JATENGPOS.CO.ID, SOLO – Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta Hadiningrat berupaya meluruskan sejarah terkait Perjanjian Giyanti dan Jatisari, yang merupakan cikal bakal munculnya dua keraton, yakni Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Keraton Kasultanan Yogyakarta. Adapun hal yang diluruskan khususnya stigma Paku Buwono II dan III pro Belanda sebagai ekses dari terjadinya dua perjanjian tersebut.
Ketua LDA Keraton Surakarta Hadiningrat, GKR Wandansari mengatakan, ia bersama tiga pemerhati sejarah. Yakni Ketua Solo Societeit, Dani Saptoni; Dosen Akademi Seni Mangkunegaran, Widodo Ariwibowo; dan Sentono Dalem Keraton Surakarta, RM Restu B Setiawan sebagai tim telah melakukan kajian terkait Perjanjian Giyanti dan Jatisari. Hasilnya, ada beberapa hal yang perlu diluruskan, khususnya mengenai pembagian dua wilayah keraton.
“Kami mencari kebenaran apakah benar (Keraton) Mataram dibagi menjadi dua melalui dokumen-dokumen sejarah yang ada. Termasuk naskah Perjanjian Giyanti koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Harapannya, kajian ini semoga menjadi pintu kebenaran sebenar-benarnya tentang perjalanan Kerajaan Mataram,” jelasnya.
Ia menambahkan, salah satu temuan yang harus menjadi lurusan sejarah, adalah dalam Perjanjian Giyanti baik Pakubuwono (PB) II maupun III tidak terlibat di dalamnya. Karena yang bertandatangan di dalamnya adalah pihak Kumpeni Belanda yang diwakili Nikolas Harting dengan Pangeran Mangkubumi, yang selanjutnya melalui perjanjian tersebut oleh Belanda diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana (HB) I. Sehingga Keraton Yogyakarta sejatinya didirikan atas pemberian Belanda.
“Ini yang harus diluruskan, sebab banyak yang terlanjur menganggap Pakubowno II dan II yang memecah Mataram melalui Perjanjian Giyanti. Padahal faktanya bukan seperti itu, karena di Perjanjian Giyanti sendiri yang terlibat hanya Belanda dengan Mangkubumi. Justru PB III menjadi penengah sehingga muncul Perjanjian Jatisari,” papar Gusti Moeng, sapaan akrabnya.
Sehingga ia menyayangkan jika selama ini masih banyak yang membangun opini jika Keraton Yogyakarta berstatus istimewa, sedangkan Keraton Solo tidak, karena Keraton Solo pro Belanda. Sebab faktanya, justru Keraton Yogyakarta yang merupakan negara pemberian Belanda berdasarkan Perjanjian Giyanti. Sedangkan Keraton Solo merupakan kerajaan berdaulat yang tidak masuk jajahan Belanda.
“Jadi meluruskan kata-kata anggapan Surakarta Pro Belanda, karena faktanya yang memberikan tahta Jogja itu justru Belanda,” tutupnya. (jay/bis/rit)