JATENGPOS.CO.ID, SOLO – Komisi C DPRD Jateng meminta pengelola Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) di Jateng mampu mewujudkan dana cost recovery melebihi 100%. Disamping itu meningkatkan kualitas pelayanan yang lebih baik dibanding rumah sakit swasta.
Ketua Komisi C DPRD Jateng Asfirla Harisanto mengatakan selama ini RS milik pemprov belum mampu merealisasikan pendapatan melebihi seluruh pengeluaran. Selama 10 tahun terakhir, lanjut Bogi, sapaan akrab Ketua Komisi C, cost recovery tertinggi masih dibawah 85%.
“Nah, dari paparan tadi, keduanya (RSUD Moewardi dan RSJD Arif Zainudin) tidak melaporkan belanja obat dan penjualannya, tolong dijelaskan,” ujar legislator PDI Perjuangan itu, saat monitoring kinerja RSUD dr Moewardi dan RSJD dr Arif Zainudin, di Kota Surakarta, Jumat (7/2).
Senada, Anggota Komisi C Nur Khabsin menyayangkan pihak manajemen maupun kinerja RS milik provinsi tidak mengalami peningkatan sama sekali setelah menjadi BLUD. Bahkan tiap tahun terjadi defisit. Juga, tidak benar setiap tahun harus ada bantuan APBD karena berapa pun PAD yang disumbangkan akan kembali (in-out) pada BLUD lagi.
“Jadi, tolong jelaskan faktor-faktor yang menyebabkan defisit Rp 170 miliar itu di posisi apa dan berapa kontribusi (rasio perbandingannya) dari pasien BPJS dan Non BPJS,” tandasnya.
Ia juga mendesak kajian ulang yang serius terhadap rencana pendirian instalasi nuklir, mengingat biayanya sangat besar, membutuhkan paramedis yang ahli lebih banyak. Apalagi, potensi pendapatannya belum jelas. Terkait RSJD Arif Zainudin, Nur Khabsin menyatakan penyesalannya karena belanjanya maupun pendapatannya semuanya rendah.
“Namun, tidak ada data tentang kendala, jadi kenapa bisa rendah? Bandingkan dengan RS swasta, yang tanpa APBD tetap jalan bahkan berkembang pesat,” tanyanya.
Anggota Komisi C dari Fraksi PKB, Moh Budiyono, melihat pengeluarannya lebih banyak ketimbang pendapatannya. Tapi tidak ada data rinci hasil pemanfaatan aset-aset lain seperti lahan parkir, warung makan bahkan fasilitas Anjungan Tunai Mandiri (ATM).
Ia ikut mempertegas RS pemprov itu membangun apa saja dibiayai APBD bahkan kadang ada Dana Alokasi Khusus (DAK), seharusnya kualitas layanannya lebih baik ketimbang swasta dan kinerja keuangannya surplus. Terkait RSJD, legislator itu mengapresiasi berkurangnya pasien yang mencapai 50%.
“Namun, tidak ada penjelasan hal itu karena pasien mengalami kesembuhan atau pindah ke tempat lainnya seperti pengobatan alternatif,” ujarnya santai.
Sedang dua srikandi Komisi C Nurul Hidayah (Fraksi PPP) dan Padmasari Mestukajati (Fraksi Golkar) menyoal apakah RS mengalami kesulitan akibat pembayaran BPJS tidak tepat waktu seperti dialami RS swasta. Kedua, dengan penambahan layanan di RSJD layaknya RS umum, apakah dipastikan bisa menambah pasiennya mengingat ada stigma ‘gila’ (kejiwaan) di RSJD.
Sebelumnya, Dirut RSUD Moewardi Cahyono Hadi memaparkan panjang lebar tentang profil hingga kinerja RS yang baru dipimpinnya sejak Desember tahun lalu.
“Pendapatan tahun 2019 Rp 682,75 miliar, namun total pengeluaran lebih tinggi mencapai Rp 830,61 miliar sehingga cost recovery total hanya 82,2 persen,”paparnya sambil mengatakan kesiapannya memberikan jawaban tertulis terhadap seluruh pertsnyaan Komisi C.
Hal yang sama dikemukakan Dirut RSJD yang juga baru menjabat sebulan, Endro Prayitno. Ia menjelaskan bahwa realisasi pendapatan RS yang dipimpinnya selama 2 tahun berturut-turut adalah Rp 30,99 miliar (88,55% target) dan Rp 29,47 miliar (80,75%). Adapun realisasi penggunaan anggaran tahun lalu Rp 134,14 miliar.(adv/ud)