27.6 C
Semarang
Minggu, 13 Juli 2025

Bedah Epilepsi, Solusi terbaik bagi Pasien Epilepsi Kebal Obat

Oleh: Zainal Muttaqin (Pakar Bedah Epilepsi, Guru Besar FK Universitas Diponegoro)

JATENGPOS. CO. ID, SEMARANG- Diantara banyak macam penyakit yang menyerang otak, Epilepsi menduduki peringkat teratas bila dilihat dari jumlah orang yang kena Epilepsi (Orang dengan Epilepsi atau ODE).

Diperkirakan ada lebih dari 60 juta ODE di dunia, dengan prevalensi sebesar 0,6-1,0% diperkirakan ada 2,5 juta penyandang epilepsi atau ODE di Indonesia.

Epilepsi ini ditandai oleh kerentanan seseorang untuk terjadinya gangguan aktifitas listrik di otak pasien. Gejala tersering akibat gangguan aktifitas listrik otak secara tiba-tiba ini adalah serangan kejang, tapi bisa pula berupa gangguan perilaku sesaat, atau terjadinya hilang kesadaran (black-out) yang amat singkat (dalam bhs jawa sering disebut ‘ngeblank’).

Pada ODE, serangan epilepsi ini bisa terjadi kapan saja dan dimana saja, sebagian pasien bahkan bisa mengetahui/ merasakan adanya petunjuk yang khas sesaat sebelum terjadinya serangan.

Petunjuk atau tanda yang khas (selalu sama seperti itu) ini dinamakan ‘aura’ dan paling sering berupa rasa tak nyaman di perut seperti mual, atau dada yang berdebar tiba-tiba, atau berupa munculnya déjà Vu di benak pasien. Bila diikuti dengan kejang kelojotan seluruh anggota gerak, biasanya berlangsung sekitar 1-3 menit, selanjutnya pasien tertidur atau tidak sadar selama beberapa menit, lunglai seolah kehabisan tenaga, kemudian akan sadar lagi dan bisa beraktifitas seperti sebelum serangan. Saat tersadar lagi ini sebagian pasien tidak menyadari bahwa dirinya baru saja mengalami serangan epilepsi.

Serangan epilepsi ini bisa dicegah dengan menkonsumsi obat-obat anti epilepsi (OAE)/ anti serangan yang tepat (jenisnya, dosisnya, dan kombinasi obatnya) secara teratur. Statistik menunjukkan sekitar 70% ODE akan terkontrol baik (tidak terjadi serangan) dengan 1 atau 2 macam OAE yang diminum secara teratur, sebagaimana pasien Hipertensi harus minum obat anti hipertensi atau pasien Kencing Manis harus minum obat DM secara teratur dan terus menerus.

Dengan kata lain, dengan penggunaan OAE yang mutakhir pun, masih ada sekitar 30% ODE yang serangannya masih terus berulang, terutama serangan kejang. Serangan yang terus berulang (tidak terkontrol) ini akan menyebabkan kerusakan sel-sel otak yang terus bertambah, kemunduran atau regresi tumbuh kembang pada anak-anak, gangguan psiko-sosial termasuk adanya stigma dan diskriminasi bagi ODE remaja dan dewasa. Ujungnya adalah kualitas hidup yang semakin lama semakin memburuk, serta resiko terjadinya cedera atau cacad sampai kematian akibat dari serangan yang terjadi saat di dapur atau di jalan raya, misalnya.

 

Mengapa Bedah Epilepsi harus dikembangkan di Indonesia

Bagi ODE yang sudah menkonsumsi lebih dari dua macam OAE yang sesuai dengan jenis epilepsinya, dengan dosis yang benar, dan kombinasi yang tepat, dengan waktu evaluasi paling lama 2 tahun, tapi masih terus mengalami serangan, maka disebut sebagai Epilepsi Kebal Obat (EKO). Dari pengalaman dan studi di berbagai negara, sekitar separoh dari pasien EKO ini bisa diketahui bagian otak yang menjadi sumber/ asal terjadinya gelombang listrik penyebab kejang untuk kemudian dilakukan Operasi Bedah Epilepsi. Dari data Badan Epilepsi Internasional (ILAE), lebih dari 50% negara di Asia belum memiliki program bedah Epilepsi yang terstruktur dalam layanan kesehatannya. Indonesia dengan 2,5 juta ODE, diperkirakan ada 800.000 ODE kebal obat, dan 400.000 diantaranya bisa ditolong dengan Bedah Epilepsi.

Baca juga:  Dara SMP Dipaksa Minum Miras Ciu, Lalu Digilir 5 Pemuda

Bukti klinis manfaat Bedah Epilepsi pertama kali dipublikasikan th.2001 di sebuah jurnal ilmiah ternama, New England Journal of Medicine. Sam Wiebe, seorang ahli Bedah Saraf Kanada, membandingkan pasien EKO yang dilakukan Bedah Epilepsi dengan mereka yang dilanjutkan OAE-nya dengan OAE yang lebih baik. Dari kelompok EKO yang menjalani Bedah, ada 64% yang bebas kejang, sedangkan yang OAE-nya dioptimalkan hanya 8% yang bisa bebas kejang. Riset serupa dilakukan di Delhi, India, khusus untuk ODE anak di bawah 18 tahun, dengan jumlah EKO yang lebih besar. Riset ini dipublikasikan oleh Manjari, dokter Spesialis Saraf, pada th. 2017 di Jurnal yang sama, dengan hasil 77% bebas kejang pada kelompok ODE yang dilakukan Bedah, dan hanya 7% bebas kejang pada kelompok yang OAE-nya dioptimalkan.

Anggapan banyak pihak bahwa Bedah Epilepsi itu rumit dan perlu banyak pemeriksaan dengan alat-alat canggih, sehingga tidak bisa dilakukan di negara berkembang tidak sepenuhnya benar. Memang ada sebagian kecil EKO, sekitar 20%, yang letak sumber kejang (fokus epilepsi)-nya di otak sulit dipastikan lokasinya, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan EEG tanam (merekam listrik otak secara langsung di permukaan otak). Artinya, 80% pasien EKO akan bisa diketahui lokasi fokus epilepsinya cukup dengan pemeriksaan yang tersedia di Indonesia. Alat yang paling dibutuhkan adalah MRI yang baik (dengan protokol khusus untuk epilepsi), dan Rekaman Listrik Otak atau EEG (Electro Encephalo Graphy). Untuk EEG, selain pemeriksaan rutin 30 menit, sering dibutuhkan EEG Nginap yaitu rekaman selama > 24 jam sampai bisa merekam beberapa kali serangan. Lokasi Fokus Epilepsi bisa diketahui dengan melihat perubahan pada EEG beberapa detik sebelum terjadinya serangan.

 

Perkembangan Bedah Epilepsi di Indonesia

Layanan Bedah Epilepsi adalah sebuah layanan medis spesialistik yang memerlukan kolaborasi teamwork dari beberapa bidang spesialis, khususnya Neurologi, Neurologi Anak, Radiologi, dan Bedah Saraf, ditambah Tim Perawat EEG yang terlatih. Sebelum memutuskan tindakan Bedah Epilepsi, perlu dibahas mendalam hasil-hasil pemeriksaan dari setiap pasien EKO, agar diagnosa dan pilihan tindakan bedah-nya benar-benar tepat dengan harapan hasil yang terbaik.

Bedah Epilepsi dari Indonesia pertama kali diperkenalkan di Semarang (RS Telogorejo) pada bulan Juli 1999, saat Maria Oen (35 th., mulai kejang sejak usia 15 th., serangan kejang 4-5 kali setiap bulan) menjalani Bedah Epilepsi. Paska Bedah Epilepsi, Maria masih sempat mengalami kejang ringan 1-2 kali setahun, tapi kehidupan sehari-harinya mengalami banyak peningkatan. Maria yang sebelumnya cuma bisa membantu kakaknya di sebuah Toko Roti, dia kini sebagai pemilik dan pengelola Bakery dengan 7 orang pegawai.

Semenjak itu, selama 6 tahun berikutnya ada 10-12 ODE kebal obat atau EKO dari berbagai daerah yang dirujuk untuk Bedah Epilepsi di RS Kariadi dan RS Telogorejo di Semarang. Jumlah ini terus meningkat mencapai sekitar 70-80 orang EKO per tahun selama 2018-2020. Meskipun adanya pembatasan saat pandemi Covid-19, sampai Desember 2023 jumlah Bedah Epilepsi di Semarang mencapai total 960 orang. Jumlah ini masih belum ada artinya dibandingkan dengan total sekitar 400.000 EKO yang bisa disembuhkan dengan Bedah Epilepsi.

Evaluasi atas hasil Bedah Epilepsi di Semarang, telah banyak dipublikasikan di banyak jurnal Sains Nasional maupun Internasional. Secara keseluruhan, angka bebas kejang paska operasi mencapai 70,75%, dan sisanya serangan epilepsi berkurang sekitar 70-90%. Bila dibandingkan kelompok yang dioperasi pada usia lebih tua, dengan penderitaan sebagai ODE lebih lama, hasil bebas kejang-nya tidak sebaik kelompok yang dioperasi saat usia lebih muda, dan lamanya sakit epilepsi lebih singkat. Maknanya, bedah epilepsi bukanlah sebuah pilihan terakhir bila semua cara pengobatan lain telah gagal, karena tindakan yang lebih dini memberikan hasil lebih baik.

Baca juga:  Ratusan ODGJ dan Lansia Terlantar Ikut Pemilu, Griya PMI Solo Jadi TPS

Masyarakat awam perlu tahu bahwa Epilepsi Kebal Obat atau EKO adalah ODE yang masih sering kambuh meskipun telah diberikan pengobatan oleh dokter dengan benar ( obat sudah lebih dari 2 macam, kombinasi sudah tepat, dosis sudah sesuai, dan dikonsumsi dengan benar), serta sudah menghindari perilaku yang memicu kekambuhan seperti kelelahan, kurang tidur atau perubahan kebiasaan jam tidur, dan emosi yang tidak terkontrol. Bila di lingkungan sekitar kita, tetangga kita, atau dalam keluarga ada ODE yang masuk kriteria EKO tersebut, dianjurkan untuk segera mencari informasi terkait Bedah Epilepsi melalui berbagai media, termasuk media sosial.

Salah satu informasi yang paling bisa membantu dokter sebelum melangkah ke pemeriksaan Foto MRI atau EEG adalah rekaman video berulang saat pasien mengalami serangan/ kambuh. Bentuk serangan pada seorang ODE biasanya khas dan akan selalu sama, dan akan berbeda dengan ODE lainnya. Bentuk serangan yang khas tersebut, di setiap urutan gerak mata, mulut, wajah, lengan dan tungkainya merupakan informasi berharga bagi dokter untuk menentukan dugaan asal serangan tersebut dari bagian otak yang mana. Serangan epilepsi tidak bisa diketahui kapan akan terjadi, jadi hanya keluarga atau orang terdekat sajalah yang diharapkan punya kesempatan untuk merekam dengan ponsel saat ODE mengalami kambuh.

 

Pengembangan layanan Bedah Epilepsi ke seluruh wilayah Nusantara

Dari data demografi pasien yang menjalani Bedah Epilepsi di Semarang selama kurun waktu 25 tahun terakhir ini, ternyata 40% adalah penduduk Jawa Tengah, tentu ini tidak disebabkan oleh angka Epilepsi yang tinggi di Jawa Tengah, melainkan karena akses yang lebih mudah bagi rakyat Jateng. Pasien lainnya, 40% berdomisili di Pulau Jawa, mulai ujung barat sampai ujung timur, hanya 20% saja mereka yang berdomisili di luar jawa mulai Aceh sampai Papua. Artinya kita mesti mengajak para Spesialis Saraf, Saraf Anak, Radiologi, dan Bedah Saraf di Ibukota Propinsi di luar jawa untuk mulai mengembangkan layanan Bedah Epilepsi ini, demi bisa menolong dan meningkatkan kualitas hidup para EKO di seluruh wilayah Nusantara tercinta ini.

Sejak 2017, kami Tim Bedah Epilepsi di Semarang sudah mulai mengajak beberapa bidang spesialis terkait yang berminat mengembangkan layanan ini, bahkan sampai melakukan supervisi tindakan Bedah Epilepsi di beberapa daerah di luar jawa seperti Pakanbaru, Batam, Medan, dan Makassar. Selain itu juga mengajak para spesialis terkait di beberapa kota besar lain di Jawa seperti Jakarta, Bandung, dan Jogjakarta untuk bekerjasama mengembangkan layanan medis spesialistik ini. Semua ini harus tetap dilakukan dalam bingkai Etika Profesi Medis menolong orang sakit, bukan bisnis mencari cuan, serta dengan menjaga dan memelihara kompetensi tertinggi demi Patient Safety, atau keselamatan pasien. Semoga informasi dalam tulisan ini memberikan pemahaman dan manfaat bagi masyarakat pada umumnya dan keluarga para ODE khususnya, dimanapun domisilinya, di Nusantara tercinta ini. (*)


TERKINI

Rekomendasi

Lainnya