29 C
Semarang
Rabu, 15 Oktober 2025

ISLAH MARDIONO – AGUS SUPARMAN: BERAKHIRKAH KEMELUT PPP? 

JATENGPOS. CO. ID, JAKARTA- Ada akrobat politik yang cukup hebat. Itulah “Keterpilihan” Muhammad Mardiono sebagai Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Periode 2025 – 2030 yang penuh rekayasa dalam Muktamar X yang digelar pada 28 September 2025 di Hotel Mercure – Ancol. Sebuah mekanisme pemilihan Ketua Umum yang mengklaim Mardiono telah terpilih secara aklamasi.

Faktanya? Saat itu sidang muktamar baru dibuka. Mardiono – dalam pidato pertanggungjawabannya – dihujani kritik tajam atas kegagalan PPP masuk ke Senayan. Tak tahan dengan hujan kritik tajam, Mardiono pilih “kabur”. Anehnya, Mardiono dan Ketua Sidang muktamar melakukan jumpa pers dan dirinya menyatakan terpilih secara aklamasi.

Sebagian besar peserta muktamirin marah. Kubu Mardiono menjadi sasaran kemarahan dari peserta yang kecewa. Suasana ricuh, saling baku hantam dan lempar kursi.

Kekecewaan itu pun berlanjut. Kubu yang kecewa melanjutkan agenda Muktamar. Menghasilkan Agus Suparman terpilih sebagai Ketua Umum Partai Ka`bah itu, untuk periode yang sama (2025 – 2030), tergelar di pada waktu dan tempat yang sama.

Perlu kita garis-bawahi, dinamika politik tersebut biasa terjadi dalam perhelatan muktamar atau sejenisnya seperti kongres dan musyawarah nasional (Munas). Yang menarik adalah, kemelut di PPP pasca Muktamar ke X itu relatif segera memadam. Pasalnya, Kemenhum merasa hanya terima satu hasil Keputusan Muktamar X PPP yang menghasilkan Mardiono sebagai Ketua Umum dan Imam Fauzan Amir Uskara sebagai Sekjen. Pengantaran surat permhonan kubu Mardiono untuk disahkan pada 2 Oktober 2025.

Sementara, Agus Suparman yang mendapat dukungan suara riil dari Muktamar X PPP itu disampaikan ke Kemenhum sehari sebelumnya (1 Oktober 2025). Menjadi sangat aneh ketika Kemenhum menyatakan tak tahu adanya permohonan pengesahan hasil Muktamar PPP dari kubu Agus Suparman (Ketua Umum) dan Taj Yasin Maimoen (Sekjen).

Semakin aneh, ketika Kemenhum mengambil langkah mengkompromikan dua kubu (Mardiono versus Agus Suparman). Di samping letidaktahuan berkas permohonan yang diajukan kubu Agus Suparman, Kemenhum juga berusaha mendamaikan kedua kubu yang berseteru itu. Sungguh di luar nalar sehat, konflik yang sangat mendasar bisa diselesaikan. Minimal tidak tertib sistem administrasinya. Hasilnya, Mardiono tetap sebagai Ketua Umum sebagaimana hasil Muktamar yang sesungguhnya hasil rekayasa culas. Sementara, Agus Suparman dan Taj Yasin Maimoen diberi posisi, masing-masing sebagai Wakil Ketua Umum dan Sekjen.

Sebuah pertanyaan hukum, mengapa Kemenhum menjembataninya untuk langkah penyelesaian melalui islah? Menurut UU Partai Politik No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, Kemenhum tak bisa ikut mencampuri masalah internal partai politik. Tugas Kemenhum hanyalah mencatat pendaftaran partai politik dan mengesahkan hasil muktamar, kongres atau munas kepengurusan yang baru, dari pimpinan terpuncak (Ketua Umum, Sekretaris Jenderal dan Bendarara Umum), serta jajaran di bawahnya. Dan pengesahan itu harus dilakukan Kemenhum jika terdapat surat keterangan Mahkamah Partai yang menerangkan tidak adanya perselisihan internal partai pasca muktamar, munas atau kongres.

Sementara, Ketua Mahkamah Partai PPP, Arif Pulungan menegaskan dirinya tidak mengeluarkan surat keterangan tentang “tidak adanya perselisihan”, karena faktanya memang terjadi konflik internal saat berlangsung sampai pasca muktamar PPP kemarin itu. Meski demikian, Kemenhum berdalih. Apa yang ditegaskan Arif Pulungan ternyata beda faktanya : pihak Kemenhum menerima surat keterangan tiadanya perselisihan pasca muktamar PPP kemarin. Nah lho. Lalu dari manakah? Hal ini layak diduga kuat, kubu Mardiono –meminjam “Kop Surat Mahkamah Partai PPP” mengeluarkan surat yang dipersyaratkan itu (tiadanya perselisihan pasca muktamar).

Baca juga:  Arab Saudi Cabut Suspend Penerbangan Indonesia

Ada dan tiadanya surat keterangan tiadanya perselisihan pasca muktamar, menimbulkan pertanyaan entang kinerja pihak Kemenhum. Dengan fakta video yang beredar di ranah publik, hal itu sesungguhnya bisa dijadikan pijakan alat bukti tentang residu politik yang ada (saat berlangsung dan pasca muktamar PPP X kemarin). Kemenhum tidak tahu? Sangat tidak mungkin.

Yang jelas, pihak Kemenhum – karena mendapatkan klaim dari kubu Mardiono tentang tiadanya perselisihan – hal ini dijadikan langkah untuk mengislahkan kubu Mardiono dan kubu Agus Suparman. Perlu kita catat, upaya mengislahkan itu sendiri sudah menggambarkan kesadaran adanya konflik internal partai seusai muktamar. Tapi, mengapa Kemenhum melanjutkan misi pendamaiannya? Sementara, Pasal 32 Ayat 5 dan Pasal 33 Ayat 1 UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menegaskan, jika terjadi perselisihan internal partai, maka ranah penyelesaiannya ada di Mahkamah Partai.

Di luar permainan itu semua, kita harus mencatat, Kemenhum tak berhak mengislahkan konflik internal partai politik, selain menerima pendaftaran dan mengesahkan susunan kepengurusan partai politik yang sudah “bersih” dari riak-riak kemelut yang prinsipil. Jika masih terjadi konflik, maka persoalannya dibawa terlebih dahulu ke Mahkamah Partai. Jika tak terselesaikan, itu ranah Pengadilan Negeri. Putusannya bersifat final and binding (Pasal 33 Ayat 2 UU Parpol Tahun 2011). Terbitnya aturan ini menjadi langkah hukum Mahkamah Agung untuk mencegah inkonsistensi putusan dari dua lembaga pengadilan, yakni PN versus PTUN.

Persoalan Internal PPP Belum Selesai Kita saksikan, kemelut DPP PPP saat ini di satu sisi terlihat sudah selesai. Terbukti adanya pengesahan susunan kepengurusan baru, meski terdapat unsur islah. Namun, di lapangan kita saksikan, pemandangan islah tersebut sangat elitis di tingkat pimpinan puncak (ketua umum, wakil ketua umum, sekjen dan bendahara umum).

Gambaran Islah hanya untuk kalangan elitis, terkonfirmasi dengan pertama hasil silaturahim nasional alim ulama khos di Pondok Pesantren Kempek – Cirebon (Jabar). Yaitu, seluruh Ulama PPP se-Indonesia menolak Mardiono melanjutkan kepemimpinannya melalui Muktamar X PPP 2025. Kedua, sikap politik ini juga diperkuat oleh K.H. Zarkasih Nur (Ketua Majelis Kehormatan PPP), K.H. Mustofa Aqil Siraj (Ketua Majelis Syariah PPP), Prof. Prijono Tjiptoherijanto (Ketua Majelis Pakar) dan M. Romahurmuzy (Ketua Majelis Pertimbangan).

Dan ketiga, keluarga besar PPP plus para sesepuh menilai, SK pengesahan Kemenhum terkait Kepengurusan baru PPP periode 2025 – 2030 itu cacat hukum. Karenanya, Kemenhum harus membatalkannya. Jika tidak berkenan kita lihat Kemenhum telah melakukan kelalaian prosedural.

Itulah sebabnya, di antara para kader PPP lainnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini pun berarti, sebernarnya masih ada proses hukum pasca muktamar. Mereka merasa tak terikat dengan islah itu. Di mata para kader yang masih tetap menuntut itu, islah dinilai tidak atau belum menyelesaikan persoalan yang mendasar.

Mencermati, dinamika internal PPP tersebut, maka perjalanan PPP akan tetap diwarnai konflik internal. Pihak penggugat sampai sebelum terbitnya sebuah putusan Pengadilan Negeri, akan tetap dalam dinamika konflik. Hal ini akan mempengaruhi kinerja negatif PPP yang pada pentas pemilu legislatif 2024 gagal mencapai ambatas minimal 4%. Dalam Pileg 2024 lalu, PPP memperoleh 5.878.777 suara, atau 3,8%, kurang 0,2% untuk bisa masuk ke Senayan.

Baca juga:  Simposium Operasi Udara Pasis Seskoau A-58

Perlu digaris-bawahi, riak-riak konflik yang ada akan tetap berpengaruh kontraktif terhadap cita-cita mencapaian suara. Dan hal ini ditentukan oleh kecerdasan sang pemimpin dalam pemilihan presiden mendatang. Tak boleh dipungkiri, basis massa PPP adalah kalangan muslim yang tergolong fanatik. Dalam pilpres kemarin, Mardiono terlalu mamaksakan afiliasi politik pribadinya ke kandidat presiden-wakil presiden yang tak sejalan dengan basis massanya di bawah. Dan hal ini berpegaruh negatif (kontraktif) bagi para calegnya saat pileg kemarin. Apapun argumentasinya, sikap emosionalitas politik basis massa PPP tidak dibaca dengan cerdas dan jernih. Akibatnya dan hal ini yang sungguh pahit bagi sejarah Partai Ka’bah : baru kali ini PPP absen di parlemen Senayan.

Kiranya, konfigurasi politik ini harus dibaca dengan jernih oleh seluruh elit PPP. Data faktual bicara, pengalaman pilpres 2024 kemarin, tak sedikit terjadi pembangkangan dari para kadernya. Para elit di bawah, apalagi basis massanya banyak yang tidak sejalan dengan sikap politik Ketum PPP dalam pilpres kemarin.

Sebuah renungan, apakah PPP versi kepemimpinan Mardiono tak akan berubah afiliasi politiknya? Gelagatnya akan mengabaikan aspirasi arus bawah. Dia lebih cenderung berpihak kepada kandidat capres yang tak pedulikan identitas muslim taat. Kecenderungan ini harus dibaca bahwa prospektus PPP tak akan mengalami perubahan kontras. Maka, hasilnya pun akan seperti yang terjadi pada pileg 2024 lalu. Meski bisa masuk ke Senayan karena tak diberlakukan lagi ambang batas minimal parlemen, tapi jumlah yang masuk Senayan tergolong kecil.

Jika hal itu yang bakal terjadi, maka kader PPP ke depan harus berfikir cerdas. Perlu segera mencari partai lain yang bisa mengantarkan cita-cita politiknya. Sekedar info, ada partai yang siap mengakomodasi keinginan para elit PPP yang saat ini kecewa dengan islah itu. Namanya Partai Perjuangan Pembangunan Rakyat (PPP-R). Secara ekstrim, pejabat teras partai ini mempersilakan jika ingin menjadi “Nahkoda Utama” PPP-R. At least, partai ini siap dijadikan kendaraan utama saat tampil menuju kontesasi pemilihan presiden dan wakil presiden, bukan sekedar ke parlemen (Pusat ataupun daerah).

Mencermati nama partai tersebut, kiranya sejumlah barisan Partai Ka`bah yang lalu bisa mendiskusikan kepada keluarga besar internalnya. Kesamaan nama singkatan partai dan meski plus kata “Rakyat”, akan memiliki daya magnetik tersendiri. Yang terpenting, gejolak politik keluarga besar PPP jangan sampai dilecehkan. Strateginya sederhana : tunjukkan sikap politik pro kandidat presiden pilihan dan idola muslim mayoritas.

Berikutnya, tunjukkan program keberpihakannya yang pro kaum dua`afa. Tentu, pendekatannya bukanlah program instan, tapi program yang durable dan sustainable. Jika modelnya seperti ini, maka PPP-R akan menjadi opsi yang berdaya tarik. (*)

Penulis:
Dr. Farhat Abbas, S.H., M.H.
Ketua Umum Partai Daulat Negeri (PANDAI), Lawyer dan Pembela Kaum Lemah


TERKINI


Rekomendasi

...