Mengadopsi Kecerdasan Buatan dalam Pembelajaran Bahasa Inggris

Anita Utami

Sejak kelahirannya pada awal dekade 1950-an, kecerdasan buatan telah mewarnai dunia dengan berbagai kemudahan. Mengutip IBM.com (2020), kecerdasan buatan secara sederhana dapat didefinisikan sebagai perpaduan antara ilmu komputer dengan himpunan data. Perpaduan ini, kemudian, dapat digunakan sebagai peranti untuk memecahkan berbagai masalah. Google Earth dan Google Maps adalah dua contoh kecerdasan buatan yang umum digunakan oleh berbagai kalangan. Lantas, apakah kecerdasan buatan dapat diterapkan dalam pembelajaran?

Jika digunakan dengan baik, kecerdasan buatan berpotensi membantu guru meningkatkan kualitas pembelajaran. Alasannya, kecerdasan buatan dapat membantu guru dan murid mendapatkan informasi yang dibutuhkan, menciptakan konten pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan gaya belajar, serta memungkinkan terjadinya pembelajaran yang terdiferensiasi (Harper, 2021).

Secara empiris, penjajakan potensi kecerdasan buatan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bukanlah hal baru. Sebagai contoh, Lamb & Johnson (2010) menyatakan bahwa Google Earth dapat digunakan untuk mengajak murid melakukan penjelajahan global untuk mempelajari bahasa, budaya, geografi dan sejarah. Melalui ekspedisi virtual via Google Earth, murid dapat mengamati dan mempelajari berbagai hal dari suatu tempat tanpa harus meninggalkan ruang kelas.

Dalam konteks pembelajaran bahasa, Chen, dkk. (2020) menggunakan Google Earth untuk meningkatkan keterampilan menulis murid. Dalam penelitian tersebut, murid diminta untuk menyusun teks eksposisi berdasarkan perjalanan virtual via Google Earth. Hasilnya, perjalanan virtual terbukti meningkatkan keterampilan menulis peserta didik secara signifikan, khususnya dalam hal mendeskripsikan, menunjukkan sebab akibat, membandingkan dan menyebutkan jumlah. Selain itu, hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa murid menunjukkan ketertarikan dan sikap belajar yang positif saat belajar menggunakan Google Earth.

Belajar dari penelitian-penelitian tersebut, kecerdasan buatan dalam bentuk Google Earth dan Google Maps digunakan di SMP Negeri 2 Salatiga untuk meningkatkan keterampilan menulis descriptive text bagi murid kelas VIII. Masih di tengah pandemi, pada semester gasal tahun pelajaran 2021-2022 lalu, kedua aplikasi ini disematkan dalam pembelajaran bauran (blended learning) untuk membantu murid memvisualisasikan berbagai tempat di dunia tanpa meninggalkan rumah dan ruang kelas.

Dalam pelaksanaannya, pembelajaran dibagi ke dalam tiga tahap. Pada tahap daring sinkron, murid mendapatkan penjelasan umum terkait materi via Zoom. Tahap ini kemudian dilanjutkan dengan tahap daring asinkron yang mengajak murid mempelajari dan mengerjakan tugas secara mandiri melalui Prakasita Classroom, aplikasi berbasis Moodle milik SMP Negeri 2 Salatiga. Akhirnya, penggunaan Google Earth dan Google Maps diterapkan pada tahap ketiga, yakni pada sesi Pertemuan Tatap Muka Terbatas (PTMT). Pada tahap ini murid diajak menjelajahi beberapa tempat dan dipandu untuk menciptakan descriptive text dengan bantuan visualisasi yang disediakan Google Earth.

Pada siklus pembelajaran berikutnya, tahapan yang sama kembali diulangi dengan submateri yang berbeda. Bedanya, kali ini Google Maps dipadukan dengan fitur Lesson pada Quizizz digunakan pada tahap PTMT. Perubahan ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan konteks submateri yang tengah dipelajari, yakni mendeskripsikan cara menuju suatu tempat. Selain itu, penggunaan fitur Lesson pada Quizizz diharapkan dapat membantu memusatkan perhatian murid pada pembelajaran.

Hasilnya, penerapan Google Earth dan Google Maps terbukti dapat meningkatkan persentase ketuntasan keterampilan menulis Descriptive Text murid. Jika pada kondisi awal hanya 40% murid yang berhasil mencapai kriteria ketuntasan sebesar 76, pada akhir siklus I sebanyak 67% murid berhasil mencapai ketuntasan. Angka ketuntasan pada akhir siklus II kembali meningkat menjadi sebesar 83%. Simpulannya, visualisasi yang disediakan Google Earth dan Google Maps terbukti dapat digunakan sebagai perancah (scaffolding) untuk membantu proses pembelajaran. Akhir kata, praktik sederhana ini menunjukkan bahwa kecerdasan buatan dapat diadopsi dalam pembelajaran bahasa.

 

Oleh:
Anita Utami
Guru Bahasa Inggris di SMP Negeri 2 Salatiga