Mudik Spiritual : Wasilah Merayakan Lebaran Digital

Wahyu Ceha ( Co Host Talkshow Matalaila sekaligus Santri Pesantren Samawi, Purwokerto Banyumas)

JATENGPOS.CO.ID,Beberapa hari ke depan, umat Muslim akan merayakan hari kemenangan. Jika hilal Syawal muncul diakhir Ramadan, maka hari Rabu tanggal 13 Mei, adalah Hari kemenangan yang dinantikan. Setelah bertarung melawan segala jebakan dosa, Idul Fitri adalah momen perayaan.

Ramadan tahun ini, nyaris sama dengan tahun kemarin. Aktifitas belum bisa bebas, karena pendemi yang belum kunjung sirna. Anjuran protokol kesehatan masih harus diterapkan, guna menekan lonjakan pendemi akibat virus Corona. Pendemi tahun ini, sebagaimana tahun lalu, masyarakat tidak dianjurkan untuk mudik.

Mudik menjadi tradisi yang selalu dilakukan oleh masyarakat jelang lebaran. Mudik telah menjadi budaya. Mudik menjadi momentum untuk pulang ke kampung halaman. Setelah rentang waktu satu tahun bertahan di perantauan, momentum hari kemenangan dijadikan wasilah untuk menengok kampung halaman. Mudik adalah menuju udik, menuju udik adalah menuju kampung asal/ kampung halaman. Menuju udik adalah pulang.

 

iklan

Mudik Spiritual

Oleh pemerintah, masyarakat dihimbau untuk tidak mudik. Sekilas, mudik merupakan kerinduan yang mendalam terhadap kampung halaman. Rindu dengan suasana masa silam. Rindu terhadap muasal kelahiran. Kerinduan terhadap kenangan yang menggumpal. Mudik juga sebagai napak tilas terhadap cikal bakal capaian dalam kehidupan.

Baca juga:  Pemerintah Dorong Pembangunan Mobil Listrik Untuk Angkutan Massal

Selain itu, mudik juga sebagai sarana sowan, sungkem bekti terhadap orangtua. Pulang dan bersimpuh dipangkuan orangtua menjadi lebih terasa. Segala kesalahan seakan sirna, dengan berserah-simpuh dihadapan orangtua. Terlebih apabila orangtua telah tiada, genangan kerinduan semakin kental terasa. Sowan kepada pusara dan memandang gundukan tanah bernisan adalah alasan untuk pulang. Begitulah kilasan gambaran tentang mudik yang menjadi tradisi menjelang lebaran.

Mudik, bukan semata-mata ritus hura-hura. Bukan juga perayaan tanpa makna. Akan tetapi, mudik lebih berdimensi spiritual, yaitu menajamkan kepekaan terhadap alamat pulang, alamat muasal. Kepekaan terhadap kepulangan, mesti ditanamkan menjadi kesadaran.

Sebagai manusia, sebagai hamba Allah, sejatinya sadar, bahwa dunia adalah tempat singgah. Persinggahan manusia di dunia diibaratkan hanya “mampir kagem ngombe”. Tentu, persinggahan tersebut, hanya sebentar. Setelah melewati Ramadan, sejatinya setiap Muslim telah menjalani laku mudik yang begitu nyata, yaitu mudik spiritual.

Bagi umat Muslim, mudik spiritual telah dilakukan sejak memasuki bulan Ramadan. Menjelang Ramadan, menyambut secara suka cita, menjadi bekal untuk mudik spiritual. Selama Ramadan, beragam ibadah formal dilakukan, tentunya dalam rangka menyiapkan bekal pulang menuju kampung halaman.

Baca juga:  Exist Modeling Rambah Model Internasional

Puasa di siang hari, menghidupi malam-malam Ramadan dengan ibadah sunah, tadarusan, menjaga lisan, menyegerakan berbuka, melaksanakan sahur. Kemudian ditutup dengan perasaan gelisah, karena akan ditinggal bulan Ramadan. Sebagaimana bersukacita dengan datangnya Ramadan. Inilah bentuk mudik spiritual yang dapat dilakukan dengan sederhana.

Kemenangan Sosial

Sebagaimana makna simpel Idul Fitri, bahwa setelah Ramadan, harapannya, setiap Muslim akan kembali bersih, polos tanpa noda. Mudik spiritual yang telah dilakukan selama Ramadan, akan terasa jika dibarengi dengan mudik dalam dimensi sosial. Perayaan kemenangan akan terasa jika dimensi spiritual di-mix secara matching dengan dimensi sosial.

Ramadan menjadi pembakaran dosa-dosa. Dosa-dosa direset ulang, dikosongkan kembali. Manusia direset ulang seperti halnya pendemi yang menyerang segala lini kehidupan. Munculnya pendemi ini, dunia sangat terguncang. Ekonomi, sosial, agama budaya, semua terdampak. Begitu juga dengan tradisi Ramadan dan lebaran yang ada di Indonesia.

Akan tetapi, semua itu bukan penghalang untuk meraih kemenangan. Kemenangan layak diraih semua umat Muslim setelah berjibaku dengan bulan Ramadan. Bulan Ramadan adalah bulan keberkahan bagi segenap umat manusia. Tanpa terkecuali, semua usia, semua golongan mendapat keberkahan bulan Ramadan.

Baca juga:  Asian Games 2018 Sudah Dimulai, Ayo Kirim Video Kreatif Kalian

Ramadan adalah gelanggang untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Selama Ramadan, ibadah-ibadah sosial tidak luput sebagai perlombaan. Berbagi kebahagiaan dengan orang lain walau sekedar memberi senyuman, membagi takjilan, mendahului menyapa kabar kerabat atau saudara, saling mendoakan, saling menjaga kerukunan, saling menjaga kebersihan. Membaca story Wasap atau media sosial, memberikan tanda suka sekaligus komentar positif. Menjadi hal receh namun sangat berarti. Itu bagian sederhana dimensi sosial yang receh dan perlu menjadi kesadaran.

Tidak menunda meminta maaf atas perbuatan keliru yang telah dilakukan. Membuka pintu maaf atas kesalahan orang lain. Mengakui kesalahan menjadi penting dilakukan. Inilah poin pentingnya. Karena, momentum perayaan Idul Fitri, setiap diri manusia akan merasa ringan hatinya, merasa lega hatinya karena saling menghapus kesalahan, tidak ada perasaan bersalah, kembali kosong. Itu yang membuat lega dan akan menjadi kemenangan bersama. Inilah yang menjadi kemenangan sosial bukan sekedar kemenangan individual.

Semoga kemenangan dapat diraih secara maksimal, sekaligus menjadi kesadaran manusia akan muasal kejadian. Semoga kerinduan mudik, menggugah kesadaran terhadap kampung asal, kampung halaman. Harapannya, Ramadan kali ini mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan, untuk menyiapkan bekal pulang.

iklan