JATENGPOS.CO.ID, – SAYA sengaja mengidentifikasi karakter para tokoh dalam serial drama “Gadis Kretek”. Saya cermati sejak awal, dalam lima seri yang hanya tayang di Netflix itu. Saya mencari –selama lima jam nonton serial drama Idonesia yang baru pertama tayang di Netflix Internasional itu– siapa yang seperti saya. Atau seperti mereka. Apanya pun saja. Tentu juga mencermati pabrik-pabrik rokok yang menjadi setting utama drama periodik itu. Karena; duduk persoalan konflik, cinta dan tragedinya, mengalir di balik industri kretek. Di kota M.
Kota M, industri rokok dan tabiat manusia, adalah tiga hal yang berkutat pada serial yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Ratih Kumala, itu.
Saya cari, ada apa di balik tiga hal itu. Kok pada tiga hari setelah tayang perdana, saya dikirimi teasernya oleh Profesor Sutiman, via WA. Tapi baru tiga belas hari kemudian –itu tadi malam, setelah anak saya yang berlangganan Netflix— sudah kumpul bersama, kami nonton.
Profesor Sutiman Bambang Sumitro, ahli Biologi Nano pada Universitas Brawijaya Malang itu, tidak menuliskan apapun dalam WA-nya. Itu biasa di pasca sarjana. Prof Sodiqi, dosen filsafat hukum yang mengajar saya, dulu, saat S2 di Unisma, cukup mengatakan; teori John Locke. Artinya, saya harus belajar itu. Tapi yang saya baca Montesqueiu. Sama-sama tiganya membagi kekuasaan dalam demokrasi; legislatif. eksekutif dan yang ketiga;… ini bedanya; federatif pada teori John Locke –karena tugas mengadili diserahkan eksekutif– sedangkan bagi Montesqueiu adalah yudikatif. Beda. Seru di kelas. Asyiknya, lulusan Utrecht Belanda yang pernah jadi Wakil Ketua MK di zaman Jimly Assiddiqie itu, tidak masalah dibantah. Hanya masalahnya, pada ujian akhir saya; lisan. Tanya jawab langsung. Nderedek. Bagaimana hasilnya?; “A plus”. Itu yang mengantar saya menjadi salah satu lulusan terbaik, hehehe….
Akan halnya Prof Sutiman. Setelah menonton serial yang disutradarai dua anak muda; Kamila Andini dan Ifa Irfansyah itu, saya menangkap pesannya. Pesan holistik, menyeluruh, ialah cara atau kecenderungan Prof Sutiman dalam melihat persoalan. Cara timur. Termasuk pola penelitiannya. Salah satu hasil penelitannya adalah asap nano. Atau nano partikel. Memanfaatkannya, dirokok. Juga ditiupkan ke lubang telinga dan lainnya. Bersamaan dengan balur. Ukuran nano partikel adalah sepermiliar dari sesuatu. Kata Prof Camellia, ukuran itu ibarat bola sepak dibanding planet bumi. Inilah alasannya, mengapa sel bisa ditembus. Saya –walaupun hanya sekrup– mendapat rezeki, menjadi nara coba dan penggembira untuk memanfaatkan hasil penelitiannya itu. Itulah sebabnya, saya rinci dan cermati, pesan apa di balik WA guru besar itu.
Guru besar ini juga membuat ‘kepala saya besar’; memercayai saya memproduksi asap itu, dalam bentuk rokok. Rokok sehat. Bukan yang sekadar dilumuri doa. Atau sekadar ditambah rempah. Ini ilmiah. Hasil penelitiannya yang dilakukan lebih dari 15 tahun, bersama senior yang sangat dihormatinya; Dr Gretha Zahar. Banyak pemikiran Dr Gretha Zahar. Termasuk balur. Sampai tercipta rokok sehat ilmiah ini.
Rokok sehat itu, bahan baku utamanya tetap tembakau. Diolah menjadi anti oksidan. Sesungguhnya tembakau murni memanglah anti oksidan. Itu sebabnya, masa itu, dalam Gadis Kretek, tidak ada yang sakit karena rokok. Setting waktu serial itu masa kolonial sampai sekitar tahun 1965. Industri kretek sedang menuju kedigdayaannya. Sejarah mencatat, kretek mulanya adalah untuk menyembuhkan sakit batuk.
Setelah tembakau diolah dan mampu menjadi anti oksidan, ditambahkan asam amino yang berfungsi sebagai scavenger alias pemulung, bertugas memunguti radikal bebas di dalam tubuh. Lalu dibakar. Asap nanonya yang lembut itulah, meluruhkan radikal bebas. Keren. Seorang wanita dari golongan/trah Brahmana, di Karang Asem, Bali; Ida Ayu Danik Suardhani, fanatik terhadap rokok ini. Dia terserang lupus. Hidupnya demikian lemah di atas kursi roda. Pita suaranya pun hilang. Sampai kemudian dia mengonsumsi rokok itu. Prof Sutiman bersama tim mengajarinya merokok sehat itu. Disambanginya di Bali. Juga dirawat di Rumah Sehat Malang oleh tim. Sembuh. Rumah Sehat yang berada di kompleks Universitas Malang itu, merawat siapapun saja yang membutuhkan. Dengan cara balur. Tentu saja juga dengan asap nano itu; merokok.
Sang Hyang Widi, kata Ida Ayu Danik Suardhani, menyembuhkan dirinya melalui rokok sehat itu. Dia kini sudah naik gunung lagi. Berlari pagi lagi. Dan doyan bercengkerama lagi, karena dia adalah seniman sekaligus pendaki gunung. “Satu kampung di Karang Asem, terutama seluruh keluarga saya, sekarang ikut merokok ini,” kata Mbak Danik, sapaan akrabnya, sambil menghisap dalam-dalam asap nano itu. Persis seperti Dasiyah, putri Pak Idroes (Rukman Rosadi), pemilik imperium kretek merk Gadis pada Gadis Kretek itu. Dasiyah, alias Jeng Yah (Dian Sastrowardoyo), –yang memperjuangkan emansipasinya sebagai peracik saos dan pengelola pabrik milik keluarganya itu– tidak pernah putus menghisap rokok. Dalam-dalam. Menggambarkan keseriusan bekerja dan meracik saos. Di dalam film. Mbak Danik juga tidak pernah putus menghisap asap rokok nano. Dalam dalam. Dalam kehidupan nyata.
Pemikiran Dr Gretha Zahar yang terkait dengan Teknik balur ini, diperdalam melalui riset-riset akademik oleh Prof Sutiman. Mulai balur sampai rokok sehat itu. Tentang rokok sehat, telah lama dibukukan, berjudul; Divine Kretek Rokok Sehat. Ditulis dan kolaborasi para tokoh; Kang Sobary, Fahmi Idris, Kusnanto Anggoro, Ferry Mursidan Baldan, Ratna S, Vicky Burki, Erry Riyana Hardjapamekas, Sinuhun Tedjowoelan, Agus Melaz, FS Soewantoro, dr Subagjo, Ala Lisenko Sulistyono dan lainnya. Prof Sutiman juga rajin menulis buku. Karya terakhirnya; Manfaat Sains Dalam Beragama.
Memproduksi rokok pada masa Gadis Kretek dengan masa sekarang, berbeda. Tapi intriknya sama. Di dalam usaha, ada saja yang licik. Saling mengintip. Saling membunuh. Setidaknya mencoba menghalangi. Oknum aparat dilibatkan. Ada yang melibatkan diri dan menakut-nakuti. Dulu, seperti nasib Pak Idroes di tahun 65-an itu, namanya dimasukkan sebagai “orang dari partai merah” oleh Pak Djagat, kompetitornya yang dekat aparat. Soedjagat selalu kalah dengan Pak Idroes. Ada bunga mawar yang menyiratkan, istri Idroes pun, di masa lajang, disukai Djagat. Tapi luput. Mawar itu menjadi rahasia, yang dikirim Djagat kepada istri Idroes, Roemaisa (Sha Ine Febriyanti). Mawar itu lalu menginspirasi Jeng Yah menjadi bagian dari aroma saos rokok merk Gadis. Rokok ini sukses. Djagat lagi-lagi kalah. Lalu cari jalan pintas, memfitnah. Oleh fitnah Djagat itu, Pak Idroes diciduk aparat. Dipopor bedil. Tewas. Jeng Yah ditahan tanpa pengadilan. Pacarnya bernama Soeraja, yang andal mengurus usaha rokok Pak Idroes, dikawinkan dengan anak Pak Djagat; Purwati.
Masa sekarang, bikin rokok direpotkan oleh aturan yang demikian ketat. Stigma rokok membahayakan –karena sebagian industri memang salah ambil jalan pintas dengan saos-saos kimia— harus disematkan terhadap jenis rokok apapun. Tembakau dari daun talas pun, tetaplah bahaya. Isinya rempah, jinten dan habatussaudah pun, tetap bahaya. Teks pada bungkus diperiksa cermat kata demi kata. Kadang yang ini boleh, yang itu tidak. Tergantung penafsir undang-undang. Butuh waktu yang tidak terukur. Apalagi kalau mencoba protes. Saya butuh dua bulan lebih untuk itu. Yang aman, mengalah sambil terus berusaha. Kebenaran pasti akan menemukan jalannya.
Setiap rokok, di zaman sekarang, harus berlabel bahaya. WHO yang memberi stempel itu. Diikuti semua negara yang terkait. Karena bahaya, harus dikenai pajak. Sigaret putih mesin (SPM), berbandrol 25 ribu, pita cukainya adalah 17 ribu. Hitung sendiri sisanya. Itulah ongkos produksi. Sudah harus ada untung dari sisa itu. Maka, rea reo atau R2 yaitu rokok polos, palsu, salah personalisasi dan peruntukan cukai, marak.
Saya bisa bercerita masalah ini. Karena sedang mengurus produksi rokok. Kalau penulis naskah Gadis Kretek, Tanya Yuson, ingin mendengar situasi sekarang, saya bisa memberi info. Tapi tanpa romansa, seperti asmara Jeng Yah dengan Soeraja (Ario Bayu) yang menyesakkan itu.
Gadis Kretek adalah serial yang menyesakkan dada. Sesak. Tapi keren. sejak mulai tayang 2 November lalu, rata-rata sudah ditonton 1,6 juta jam per minggu. Menyedot penonton Netflix. Masuk paling disukai atau 10 besar di enam negara. Selama ini, di Netflix, saya hanya menunggu serial Lupin. Tapi untuk Gadis Kretek saya borong habis nontonnya. Presentasinya begitu filmis. Saya teringat Teguh Karya dan Garin Nugroho cara memproduksinya. Setidaknya saya kira karya Hanung Bramantyo. Duet sutradara Kamila Andini dengan Ifa Isfansyah menyejajarkan Gadis Kretek dengan film karya tokoh-tokoh besar itu. Dian Sastro dengan Ario Bayu begitu menghayati peran. Tak terkecuali, bonus dua kali kissing, di kamar Jeng Yah dan di stasiun (stasiun Tuntang, Mantingan/Ambarawa), risih disaksikan anak-anak.
Nama besar lainnya adalah Nungki Kusumastuti, Tutie Kirana, Putri Marino, Arya Saloka, Tissa Biani, Sheila Dara, Verdi Solaiman, Ibnu Jamil, Winky Wiryawan dan Dimas Aditya. Ada Prit Timothy, berperan sebagai Soeraja tua. Agak memaksa, karena Soeraja muda dimainkan Ario Bayu. Kurang nyambung secara postur maupun wajahnya. Untungnya mainnya tidak jelek. Sederet artis papan atas ini, mampu memunculkan tabiat lakon dalam karakter tokoh-tokohnya.
Sayangnya saya masih penasaran, siapa yang seperti saya dalam lakon itu. Namun begitu, saya menjadi mengerti maksud WA Prof Sutiman. Beliaupun tentu telah mengerti langkah saya. Bahwa saya menjalankan tugas itu adalah untuk ikut berupaya, supaya orang merokok tidak lagi bahaya. Bahkan menyehatkan. Maka prosesnya juga harus sehat. Kalau pun agak pelan, adalah karena pihak ketiga. Para senior di balik rokok sehat ini; Ibu Tintrim Rahayu, dr Subagjo, Pak Kan Eddy, dr Tirta, dr Saraswati, Mas Hediko, Pak Gunawan dan lainnya, memahfumkan semua langkah. Seperti musik blues, ritmenya menggiring dan terus menanjak. Tidak seperti sountrack Gadis Kretek. Walaupun apik diaransemen sekaligus dinyanyikan Nadin Amizah, tetap saja; Surya Tenggelam.
Tidak ada teka-teki lagi. Kota M, pasti bukanlah Malang. Walaupun Malang juga punya sejarah Panjang industri rokok. Karena stasiun Tuntang di serial itu, dan scene yang melintas di Museum Kretek Kudus, menjawab; kota M adalah Mantingan.
Satu-satunya penasaran tinggal ini; siapa tokoh dalam serial itu yang seperti Pak Jokowi? Tapi juga, siapa sih yang penasaran? Penasarannya apa? Kan penasarannya justru kepada pertanyaan; apa hubungan Pak Jokowi dengan serial itu? Penasaran!!!
Malang, 19 November 2023
*IMAWAN MASHURI, mantan Ketua Persatuan Artis Film Indonesia Jatim, Founder Arema Media Group, JTV dan beberapa media di Indonesia*