JATENGPOS.CO.ID, – SEMARANG – Banyaknya pekerja seks komersial (PSK) di Bandungan, Ungaran, Kabupaten Semarang, membuat Dewi Setiawati (48), aktivis pembela para PSK membentuk Perkawis (Perempuan Pekerja Wisata), di kampung Kalinyamat Bandungan, Ungaran, kabupaten Semarang.
Perkawis sebagai wadah para PSK untuk mendata, membina, dan menjaga kesehatan para wanita malam di lereng gunun Ungaran itu.
“Kita sebut Perkawis, Perempuan Pekerja Wisata. Istilah lain dari wanita malam di Bandungan ini, khususnya yang ada di kampung Kalinyamat,”katanya saat podcast dengan JatengPos TV, 28 Oktober 2022.
Menurut Dewi, nama pekerja seks komersial lebih manusiawi ketimbang PSK, lonte, atau wanita penghibur. Karena kenyataanya, wanita malam di Bandungan itu bagian dari obyek wisata. Keberadaanyapun dibawah Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang.
“Jadi kita sebut anak-anak malam di sini pekerja wisata, bukan pekerja seks komersial, meski aslinya sama,”tambah Dewi.
Karena dianggap sebagai obyek wisata, maka praktek jual diri di Bandungan bukanlah lokasisasi atau prostitusi yang dilarang Perda. Sehingga tidak bisa dibubarkan dengan alasan apapun.
Apa bedanya dengan prostitusi? Menurut Dewi, jika prostitusi atau lokalisasi itu berada dalam satu komplek yang tertutup. Mangkal di situ. Jual diri di situ. Dan eksekusi di situ. Tapi kalau di Bandungan tersebar tanpa batas.
Para wanita malam itu kos di rumah-rumah penduduk. Atau display di tempat tertentu dengan yang lainya.Lalu dapat panggilan ke sebuah hotel untuk melayani pria hidung belang. Hotelnyapun tersebar di mana-mana bukan dalam satu komplek lokalisasi.
Video Lengkapnya Klik === Jika Malam Minggu, 1000 Wanita Jual Diri di Bandungan
“Maka di sini ada istilah PTL (Petugas Tamu Luar), ya semacam ojek lah ya, yang tugasnya mengantar mbak-mbak ke sebuah hotel tempat tamu memesan,”jelas Dewi lagi.
Dengan kondisi itu, menurut Dewi, justeru keberadaan dunia malam di Bandungan itu dilindungi pemerintah. Sebagai potensi wisata Bandungan, para wanita penghibur itu sebagai aset penting pariwisata. Apa lagi, jumlanya sampai 600 orang pada hari biasa. Kalau malam Minggu atau tanggal merah bisa sampai 1000 orang.
“Itu angka pasca pandemi ini ya. Sebelum pandemi lebih, bahkan bisa 1500 orang kalau malam Minggu. Jumlah yang sangat besar, bahkan mungkin yang saat ini terbesar di Jawa Tengah,”katanya.
Bayangkan, kata Dewi, jika satu cewek semalam dapat satu tamu saja, dengan tarif short time rata-rata Rp 250 ribu, dikalikan 600 atau 1000 anak, maka semalam Bandungan bisa menghasilkan omset wisata Rp 150 juta atau Rp 250 juta. Itu kalau per anak hanya melayani satu tamu.
“Padahal semalam, per anak di Bandungan rata-rata melayani 3 tamu. Jika tarif Rp 250 ribu dikalikan 3 pelanggan dikalikan 600 anak atau 1000 anak, semalam Bandungan bisa tembus Rp 450 juta hingga Rp 750 juta. Angka yang sangat besar,”tegas Dewi.
Yang menarik kata Dewi, dari 1000 orang malam Minggu itu laku semua. Masuk kampung di Bandungan jika malam Minggu mirip pasar malam. Gang-gang penuh tamu. Hotel-hotel dan karaoke penuh.
Pertanyaanya, jika hari biasa ada 600 orang yang mangkal, sedangkan malam Minggu bisa 1000 orang, sisanya yang 400 orang dari mana? Ini yang membuat Dewi sendiri heran. Sekitar 400 wanita yang ikut mangkal di Bandungan itu berasal dari luar Bandungan. Ada buruh pabrik, ibu rumah tangga, mahasiswi, dll.
“Mereka ikut naik ke Bandungan, istilah orang Semarang ikut mremo (cari tambahan uang) di luar profesinya,”kata Dewi lagi.
Buruh pabrik? “Ya,” kata Dewi. Dengan penghasilan yang pas-pasan, mereka terpaksa mencari tambahan. Begitupun ibu rumah tangga dari luar. Belanja yang kurang juga membuatnya mangkal. Oknum mahasiswipun sama. Terpaksa mangkal buat om-om di Bandungan untuk biaya kuliah.
“Ironi memang. Tapi itulah faktanya. Mungkin orang tidak percaya, tapi saya sebagai Ketua Perkawis yang mendampingi mereka tahu siapa diantara mereka,”jelas Dewi.
Bukan sekadar mencari kambing hitam. Alasan ekonomi memang sering menjadi penyebab para kaum hawa tersebut terjun dunia malam. Dari 600 cewek yang memang profesinya jual diri di Bandungan, kata Dewi semua alasanya sama. Mencari uang untuk hidup.
Kata Dewi, mereka umumnya orang tidak punya. Lalu ada masalah keluarganya berakhir cerai. Sementara harus menghidupi anak sendirian. Tidak punya cara lain kecuali menjual diri. Selain hasilnya lebih besar, itu jalan pintas ketimbang buka usaha atau bekerja ikut orang.
“Kalau saya tanya, mereka itu ya sudah pernah mencoba usaha atau bekerja halal, tapi hasilnya jauh dari cukup. Bayangkan ada yang cerai ditinggali 2 anak atau 5 anak sendirian, ya akhirnya cari jalan pintas,”imbuh Dewi. (jan)