JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG – Lebih dari 4 dekade Congrock 17, band yang didirikan pada 17 Maret 1983 dan dikenal dengan genre musik keroncong yang dipadukan dengan berbagai genre lain, mampu mempertahankan karya musikalitas hingga saat ini.
Congrock 17 tidak hanya kaku dalam tradisi, band idola lintas generasi ini sering memadukan musik keroncong dengan genre seperti rock, jazz, dan lainnya.
Hari Djoko, salah satu inisiator Congrock 17 mengatakan, terbentuknya band ini berawal dari kumpulan mahasiswa dengan hobi bermusik di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang.
“Pada tahun 1980-an, musik keroncong kurang diminati anak muda. Kami mencoba menggabungkan keroncong dengan selera musik anak muda,” katanya di sebuah Cafe, belum lama ini.
Dijelaskan, bermula band ini bernama Keroncong Remaja 17. Namun, karena sering memadukan keroncong dengan rock, nama band tersebut berubah menjadi Congrock 17. Angka 17 di belakang nama band menandakan asal mereka dari kampus Untag Semarang, sebagai bentuk penghormatan terhadap tempat berkumpulnya.
“Walau berani memadukan keroncong dengan genre lain, Congrock 17 sempat mendapat protes dari masyarakat saat pertama kali muncul. Saat itu ada banyak pro-kontra. Kami disebut merusak keroncong karena memadukan dengan dengan genre lain. Padahal misi kita ingin membaur dengan lagu remaja saat itu dengan harapan agar anak-anak remaja suka keroncong,” terangnya.
Meskipun menghadapi cacian, Congrock 17 tetap fokus melahirkan karya dan mempertahankan musik keroncong yang mereka cintai. Berkat konsistensi ini, Congrock 17 mulai mendapatkan tempat di hati masyarakat Semarang. Pada tahun 1995, mereka berhasil menggelar tur konser ke luar negeri, termasuk ke Belanda, Suriname, dan Malaysia.
“Kami meninggalkan Tanah Air selama sekitar satu bulan, membawakan musik Jawa di sana. Dari situ, banyak orang yang mulai mengenal dan tertarik dengan grup kami,” tandas Hari.
Senada, dikatakan Marco Manardi salah satu punggawa Congrock 17 adalah inovasi dalam setiap karya musik yang diciptakan.
“Selama 40 tahun berkarya, salah satu kunci kesuksesan Congrock 17 adalah inovasi dalam setiap karya, kalau keroncong mau maju, ya harus menyesuaikan zaman. Kalau zaman sekarang tapi kita masih pakai model zaman dulu, kita akan tertinggal,” tandas.
Congrock 17 telah melahirkan 20 lagu dan sering melakukan cover atau aransemen musik.
Marco berharap Pemerintah Kota Semarang dapat memperhatikan perkembangan industri musik di daerah ini, agar musisi dan seniman lokal bisa berkembang di kancah nasional dan internasional.
“Jika mungkin, Kota Semarang perlu memiliki studio rekaman seperti yang ada di Solo. Meskipun banyak panggung, penting bagi pemerintah untuk mendukung musisi Semarang dalam berkarier di musik,” tutup Marco Manardi. (ucl)