JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG – Tim kurator dalam proses kepailitan PT Citra Guna Perkasa (CGP), diketahui telah melakukan penjualan bawah tangan terhadap aset Hotel Tonotel yang terletak di Jalan Anggrek I, Semarang, kepada pembeli berinisial PS.
Padahal, Hotel Tonotel yang berdiri di atas dua bidang tanah, bukan merupakan aset atas nama PT Citra Guna Perkasa melainkan aset atas nama pribadi milik AH, pengusaha di Kota Semarang.
Kuasa hukum AH, Dias Saktiawan mengatakan, lahan dan bangunan berupa Hotel Tonotel yang hendak dieksekusi tim kurator dikarenakan kliennya menjadi penjamin atas pinjaman hutang PT Citra Guna Perkasa, pada lembaga perbankan.
“Dia (AH–red) itu menjaminkan aset pribadinya untuk PT CGP. Tapi Edward sendiri saat ini dipenjara atas kasus kredit macet di Bank Mandiri. Adapun PT CGP sendiri dipailitkan karena masih ada sejumlah hutang lain,” kata Dias, Kamis (15/4/2021).
Rencana eksekusi diketahui dari surat pemberitahuan pengambilalihan administrasi dan penguasaan fisik harta pailit yang dikirimkan ke manajemen Hotel Tonotel.
Dalam suratnya, dilampirkan juga surat penetapan hakim pengawas Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri (PN) Semarang No. 22/Pdt.Sus-Pailit/2018/PN Niaga Smg.
Dias menuturkan, Hotel Tonotel dan lahan lainnya atas nama pribadi AH tidak dapat serta merta di ambil alih apalagi oleh kurator karena aset tersebut diduga masih ada kaitannya dengan permasalahan hukum yang menjerat rekan bisnis kliennya yang bernama Edward Setiadi. Terlebih lagi, telah ada upaya mediasi yang dilakukan di Polrestabes Semarang terkait eksekusi tersebut.
“Kami mendapatkan informasi, saat ini ada proses mediasi yang difasilitasi Polrestabes Semarang. Kami harap mediasi itu dihormati dan diikuti semua pihak. Agar ada kejelasan hukum sehingga dapat meminimalisir tindakan-tindakan yang berujung pada aksi premanisme seperti kegiatan eksekusi lahan di tempat-tempat yang lain,” ucap Dias.
Kejelasan hukum yang dimaksud Dias, yaitu terkait status Hotel Tonotel itu sendiri. Selain dugaan adanya kaitan dengan sengketa lain, Hotel Tonotel juga telah dijual oleh tim kurator. Menurutnya, jika sudah dijual, maka hak untuk mengeksekusi atau mengambil alih aset bukan lagi oleh tim kurator tapi pembeli yaitu PS.
“Penjualan itu dilakukan apa adanya sehingga pembeli juga harus menyelesaikan segala sesuatu yang berkaitan dengan Hotel Tonotel. Kami menduga ada kesewenang-wenangan yang dilakukan kurator karena eksekusi itu di luar kewenangan kurator terhadap aset yang telah terjual,” jelasnya.
Tak hanya itu saja, katanya, tim kurator tidak pernah melakukan inventarisasi barang yang ada di dalam hotel tersebut. Padahal, hingga kini masih ada aktivitas dan berbagai barang milik orang lain di dalamnya.
“Lahan Hotel Tonotel ini juga masih dalam pemblokiran oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional–red) karena ada sengketa. Setidaknya itu harus jelas dan clear dulu. Bagaimana mungkin lahan yang diblokir itu bisa dijual?” herannya.
Atas upaya eksekusi di luar kewenangan tersebut, tim kuasa hukum AH dari kantor Massudllawe & Partners, Agus Wijayanto telah mengirimkan permohonan perlindungan hukum kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah dan Kejari Kota Semarang.
Dalam suratnya, AW, sapaan Agus Wijayanto, menyebutkan aset berupa lahan dan bangunan Hotel Tonotel masih dalam sengketa perdata perkara nomor 2/Pdt.Sus G lain lain/2021/PNSmg jo. No. 22/Pdt.Sus-Pailit/2018/PN.Smg dan dua gugatan perdata lainnya.
“Aset-aset tersebut sangat dimungkinkan juga akan menjadi obyek pengembangan penyelidikan atau penyidikan tindak pidana korupsi (Tipikor) oleh penegak hukum yang diduga dilakukan Edward Setiadi, di mana perkara pokoknya telah divonis dan berkekuatan hukum tetap pada PN Semarang,” tambah AW.
Perlu diketahui, mantan bos PT Citra Guna Perkasa, Donny Iskandar Sugiyo Utomo alias Edward Setiadi, divonis bersalah dalam kasus korupsi KPR Bank Mandiri Cabang Semarang oleh hakim Pengadilan Tipikor Semarang. Ia divonis 7 tahun penjara.
Ketua majelis hakim Arkanu, menyatakan Erward Setiadi terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana tuntutan jaksa yaitu melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (sgt)