JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG – Komisi C DPRD Jateng minta kualitas dan pelayanan perbankan milik Pemperintah Provinsi Jawa Tengah ditingkatkan. Pasalnya, saat ini persaingan yang ketat dan pesatnya perkembangan digitalisasi layanan perbankan. Sebagai langkah untuk mewujudkan dorongan itu, Komisi C pada Jumat (31/1), mendatangi PT Bank Pembangunan Daerah Jabar dan Banten (Terbuka) yang lebih dikenal dengan Bank Jabar Banten (Bank BJB).
Dipilihnya lembaga perbankan itu karena memiliki keunggulan terutama dalam hal digitalisasi layanan perbankan. Rombongan diterima oleh Kabag BUMD Lemkeu Biro BUMD dan I Estasi Setprov Jabar Andrie Kustria Wardana dan Pimpinan Divisi Corporate Secretary Bank BJB M Asadi Budiman beserta jajarannya.
Ketua Komisi C DPRD Jateng Asfi rla Harisanto menyatakan Bank BJB merupakan Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang tumbuh besar menjadi bank nasional dengan 2.722 jaringan kantor yang mencakup kota-kota besar di seluruh Indonesia. Hebatnya lagi, aset Bank BJB sudah terbesar keempat dari 118 bank nasional (2019).
“Saya kaget mengetahui jumlah kantornya begitu banyak, termasuk di Jateng. Selain itu juga sudah terbuka (go public) sehingga tempat yang tepat untuk belajar,” jelas legislator PDI Perjuangan itu saat memimpin studi banding Komisinya.
Sejumlah anggota Komisi C aktif menghidupkan diskusi, di antaranya Nurul Hidayah (F-PPP), Maria Tri Mangesti (F-PDI), Siti Rosyidah (F-PKB), Mustholih (F-PAN), Riyono dan Budi Margono (F-PKS).
Mereka menyoal apakah Pemprov Jabar masih pemegang saham pengendali dengan 38 persen saham saja; apakah rasio kredit bermasalahnya terkendali; bagaimana unit syariah di BJB; komposisi kredit konsumtif dan sektor produktif hingga peran Biro BUMD dan Investasi (Biro Perekonomian di Jateng) dalam pengawasan Bank BJB paska IPO. Menanggapi Komisi C, Andrie maupun Adi secara bergantian menjelaskan secara panjang lebar.
Andrie mengistilahkan Bank BJB itu seperti bukan BUMD tetapi BUMD.
“Ini menjawab semuanya. Bukan BUMD karena saham Pemprov tidak lagi 51 persen (melainkan 38,18 persen setelah IPO). Tetapi (masih) BUMD karena semua proses di Bank BJB masih mrmakai Perda. Jadi ya seperti itulah,” simpulnya.
Terkait pengawasan Bank BJB paska IPO, tambah Andrie, relatif lebih mudah terutama karena sekarang yang mengawasi Bank BJB banyak.
“Pengawasan bank itu paling rigid, apalagi setelah IPO masyarakat luas juga ikut melakukan pengawasan,” simpulnya.
Sedangkan Adi menambahkan, konsekuensi Bank BJB melakukan IPO (Initial Public Offering/Penawaran Saham Perdana) atau masuk bursa salah satunya menambah karyawan dan memperluas jaringan sebagai bukti penggunaan dana hasil IPO. Saat ini mencakup 2.722 kantor melipiti 8.335 karyawan di seluruh Indonesia.
“Dibanding sebelum IPO jaringan hanya di Jabar dan karyawan sekitar 1.800-an,” jelasnya.
Namun kini strategi BJB, lanjut dia, bukan menambah kantor melainkan mendekatkan layanan dengan meningkatkan fungsi teknologi informasi. Bank BJB hingga kini, lanjut Adi, telah menginvestasikan sekitar Rp 800 miliar untuk infrastruktur maupun layanan digital. Terakhir nanti Februari paling lambat Bank BJB akan meluncurkan BJB Digi, dengan penambahan fi tur pembayaran dengan QR Code.
“Termasuk inovasi layanan e-Tax untuk penyetoran Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan & Perkotaan (PBBP2),” ujarnya.
Mayoritas saham Bank BJB, yakni 75,36 persen masih dipegang oleh Pemerintah (Pemprov Jabar, Banten serta Pemkab/Kota Jabar dan Banten). Yang dikuasai masyarakat, jelas Adi, hanya 24,64 persen.
“Adapun PSP (pemegang saham penhendali) tetap Pemprov Jabat dengan 38,18 persen,” ujarnya.
Adapun kinerja keuangan Bank BJB per September 2019 tercatat aset Rp 123,560 triliun, dana masyarakat Rp 98,442 triliun, kredit Rp 87,049 triliun dan laba (kotor) Rp 1,456 triliun.
“NPL (rasio kredit bermasalah) terkendali, hanya 1,75 persen,” Adi menutup dialog.(adv/udi)