JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG– Masyarakat Semarang digegerkan meninggalnya dr Aulia Risma Lestari (30) mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di prodi Anestesi Universitas Diponegoro (Undip). Penyebab kematiannya semula diduga bunuh diri akibat tidak kuat mendapatkan perundungan (bullying dari seniornya.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menanggapi masalah perundungan, mengatakan, bahwa masalah itu di lingkungan PPDS merupakan kejadian ‘menahun’ yang sudah terjadi berulang kali. Ia mengaku seringkali menerima laporan bahwa junior yang sedang mengikuti PPDS harus menghadapi tekanan psikologis yang luar biasa dari senior-seniornya.
“Kita juga pernah kan melakukan skrining kesehatan mental terhadap para peserta PPDS ini dan banyak kan memang yang ingin bunuh diri. Jadi ini sudah menjadi fenomena yang besar terjadi,” kata Menkes kepada wartawanm, kemarin.
Dalam survei yang dilakukan pada 12.121 peserta PPDS di rumah sakit vertikal, pihak Kementerian Kesehatan menemukan ada sekitar 2.716 peserta PPDS yang mengalami depresi.
Dari keseluruhan jumlah tersebut, 1.977 mengalami depresi ringan, 486 depresi sedang, 178 mengeluhkan depresi sedang sampai berat, dan 75 orang mengalami depresi berat. Sekitar 3,3 persen peserta PPDS yang mengikuti survei teridentifikasi ingin mengakhiri hidup atau melukai diri.
Bentuk aksi perundungan yang dilakukan pada junior PPDS sangat beragam. Mulai dari beban kerja yang berlebihan, cacian dan makian dari senior, sampai ‘dipalak’ hingga puluhan juta rupiah untuk berbagai keperluan senior.
“Ini adalah kebiasaan buruk di profesi yang sangat mulia, kedokteran. Bayangkan kalau dokter-dokter ini sejak muda sudah dididik seperti itu, hidupnya ditekan. Banyak cara pendidikan yang jauh lebih saintifik untuk menciptakan tenaga kerja yang tangguh tanpa harus mem-bully,” kata Menkes.
Menkes menuturkan bahwa butuh peran banyak pihak untuk menghentikan praktik bullying di lingkungan PPDS. Terlebih kejadian ini sudah berulang terjadi dan seakan sudah menjadi ‘tradisi’ yang dilestarikan.
Situasi ini membuat akhirnya tak sedikit junior yang takut untuk melaporkan aksi bullying di lingkungan PPDS. Mereka khawatir, proses pendidikan mereka bisa terganggu apabila berani melaporkan aksi tersebut.
“Korban jiwa tidak hanya hari ini saja. Biasanya ditutup-tutupin. Baru kali ini saja ini terbuka. Dan kita akan beresin ini secepat mungkin,” kata Menkes, dilansir dari detikcom.
Ditegaskan, pihaknya akan memberikan perlindungan penuh pada orang-orang yang mau melaporkan aksi perundungan di lingkungan PPDS. Seperti yang diketahui, kanal pelaporan bullying untuk rumah sakit vertikal sudah dilakukan tahun lalu.
Untuk sementara, PPDS prodi anestesi FK Undip ditutup terlebih dahulu. Menkes mengatakan penutupan ini akan berlangsung selama investigasi dilakukan. Menurutnya ini penting untuk mencegah adanya intervensi atau intimidasi dari oknum pada junior-junior yang ada.
“Hal (penutupan) ini kita lakukan sementara, karena begitu kita mau memeriksa semua murid-murid junior ada di sana diintimidasi. Tidak boleh bicara,” ujar Menkes.
“Itu sebabnya kita berhentikan sementara. Supaya penyelidikan ini bisa dilakukan dengan cepat, bersih, dan transparan bebas dari intimidasi yang sekarang terjadi,” tandasnya.
Pelaku akan Ditindak
Kepala Biro Komunikasi Kemenkes RI, dr Siti Nadia Tarmizi menambahkan pihaknya akan memberikan sanksi tegas kepada Undip, serta siapapun yang terlibat jika benar-benar terbukti ada perundungan selama PPDS berlangsung.
“Hukumannya kalau untuk wahana pendidikannya bisa disetop. Selain itu bisa mengembalikan peserta didik atau dosen yang melakukan perundungan ke universitas, penurunan pangkat bahkan pencabutan STR dan SIP,” ujar dr Nadia, dilansir dari detikcom, kemarin.
Masalah perundungan, lanjut dr Nadia, ada sekitar 350 laporan aksi perundungan di PPDS rumah sakit vertikal sejak 2023.
“Dari kasus-kasus yang kita verifikasi ya, dari laporan yang masuk, memang ada seperti rulesnya apa-apa saja yang harus dilakukan sebagai seorang junior pada saat di awal menempuh pendidikan dokter spesialis,” ujar dr Nadia.
Kemenkes juga tengah menyelidiki kebenaran terkait buku yang memiliki sampul bertuliskan ‘Unthulektomi’. Buku ini diduga menjadi ‘pedoman’ untuk melakukan perundungan senior ke junior.
Selain itu, ada juga tangkapan layar yang beredar di media sosial terkait beberapa ‘panduan’ yang wajib dilakukan dokter residen (calon dokter spesialis) saat menjalani program PPDS.
“Jadi kalau kita bicara ada buku atau tidak, sebagian mengatakan ada, tapi kadang-kadang kita nggak bisa menemukan buktinya. Jadi kadang bentuk fisiknya tidak didapatkan, atau juga beredar media elektronik itu juga sepotong-sepotong,” tutupnya.
BEM Tuntut Usut Tuntas
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Undip menggelar aksi simbolik atas meninggalnya mahasiswa PPDS Prodik Anestesi Undip, dr Aulia Risma di Stadion Undip Semarang, Minggu (18/8/2024). Dokter berstatus tugas belajar di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr. Kariadi Semarang itu diduga mengalami perundungan.
Ketua BEM Undip Farid Darmawan mengatakan aksi itu sebagai bentuk solidaritas sekaligus menolak perundungan di kampus. “Semoga tidak ada (perundungan), tapi jika ada pihak-pihak yang bersangkutan maka harus bertanggung jawab, entah itu di Undip maupun pihak RSUP,” ucapnya.
Sejumlah pengurus BEM melakukan aksi dengan memegang foto almarhum dan rangkaian huruf bertuliskan “usut tuntas”. Aksi itu dilakukan spontan saat penutupan orientasi mahasiswa baru (Maba) di Stadion Undip. Setidaknya ada 13.500 orang mahasiswa baru yang mengikuti kegiatan tersebut.
Melalui aksi ini, mahasiswa Undip mendesak kampus dan pihak berwenang untuk mengusut tuntas kasus kematian Aulia Rahma. Mereka juga ingin menyerukan kepada mahasiswa baru agar tidak abai jika menemukan kasus perundungan.
“Ada juga aksi tutup mata yang mengisyaratkan dan mengajak seluruh pihak, terkhusus menyadarkan mahasiswa baru bahwa kita tidak boleh abai terhadap kasus ini,” ucap Farid, seperti dilansir dari kompas.
Sementara itu, pihak keluarga mahasiswi PPDS Prodi Anestesi Undip yang meninggal diduga bunuh diri gegara di-bully angkat bicara. Melalui kuasa hukumnya, pihak keluarga membantah korban tewas bunuh diri.
Kuasa hukum keluarga, Susyanto mengatakan korban memiliki riwayat penyakit saraf kejepit dan jika kelelahan akan terasa sakit. Dimungkinkan, saat merasa sakit dan lelah atau dalam keadaan darurat, korban menyuntikkan sendiri obat anestesi dan kelebihan dosis.
“Korban meninggal karena sakit, mungkin pas lagi kelelahan keadaan darurat, dia mungkin menyuntikkan anestesinya kelebihan dosis atau apa. Intinya dari keluarga menampik berita bahwa korban meninggal dunia karena bunuh diri,” kata Susyanto kepada wartawan di Tegal.
“Intinya pihak keluarga menampik terkait bahwa korban almarhumah itu meninggal dunia karena bunuh diri. Kami sebagai kuasa hukum dari keluarga itu menolak berita tersebut,” tegasnya.
“Terkait yang viral katanya, nuwun sewu (mohon maaf) korban meninggal karena bunuh diri itu kami sangkal. Itu tidak benar. Bahwa almarhumah meninggal dunia karena sakit,” imbuhnya.
Disinggung soal curhatan korban kepada sang ibu saat menjalani Program PPDS, menurut Susyanto hal itu akan dibuka apabila penegak hukum meminta keterangan resmi keluarga. Ia khawatir jika disampaikan kepada media justru akan menjadi bola liar.
“Soal ada perundungan atau tidak kami tidak bisa memberikan secara vulgar ke media, karena bisa menjadi blunder. Kami akan berikan keterangan secara terang-benderang ke penegak hukum,” terus dia.
Kemudian jika di kemudian hari hasil investigasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ditemukan bukti ada perundungan, pihak keluarga menyerahkan kepada Kemenkes.
“Itu kewenangan dari pihak Kementerian Kesehatan untuk menata dapur rumah tangganya. Kami hanya sebatas memberikan semua keterangan yang dibutuhkan oleh Kemenkes RI,” jelasnya.
Plt Direktur RSUD Kardinah Kota Tegal, dr. Lenny Harlina Herdha Santi membenarkan korban merupakan dokter di rumah sakitnya. Ia menerangkan korban sekolah lagi di Undip karena mendapatkan beasiswa pemerintah.
“Almarhumah bergabung di Kardinah sejak 2019. Anaknya santun, rajin, dan baik. Dia sekolah lagi karena mendapatkan penugasan sekolah dokter spesialis anestesi. Sudah dijalani sekitar 2 tahun,” kata Lenny saat dimintai konfirmasi di kantornya.
Sementara itu, pihak kampus membantah adanya perundungan terhadap mahasiswi PPDS Prodi Anestesi FK Undip. Undip mengaku sudah melakukan penyelidikan internal.
“Mengenai pemberitaan meninggalnya almarhumah berkaitan dengan dugaan perundungan yang terjadi, dari investigasi internal kami, hal tersebut tidak benar,” kata Manajer Layanan Terpadu dan Humas Undip, Utami Setyowati di kantornya, Semarang, Kamis (15/8). (dtc/kom/muz)