Moratorium Tata Kelola Air Bawah Tanah untuk Selamatkan Lingkungan

Ketua DPRD Jateng Rukma Setyabudi beserta sejumlah narasumber menggelar diskusi terarah soal raperda pengelolaan air tanah di ruang ketua. FOTO : DOK. HUMAS SEWAN JATENG/JATENGPOS.CO.ID

JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jateng meyakini rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang Air Tanah lebih baik terfokus dalam pengelolaan, pengaturan dan penindakan.

Hal tersebut menjadi inti sari diskusi terarah (focus group discussion) di ruang Ketua DPRD Jateng, Selasa (21/11).

Diskusi dipimpin langsung Ketua DPRD Rukma Setyabudi, dengan menghadirkan sejumlah narasumber, seperti Kepala Dinas ESDM Jateng Teguh Dwi Puryono, Komisi D, sejumlah pakar dan asosiasi.

Rukma menyatakan, sudah saatnya ada moratorium atau peninjauan kembali aturan soal air tanah. Diharapkan dengan perda yang baru nanti, pengelolaan air tanah bisa terkontrol dan terpantau oleh pemerintah daerah.

Penyusunan Raperda Pengelolaan Air Tanah Jateng itu, lanjut politikus PDIP itu, didasarkan atas adanya beberapa kendala yang selama ini terjadi di Jateng. Diantaranya pengambilan air tanah yang tidak terkendali dan pengambilan tanpa izin. Mengacu data yang ada ternyata pengambilan air tanah yang berizin hanya 30 persen. kondisi air tanah saat ini sangat menurun baik kualitas maupun kuantitas.

Dengan kondisi air tanah yang berkurang dan suplai dari PDAM selaku leader pemenuhan kebutuhan air, diharapkan agar masyarakat maupun perusahaan untuk tidak melakukan pengeboran air secara masif.

Kepala Dinas ESDM Jateng Teguh Dwi Paryono menyatakan, moratoriun pengeboran air tanah bisa dilakukan dengan catatan tidak mengusik masalah investasi. Perusahaan daerah dalam hal ini PDAM juga harus menyiapkan pengganti penggunaan air tanah.

“BUMD (PDAM) harus menyiapkan suplai air yang tidak hanya berasal dari air tanah, jika tidak siap harus ada badan usaha lain yang mengganti itu,” ujar Teguh.

Kuantitas dan kualitas air tanah yang menurun, dikarenakan adanya pengambilan air tanah secara masif, pola tata ruang, dan lain sebagainya.

“Ini terjadi karena PDAM tidak siap menjadi gantungan untuk menyuplai air untuk kebutuhan fasilitas umum ataupun di area bisnis,” tambahnya.

Dalam draf Raperda Air Tanah, sudah diatur bahwa pengambilan air tanah di atas 100 meter kubik per hari harus membuat sumur resapan dalam.

“Langkah-langkah yang diupayakan yakni pengeboran harus ada izin warga sekitar, pihak yang mengeksplor itu harus sanggup membuat sumur resapan agar eksploitasi dan konservasi seimbang, dan sanggup membuat sumur pantau untuk pemulihan sumur resapan. Dengan begitu, konservasinya bisa berkelanjutan,” kata Teguh.(ADV/*)