Keuangan BUMN Mulai ‘Berdarah-darah’, Dipaksa Mengerjakan Proyek Infrastruktur

Ilustrasi.

JATENGPOS.CO.ID, JAKARTA  – Pemerintahan era Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) sejak awal mendorong proyek-proyek infrastruktur, seperti pembangunan pelabuhan, listrik hingga jalan. Bahkan dalam Perpres 58 Tahun 2017, pemerintah menetapkan 245 proyek strategis nasional (PSN).

Dari 245 PSN tersebut, 151 di antaranya merupakan proyek infrastruktur. Banyaknya proyek tersebut sebagian besar juga digarap oleh para BUMN karya.

Proyek-proyek tersebut tentu menjadi pekerjaan rumah dan beban bagi para BUMN karya. Namun di sisi lain menjadi berkah tersendiri lantaran banyaknya proyek yang digarap.

Dalam laporan keuangan para BUMN karya yang melantai di pasar modal, seperti PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP) yang mengantongi laba bersih Rp 989,9 miliar, naik 74,7% dari Rp 566 miliar. Pendapatan usaha juga naik 27,4% dari Rp 10,8 triliun menjadi Rp 13,76 triliun.


Lalu PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), laba bersihnya naik 46,66% dari Rp 465,46 miliar jadi Rp 682,64 miliar. Penjualan bersih juga naik 69,99% jadi Rp 15,88 triliun dari Rp 9,34 triliun.

PT Waskita Karya Tbk (WSKT) berhasil mengantongi laba bersih Rp 2,57 triliun, naik 137,9% dari Rp 1,08 triliun. Pendapatan usaha Rp 28,5 triliun, naik 50% dari Rp 14 triliun.

Sedangkan PT Adhi Karya Tbk (ADHI) memperoleh laba bersih Rp 205,07 miliar, naik 78% dari Rp 115,18 miliar. Pendapatan usaha juga naik 53% jadi Rp 8,7 triliun dari Rp 5,69 triliun.

Namun peningkatan laba bersih itu tidak dibarengi dengan cash flow yang sehat. Seperti PTPP arus kas bersih dari aktivitas operasi masih minus Rp 1,52 triliun. Hal itu lantaran pembayaran kas kepada pemasok dan sub kontraktor lebih besar yakni Rp 11,8 triliun dibanding penerimaan kas dari pelanggan sebesar Rp 11,7 triliun.

Rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio/DER) PTPP juga saat ini sebesar 1,8 kali, dengan jumlah liabilitas Rp 22,8 triliun dan jumlah ekuitas Rp 12,49 triliun.

Sementara total arus kas untuk aktivitas operasi ADHI minus Rp 3 triliun. Total arus kas penerimaan Rp 6,87 triliun sementara total arus kas pengeluaran lebih besar yakni Rp 9,9 triliun.

DER ADHI juga cukup tinggi yakni 3,4 kali. Adapun jumlah liabilitasnya sebesar Rp 18,8 triliun dan jumlah ekuitasnya Rp 5,55 triliun.

Arus kas bersih untuk aktivitas operasi WIKA juga masih minus Rp 2,69 triliun. Penerimaan kas dari pelanggan hanya Rp 9,8 triliun namun pembayaran kepada pemasok sebesar Rp 11,5 triliun.

DER WIKA saat ini 2 kali dengan jumlah liabilitas sebesar Rp 26,87 triliun dan jumlah ekuitas sebesar Rp 13,17 triliun.

Begitu pula dengan WSKT yang arus kas bersih untuk aktivitas operasinya minus Rp 5 triliun. Penerimaan kas dari pelanggan Rp 14,24 triliun sedangkan pengeluaran kas pada pemasok sebesar Rp 16,55 triliun.

Sementara DER WSKT saat ini 2,9 kali dengan catatan total liabilitas sebesar Rp 65,7 triliun dan total ekuitas sebesar Rp 21,9 triliun.

Sekretaris Kementerian BUMN periode 2005-2010, Said Didu, fenomena itu terjadi lantaran gencarnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan BUMN dalam rangka penugasan, namun tak dibarengi dengan kesiapan keuangan yang memadai.

Menurut catatan pemerintah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya cukup menanggung sekitar 7% dari total kebutuhan biaya pembangunan infrastruktur.

Sementara, sisanya harus ditanggung BUMN yang mendapat penugasan. Akhirnya, beban keuangan pada BUMN yang bersangkutan menjadi tinggi. BUMN harus mencari sumber-sumber pendanaan baru lewt berbagai skema, dari mulai pinjaman perbankan, pasar modal hingga obligasi.

“Pelaksanana proyek BUMN juga kan harus berbasis keekonomian, tidak bisa ditugaskan. Sekarang persoalannya itu kan pasti jangka panjang akan terjadi,” katanya, Jumat (8/12).

Hal itu, kata Said Didu, bakal meningkatkan rasio utang terhadap ekuitas alias debt to equity ratio (DER) pada perusahaan BUMN. Makin tinggi DER maka makin tinggi beban utang yang harus ditanggung perusahaan, dan bisa menurunkan kemampuan perusahaan untuk melunasi utangnya.

Di sisi lain, aset-aset yang dibangun belum bisa diandalkan untuk memberikan pemasukan pada keuangan perusahaan namun sudah ada penugasan lain yang menanti untuk dikerjakan dan butuh pendaan lebih besar lagi sehingga membuat BUMN-BUMN Karya atau BUMN Konstruksi mulai ‘berdarah-darah’ melakukan pembangunan infrastruktur.

“DER pasti akan naik, karena dia (BUMN) kan pasti tambah utang. Naik semua, itu jangka panjang kelihatannya,” tambah dia.

Untuk itu, menurut Said Didu, pemerintah harus mulai mewaspadai kondisi ini karena dalam jangka panjang, dampaknya akan mulai terlihat.

“Kalau saya melihat ini akan kelihatan nanti 3-4 tahun kemudian. Ini sekarang masih laba karena cash-nya masih ada. Yang terasa kalau cash-nya terganggu,” tandas dia.

Bagaimana jalan keluarnya?.Said Didu punya saran bagi pemerintah agar keuangan BUMN Karya yang mulai berdarah-darah tidak semakin buruk dan bisa dipulihkan.

“Saran saya sih, jangan semua proyek sekarang dikerjakan, fokuskan pada proyek agar selesai sehingga ada revenue segera,” katanya.

Dengan cara tersebut, BUMN pelaksana pembangunan bisa segera memperoleh pemasukan untuk menyelesaikan kewajibannya seperti pembayaran utang pinjaman, hingga membayar jasa sub kontraktor dan keperluan lainnya.

“Kalau selesai semua 70% kan enggak bisa ada revenue, tapi kalau dibatasi sebagian dan diselesaikan maka itu lebih cepat ada revenue kan. Untuk proyek yang masih rencana mending tahan dulu,” sambung dia.(dtc/udi)