JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG – Ratusan desa di Jateng berpotensi untuk menjadi desa wisata. Sumber daya wisata yang dimiliki Jawa Tengah tidak kalah dengan luar negeri. Oleh karenanya, perlu didorong upaya untuk mengembangkan sumber-sumber yang merupakan kekayaan milik Jateng tersebut.
Dalam Dialog Parlemen Jateng dengan tema “Pengembangan Desa Wisata”, Senin (30/4), anggota Komisi B DPRD Jateng Didiek Hardiyana mengatakan, sumber daya alam dan kebudayaan yang ada di Jateng tidak kalah dengan yang ada di luar, sehingga potensi pengembangannya masih sangat perlu didorong,” katanya.
Saat ini, Komisi B DPRD Jateng tengah menyusun pembentukan peraturan daerah (perda) mengenai pemberdayaan wisata di wilayah pedesaan semata-mata untuk melindungi masyarakat desa dan memberikan dampak ekonomi untuk masyarakat.
Dalam diskusi di Seruni Lounge Hotel Pandanaran, Jalan Pandanaran No 57, Kota Semarang, sejumlah narasumber yang hadir antara lain, Kabid Pengembangan Pariwisata Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata Jateng Prambudi Trajutrisno, ekonom Univesitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Eko Seno Matruti.
Prambudi mengatakan, potensi desa wisata di Jateng sangat banyak. DSaat ini di Jateng ada 229 desa wisata. Hanya saja secara hukum, keberadaan desa wisata itu diatur oleh surat keputusan (SK) Dinas Kepemudaan, OLahraga dan Pariwisata Jateng.
Karena itulah ia sangat mengapresiasi dengan adanya rencana Perda Pemberdayaan Wisata di Wilayah Perdesaan. Dengan demikian keberadaan peraturan tersebut akan lebih menguatkan program pengembangan Desa Wisata di Jateng. Sejauh ini dalam pengembangan desa wisata masih butuh adanya penguatan modal, kelembagaan, penguatan infrastruktur dan objek wisata.
Sementara dari sisi pandangan ekonom UKSW Salatiga Eko Seno Matruti mengatakan, harus ada pembedaaan antara daya tarik wisata dan desa wisata. Ia mencontohkan sebuah desa yang hanya mempunyai air terjun yang indah langsung dicanangkan sebagai desa wisata.
“Air terjun merupakan objek yang menjadi daya tarik wisata, namun desa wisata harusnya mengintegrasikan antara sumber daya alam dan kegiatan yang mengandung unsur kearifan lokal yang diatraksikan untuk disuguhkan pada wisatawan,” katanya.
gan demikian penyebutan desa wisata harus lebih spesifik. Terlebih lagi harus ada “nilai” yang dijual bukan hanya dilihat dari sisi keobjektivitasan berdasarkan sumber daya alam semata. (drh/udi)