pansel yang dibentuk menkes, menkes sendiri yang menetapkan mereka menjadi anggota konsil. Tidak ada lagi klausul ‘atas usulan dari pemangku kepentingan (AIPKI, ARSPI, IDI, Lembaga Konsumen, dll.)’, sebagaimana terdapat pada UU 29/2004.

Jadi keterwakilan Civil Society sebagai stake holder utama dalam penyelenggaraan layanan kesehatan dilenyapkan (diambil alih oleh menkes) pada UU 17/2023, dan seluruh Anggota Konsil adalah para pesuruh menkes, yang rentan Conflict of Interest.

Apalagi pada PP 28/2024 Pasal 696 dinyatakan bahwa: dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang, Konsil harus berkoordinasi dengan menkes, dalam rangka menjamin kesesuaian dengan kebijakan yang ditetapkan oleh menkes. Bila dalam hal pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang tidak sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh menkes, menkes dapat melakukan penyesuaian pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang. Jelas terpampang disitu, selain menkes dapat melakukan intervensi, keanggotaan dari ‘Civil Society’ benar-benar lenyap tak berbekas karena semua anggota ditunjuk oleh menkes. Akibatnya konsil tidak cuma berada di bawah ketiak menkes, tapi benar-benar terdegradasi dan posisinya terhimpit oleh selangkangan menkes.

Salah satu kewenangan Konsil yaitu menerbitkan Surat Tanda Registrasi (STR) sebagai syarat mutlak bagi Dokter dan Nakes untuk bisa mengurus Surat Ijin Praktek (SIP). Kehadiran Negara dalam Konsil yang telah digantikan oleh menkes ini terbukti efektif sebagai alat untuk mengancam sampai membungkam mereka yang berbeda pendapat.

Konsil juga berperan menentukan kelaikan pembukaan program studi baru bidang kedokteran dan kesehatan, termasuk prodi spesialis. Keberadaan Konsil yang sepenuhnya dalam cengkeraman kekuasaan menkes ini terbukti telah menegasikan peran-peran dari Kemendikti-saintek, dan wakil-wakil dari Civil Society (Asosiasi FK/ AIPKI, Asosiasi RS Pendidikan/ ARSPI, Organisasi Profesi IDI/ PDGI dengan Kolegium-nya, dan Lembaga Konsumen).

Kekuasaan menkes yang menerabas batas kewenangannya berdasarkan tupoksi kemenkes, berujung pada terjadinya intervensi dan campur-tangan yang masuk terlalu dalam perihal urusan Pendidikan Dokter Spesialis. Meskipun hampir semua Pendidikan Spesialis memanfaatkan RS Kemenkes sebagai lahan Pendidikan, tetapi sesuai UU 12/2012 tentang Dikti, kewenangan administrasi sampai penjaminan mutu-nya, masih tetap berada di bawah Kemendikti-Saintek. Demikian pula Peran Kolegium Bidang Ilmu/ Kolegium Profesi, dalam Pendidikan Dokter dan Dokter Spesialis yang sudah berjalan baik selama lebih dari 50 tahun, semuanya diporak-porandakan.

Dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materil UU 17/2023 (Perkara 182/PUU-XXII/2024, tg. 3/6/2025) baru-baru ini, para Hakim MK mempertanyakan alasan yang mendasari (Asbabun Nuzul) terjadinya reformasi dan reposisi institusi bidang kesehatan dalam UU 17/2023, khususnya terkait Konsil Kedokteran, Kolegium, dan Organisasi Profesi Medis.

Lebih jauh lagi, Hakim Asrul Sani mempertanyakan mengapa Organisasi Profesi (OP) Medis dan Nakes (yang sebelumnya sudah Tunggal) dibuat menjadi Multi Bar, padahal UU 18/2003 tentang Advokat dan UU 11/2014 tentang Insinyur malah memastikan dan memperkuat keberadaan mereka sebagai OP Tunggal. Hakim Saldi Isra secara tegas bahkan meminta menkes untuk menghadirkan bukti hasil studi/ riset akademis bahwa institusi bidang kesehatan yang saat ini ada tidak mendukung reformasi kesehatan (misalnya semua catatan jelek pemerintah soal IDI).

Dalam penjelasannya, menkes bernarasi bahwa meskipun OP tidak lagi tunggal, “supaya tidak ada perbedaan dalam hal standar etik, standar pelayanan, standar profesi dan lainnya, maka pencatatannya mesti hanya 1 yaitu di Konsil Kesehatan, dulu Konsil Kedokteran (menkes: cuma namanya saja yang diubah), ini report langsung ke Presiden, hanya melalui saya”.

Dengan telaah jujur berdasarkan UU 29/2004 yang melahirkan Konsil Kedokteran, akan terlihat bahwa narasi menkes tentang Konsil Kedokteran ini manipulatif.

Konsil Kedokteran sesuai UU 29/2004 benar-benar sebuah lembaga negara, yang beranggotakan representasi (usulan dari) seluruh stakeholder bidang kedokteran, mulai dari hulu (pendidikan dokter/ dokter gigi) sampai hilir (praktek dokter/ dokter gigi). Sedang Konsil Kesehatan sesuai UU 17/2023, PP 28/2024, dan PMK 12/2024, samasekali tidak diisi oleh wakil-wakil dari ‘Civil Society’, melainkan orang-orang yang ditunjuk langsung oleh menkes.

Bahkan yang paling kocak, selain proses seleksi yang samasekali tidak transparan, menkes menunjuk bawahannya, ketua panitia seleksi dan ex Dirjen Nakes Arianti Anaya, sebagai ketua Konsil Kesehatan.

Jadi jelas sekali bahwa narasi menkes soal Konsil Kedokteran menjadi Konsil Kesehatan ‘Cuma Namanya yang berubah’ adalah sebuah kebohongan besar karena yang sesungguhnya terjadi adalah perubahan yang amat substantif, sebuah lembaga negara yang telah terdegradasi dan dikerdilkan.

Penguasaan kedua lembaga tersebut  akan memberikan keleluasaan bagi sang Juragan untuk menentukan siapa yang boleh melakukan tindakan apa, sebagaimana disampaikan pada acara Rosi KompasTV (https://youtu.be/J4whti56CLs?si=kRyn5-WZRFvjn1RU). Di balik semua tuduhan palsu dan fitnah soal kompetensi Operasi Sesar (pada Kolegium Ilmu Kebidanan-Penyakit Kandungan), soal kompetensi Hemodialisa/ Cuci Darah (Kolegium Ilmu Penyakit Dalam & Kolegium Subspesialis Ginjal dan Hipertensi), serta soal Operasi Kraniotomi pada Stroke (Kolegium Ilmu Bedah Saraf) patut diduga ada agenda busuk terkait proyek pengadaan barang di kemenkes (Kamar Operasi, Mesin Anestesi, dan mesin Hemodialisa) untuk Puskesmas.

Narasi soal hemodialisa sudah langsung dijawab oleh Pernefri (OP Subspesialis Ginjal dan Hipertensi) dengan semua bukti dan fakta empirik, artinya narasi menkes 100% tidak benar. Narasi soal permintaan agar kompetensi Operasi Sesar diturunkan kepada dokter umum telah dijawab oleh POGI, yang dengan tegas menolak, demi keselamatan ibu hamil dan masyarakat penerima layanan. Narasi menkes bahwa dari 514 RSU Kab/Kota, ada 300 yang tidak punya SpOG dijamin 100% keliru. Menkes diminta sebutkan RSUD mana yang tidak punya SpOG dan POGI siap menugaskan SpOG baru (200-220 orang/ tahun) atau setidaknya menugaskan PPDS tahap mandiri utk bertugas sementara di daerah tsb.

Narasi menkes soal 300.000 kematian akibat stroke terjadi karena tidak adanya SpBS, dan SpB nya tidak diberikan kompetensi Operasi Kraniotomi (Membuka Tengkorak) adalah menyesatkan. Stroke Perdarahan hanya 15-20% dari Total Pasien Stroke, dan dari Stroke Perdarahan tsb. hanya separoh yang perlu Operasi Kraniotomi. Artinya dari total kematian akibat stroke, hanya 10% saja yang bisa ditolong dengan Operasi Bedah Saraf. Pada yang 90% sisanya, kematian lebih disebabkan oleh Penyakit lain (Jantung dan/atau Ginjal) akibat dari Hipertensi dan/ atau DM yang tidak terkontrol untuk waktu lama.

Sejak lebih dari 30 tahun lalu, Kolegium Ilmu Bedah Saraf telah mengajarkan pada PPDS/ calon spesialis Bedah kompetensi kraniotomi dasar untuk pasien dengan perdarahan di luar selaput otak (Epidural Hematoma) dan patah tulang tengkorak yang masuk ke dalam dan menekan otak (Depressed Fracture) sebagai upaya life saving pada pasien trauma kepala.

Lalu mengapa untuk perdarahan di dalam otak (intracerebral hematoma atau ICH, sering pada stroke perdarahan) kompetensinya tidak diberikan pada spesialis lain?

Karena di luar gumpalan darah itu ada jaringan otak/kortek sehat yang bisa jadi itu adalah pusat motorik, pusat bicara, atau pusat penglihatan. Bila kita salah lokasi sedikit saja, atau mencederai area vital tersebut, yang terjadi bukan kebaikan bagi pasien tapi cacad yang menetap.

Dalam proses pembelajarannya, PPDS Bedah tidak memperoleh dasar ilmu yang cukup untuk bisa mengenali fungsi penting dari setiap bagian permukaan otak/ kortek. Jadi membiarkan Sp B melakukan kraniotomi untuk Stroke sama dengan membuka pintu untuk bertambahnya cacad pada pasien, dan di sisi lain adanya resiko tuntutan hukum bagi dokternya.

Jadi baik dulu maupun sekarang, kompetensi kraniotomi untuk Stroke Perdarahan tidak pernah diberikan kepada Spesialis Bedah. Artinya narasi menkes ‘kalau dulu bisa, kenapa sekarang tidak bisa’ adalah 100% keliru. (*)

@semua isi dan naskah murni pendapat penulis

spot_img

TERKINI