JATENGPOS.CO.ID, JAKARTA – KPK tidak dapat memenuhi permintaan pemerintah dan DPR mengenai rumusan tindak pidana korupsi (Tipikor) dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dalam bentuk pidana pokok (core crime).
Hal itu sudah disampaikan KPK melalui surat tertanggal 4 Januari 2017 kepada Presiden Joko Widodo dengan menyampaikan sejumlah alasan.
“Setelah dilakukan kajian lebih mendalm, kami berada pada satu kesimpulan bahwa KPK tidak dapat memenuhi permintaan pemerintah dan DPR mengigant adanya kepentingan bangsa yang lebih besar dan keberpihakan pada kemaslahatan rakyat Indonesia dalam melakukan pemberantasan korupsi,” demikian disampaikan Ketua KPK Agus Rahardjo dalam surat yang diperlihatkan di Jakarta pada Minggu.
Menurut KPK, tidak semua UU khusus yang berada di luar KUHP harus diintegrasikan dalam proyek kodifikasi, apalagi karakter kekhususannya terletak pada kebutuhan untuk beradaptasi atau merespon kejahatan yang perekmbangan modus, struktur dan jaringannya semakin kompleks dan cepat berubah.
“KPK meyakini, tipikor yang diintegrasikan dalam skema kodifikasi dalam RUU KUHP akan menghilangkan kekhususan yang telah diatur dalam Tipikor dan melebur dalam tindak pidana umum (tipidum),” kata Agus.
KPK pun mencantumkan setidaknya 10 karakteristik menonjol tipikor yang berbeda dengan tindak pidana lainnya yaitu (1) tipikor dirumsukan secara formal dan bukan materiil sehingga pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan penuntutan pidana terhadap terdakwa dan hanya sebagai faktor meringankan, (2) dicantumkannya pengaturan korporasi sebagai subjek hukum Selanjutnya (3) pengaturan pembuktian terbalik terbatas atau berimangan (balanced burder of proof), (4) adanya pengaturan ancaman pidana minimum dan maksimum, (5) terdapat pidana mati sebagai unsur pemberatan, (6) adanya pengaturan penyidikan gabungan perkara tipikor yang sulit pembuktiannya di bawah koordinasi Jaksa Agung.
Kemudian (7) dicantumkannnya pengaturan tentang penyidikan ke dalam rahasia bank yang lebih luas diawali dengan pembekuan rekening tersangka/terdakwa dilanjutkan penyitaan, (8) adanya pengaturan peran masyarakat sebagai kontrol sosial dengan disebutkannya perlindungan hukum sebagai saksi pelapor, (9) memuat ketentuan mengenai pegwai negeri yang lebih luas dibanding peraturan lain dan (10) memuat pidana tambahan yang lebih luas dibanding dalam KUHP.
“Keinginan pemerintah dan DPR melakukan kodifikasi terhadap ketentuan pidanna di luar KUHP disatukan dalam RUU KUHP merujuk pada UU hukum pidana Belanda, tapi apakah pernah pemerintah dan DPR membendingkan kondisi korupsi yang terjadi di Indonesia dengan kondisi korupsi di Belanda? Tentu tidak, korupsi di Belanda tidaklah bersifat masif seperti di Indonesia,” tambah Agus.
Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Belanda adalah 87 sedangkan Indonesia baru 36 dengan rentang 0-100, 0 dipersepsikan sangat korup dan 100 sangat bersih.
Apalagi saat ini di dunia setidaknya ada 30 negara yang telah mengatur khusus pembentukan lembaga antikorupsinya dalam konstitusi sehingga menurut KPK, tipikor dimasukkan dalam buku II RUU KUHP telah bertentangan dengan politik hukum, perkembangan kondisi serta kebutuhan bangsa dan negara saat ini. (hfd/ant)