JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG – Berbicara bagi sebagian orang menjaadi kunci komunikasi efektif. Syarat mutlak komunikasi ada pesan, media, dan yang menerima pesan, serta umpan balik.
Dalam keseharian seseorang berkomunikasi dalam bentuk tuturan verbal yang berbentuk ujaran lisan. Hanya saja, bagi sebagian orang berbicara menjadi hal yang menyulitkan. Termasuk dalam pembelajaran keteramilan berbicara pada siswa jenjang Sekolah Menengah Atas(SMA). Siswa cenderung merasa gagap, dan kurang percaya diri ketika harus berbicara di depan temannya. Bahkan ketika praktik presentasi juga banyak siswa yang merasa terpaksa berbicara. Jika siswa berbicara dalam kondisi keterpaksaan, maka bagaimana sebenarnya permasalahan komunikasi dalam bentuk keterampilan berbicara di sekolah?
Berbicara di depan umum bukan hal yang baru, tetapi untuk menjadi seorang yang ahli berbicara di depan umun (public speaking) diperlukan latihan dasar dan lanjutan. Berbahasa tidak cukup hanya modal suara dan suasana. Selama ini guru cenderung langsung mengajarkan apa itu berbicara, tanpa mau berpikir alternatf pada sarana apa yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa SMA.
Salah satu cara dan metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa pada n mata pelajaran Bahasa Indonesia, menggunakan metode reportase. Metode reportase berasal dari kata report yang artinya laporan, atau melaporkan. Lebih jelasnya reportase pada metode kemampuan berbahasa, berarti suatu metode untuk berbicara dengan cara melaporkan sestau hal informasi dari peristiwa tertentu kepada orang lain. Sumber reportasi dapat berupa berita, peristiwa , kejadian nyata di lingkungan.
Pertama yang dapat dilakukan guru yaitu menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) khusus yang berorientasi pada tujuan pembelajaran keterampilan berbahasa produktif. Kita mengenal ada 4(empat) keterampilan berbahasa yaitu menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Fokus tulisan ini pada aspek keterampilan berbicara pada siswa.
Setelah itu, kedua guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 4-5 siswa. Selanjutnya siswa dibimbing menyusun bahan reportase. Siswa berdiskusi merumuskan objek reportase, menentukan peristiwa apa yang akan dilaporkan. Selanjutnya siswa menyiapkan alat yang diperlukan. Misalnya microphone, buku catatan, pulpen, kamera dan peralatan lainnya. Pada tahap berikutnya siswa menentukan objek peristiwa kerusakan jalan raya. Masing-masing siswa berperan sebagai wartawan, warga, dan cameramen.
Selain itu, siswa juga merumuskan pertanyaan menggunakan rumus 5W +1 H. Melalui rumus pertanyaan tersebut akan mempermudah siswa mengembangkan bahan reportase. Mau tidak mau siswa berpikir kritis untuk menyusun pertanyaan, menjawab pertanyaan, dan memikirkan bermain karakter tersebut.
Keempat, siswa mulai menghafal pertanyaan-pertanyaan dan bentuk narasi reportase yang akan disampaikan secara liver atau langsung melalui video. Ketika semua siap, maka cameramen bisa melakukan shooting objek. Ketika seorang reporter mulai melaporkan peristiwa, maka guru bisa mengamati langsung di lokasi, atau melalui video hasil proyek siswa.
Guru melakukan pengamatan (observasi) selama reportase, dengan mencatat hal-hal penting yang terjadi. Bahkan guru bisa menggunakan rubric tertentu yang mendukung penilaian proyek. Aspek lainnya misalnya dari sisi kelancaran berbicara,keruntutan, diksinya dan performance siswa ketika melakukan reportase dari lokasi peristiwa tersebut. Sehingga pada akhirnya bisa didapat data mendekati otentik untuk mendukung upaya peningkatan keterampilan berbahasa khususnya berbicara.
Melalui model reportase, siswa tidak merasa disuguhi teori , tetapi mengalami pembelajaran langsung. Inilah yang perlu dilakukan oleh guru Bahasa Indonesia, guna meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Pola reportase menjadi alternative yang dapat diterapkan. Melalui pembiasan dan ketekunan, siswa bisa melakukan pengembangan bahan reportase.
Praktik reportase perlu dilakukan secara berulang di kelas, melalui berpikir kritis siswa. Masing-masing kelompok mengkritisi karya reportase kelompok lainnya. Kemudian guru memberi penguatan-penguatan dan reward bagi keompok terbaik. Selain itu, karya siswa dalam bentuk video reportase dapat dipajang atau dipublikasikan. Dengan demikian, model reportase langsung dan tidak langsung, diyakini bisa dilakukan guru untuk meningkatkan keterampilan berbahasa Indonesia, khususnya keterampilan berbicara siswa. Sehingga kemampuan berbicara siswa bisa lebih runtut, tertata, berbobot, dan memperhatikan etika kesantunan berbahasa. (Dra. Ninik Dwi Astuti,Guru SMA 1 Semarang)